5 Pemikiran Patriarkal Cowok-cowok Muda di Media Sosial
Hari gini, ternyata masih banyak cowok muda yang melontarkan komentar patriarkal di media sosial.
Beberapa waktu lalu, warganet di Twitter ramai-ramai menghina para feminis dengan mengatakan mereka “menyalahi kodrat” karena enggak mau memasak makanan untuk pasangannya. Pemantiknya adalah beberapa orang perempuan yang menyuarakan kesetaraan kewajiban di dalam urusan domestik, termasuk memasak yang dianggap menjadi tanggung jawab laki-laki juga. Tapi banyak yang menafsirkan itu sebagai bentuk keengganan perempuan untuk memasak makanan bagi pasangan dan keluarganya.
Sudah speechless menyaksikan betapa kreatifnya imajinasi warganet yang sungguh out of context itu, saya semakin tercengang ketika menemukan fakta bahwa banyak dari mereka adalah laki-laki muda, masih mahasiswa ataupun lulusan dari berbagai universitas ternama. Bahkan saya menemukan beberapa teman dan kenalan saya yang ikut nimbrung dan mengompori diskusi dangkal itu.
Peristiwa ini menyadarkan saya, yang tadinya berpikir kalau seksisme sudah berakhir di generasi ayah saya, bahwa laki-laki muda seusia saya yang memiliki dan melestarikan pemikiran yang patriarkal dalam berbagai aspek kehidupan masih banyak jumlahnya. Padahal mereka orang-orang berpendidikan. Setidaknya mereka memiliki akses untuk mencari tahu berbagai informasi dan pandangan orang, termasuk mengenai kesetaraan gender.
Memilih untuk mengikuti nilai-nilai patriarkal telah membuat para laki-laki muda gagal menangkap pesan di balik suatu kontroversi, dan lebih gampang terpicu dalam perdebatan di permukaan. Apa saja pemikiran patriarkal yang berbuah pada tindakan mereka dalam keseharian?
-
Mengakui kesetaraan gender di ruang publik, tapi tidak dalam pekerjaan domestik
Saat ini, memang sudah banyak laki-laki muda yang mengakui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dari segi karier, seperti untuk meraih posisi atau jabatan tertentu di perusahaan atau organisasi lainnya. Tapi ketika ditanya, apakah mereka mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan merawat anak, mereka bilang, “Kalau kerjaan rumah tangga gue yang ngerjain, terus istri kerjaannya ngapain, dong? Santai-santai ngabisin duit gue doang?”
Esensi terpenting yang dilewatkan para laki-laki muda ini adalah bahwa perempuan bukan menuntut kesetaraan kewajiban di ranah domestik karena tidak mau mengerjakannya. Poin dari argumennya adalah kerja sama, dan tidak ada satu pihak pun dalam relasi yang dieksploitasi tenaga untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Baca juga: Memasak adalah ‘Survival Skill’ Buat Semua Gender, Bukan Cuma Tugas Perempuan
Logika sederhananya begini: Bila dilihat dari segi material, hasil dari pekerjaan domestik, seperti makanan yang dimasak dan rumah yang bersih, akan dinikmati semua anggota keluarga, bukan hanya ibu atau anak perempuan. Begitu juga halnya dengan hasil dari pekerjaan di luar rumah, yaitu uang, yang akan dinikmati semua anggota keluarga, bukan hanya ayah atau anak laki-laki. Lantas mengapa dua tanggung jawab ini harus jadi sebuah pembagian non-fleksibel yang mengotak-kotakkan peran gender? Hasil yang dinikmati bersama tentu seharusnya bisa dikerjakan bersama pula. Sesulit itukah memahaminya?
-
Menyerang fisik perempuan
Dunia ini memang punya masalah serius dalam menilai fisik satu sama lain. Lahirnya standar kecantikan adalah bukti betapa sulitnya sebagian orang menghargai dan mengamini perbedaan, termasuk perbedaan penampilan fisik. Body shaming memang bisa menimpa siapa saja. Tapi perempuan rentan menjadi korban karena standar berlipat yang selalu dilimpahkan masyarakat pada perempuan, entah dari segi fisik maupun perilaku.
Banyak sekali laki-laki muda yang menggunakan standar kecantikan dangkal mereka untuk menilai semua perempuan, baik di kehidupan sehari-hari, maupun di media sosial. Misalnya dalam kasus Kekeyi, seorang perempuan influencer yang oleh warganet kerap diejek ayam jago, kodok Zuma (karakter binatang dalam video game), boneka Annabelle (boneka berpenampilan menyeramkan dalam film horor ‘Annabelle’), menyuruhnya untuk diet dan menurunkan berat badan karena tubuh Kekeyi dinilai tidak proporsional, serta menyuruhnya menutupi giginya yang tidak rapi dan berukuran besar.
Ejekan-ejekan ini bermunculan dan jadi senjata ketika berdebat dengan perempuan, atau ada perempuan yang membantah argumen mereka. Bukannya memberi argumen lagi, tapi malah mencela fisik, “Bagusin dulu, tuh, muka. Kurusin dulu, tuh, badan. Baru adu bacot!”
-
Menganggap perempuan sebagai objek seks tanpa consent
Kalau yang dinilai tidak cantik akan diejek, yang cantik ya akan dijadikan objek seks. Sering sekali saya lihat di media sosial, atau bahkan dengar di tongkrongan teman-teman saya sendiri, omongan-omongan yang mengobjektifikasi perempuan dan menelanjangi tubuh mereka secara verbal. Seolah-olah di mata mereka, perempuan itu jadi cantik atau berdandan hanya untuk mengundang perhatian laki-laki.
Mantan pacar saya bahkan pernah bilang, “Kamu pakai baju terbuka gitu biar apa kalau bukan biar jadi tontonan cowok?” Pede amat! Saya dandan dan pakai baju apa saja ya buat diri saya sendiri, karena saya suka. Penampilan saya adalah cerminan penghargaan diri saya sendiri terhadap aspirasi, pemikiran, dan pendapat saya. Kalaupun biar dilihat orang, tentu bukan abang-abang berotak dangkal yang jadi sasaran saya.
-
Menyalahkan korban pelecehan seksual
Tak lama setelah feminis diejek tidak mau membuat makanan untuk pasangan, warganet Twitter juga ramai membahas pelecehan seksual yang menimpa perempuan serta urgensi pengesahan RUU-PKS.
Baca juga: Melawan Budaya Patriarki Dimulai dari Diri Sendiri
Banyak perempuan muda, sebagian besar mahasiswa, yang mengaku mendapatkan respons buruk dari para mantan pacarnya ketika mereka mengalami pelecehan seksual alias malah mendapatkan victim blaming. Beberapa ucapan mantan pacar mereka adalah “Kan udah aku bilang, pakai baju yang bener!” dan “Makanya jangan ke tempat ramai sendirian!”. Pola pikir yang sungguh absurd dan usang, tapi memang benar ada.
Sudah tertekan karena dilecehkan, bukannya ditenangkan atau dibantu, perempuan malah disalahkan oleh orang terdekatnya sendiri. Analogi kucing akan langsung memakan ikan asin yang disodori padanya juga masih saja dijadikan argumen. Padahal, itu jelas-jelas mempermalukan diri sendiri karena menyamakan laki-laki dengan binatang yang tak berakal.
-
Menyepelekan perempuan yang menyuarakan kesetaraan gender
Hujatan, ancaman, dan olok-olok dari warganet sudah jadi santapan sehari-hari perempuan aktivis dan jurnalis yang vokal menyuarakan isu kesetaraan gender. Banyak laki-laki muda yang menyepelekan gerakan serta suara mereka dengan beragam alasan kuno yang dibuat-buat dan tidak masuk akal.
Yang paling banyak mereka jadikan senjata adalah, “Dasar feminis! Perempuan kafir! Melawan kodrat alam dan agama!” Ada juga yang bahkan membuat akun-akun tandingan dari akun feminis. Kontennya tentu tidak substansial. Hanya olok-olok terhadap para feminis dengan perumpamaan konyol hasil pemahaman setengah-setengah. Muncul juga istilah “feminazi” sebagai hasil pelabelan mereka bahwa perempuan feminis adalah sekumpulan cewek galak yang mengancam maskulinitas mereka (padahal, salah sendiri memaknai maskulinitas dengan begitu toksiknya).