Lifestyle

Ada Bias Kelas dalam Maraknya ‘Wellness Industry’

Hidup sehat, damai, tenang lahir batin adalah hak semua bangsa. Lalu, kenapa ‘wellness industry’ masih didominasi oleh kelas-kelas menengah ngehek saja?

Avatar
  • October 18, 2021
  • 3 min read
  • 1291 Views
Ada Bias Kelas dalam Maraknya ‘Wellness Industry’

 

Beberapa pekan lalu, Twitter dihebohkan dengan sebaran iklan pelatihan dari salah satu pelaku wellness industry di Bali. Tajuknya bikin saya auto-mengernyitkan kening: “Poo Like Goddess”. Kening saya makin berlipat-lipat begitu tahu biaya pendaftaran yang dibanderol sebesar Rp150.000. Bagaimana mungkin, masalah boker saja mesti diatur-atur, dilatih agar menyerupai cara buang air besar dewi-dewi kayangan? Saya harus bersepakat dengan mayoritas netizen yang menganggap, tindakan itu adalah contoh banalitas yang sempurna.

 

 

Mundur di awal 2010, masyarakat urban modern memang mulai mengenal wellness lifetyle yang digadang-gadang mampu menciptakan mind, body, dan spirit yang sehat luar dalam. Umumnya, gaya hidup ini tak jauh-jauh dari meditasi, olahraga teratur, serta mengonsumsi makanan dan minuman sehat.

Sepuluh tahun berselang, wellness lifestyle bertransformasi dari sekadar “gaya hidup sehat” menjadi satu industri besar dengan cakupan pasar ekonomi yang luas. Sebut saja smoothies bowl seharga ratusan ribu satu mangkok, koleksi essential oil beserta diffuser yang dipatok hingga jutaan rupiah, pijat refleksi dan berendam di spa beraroma buah dan bunga taman firdaus, sampai perjalanan retreat mahal di Ubud, Bali.

Transformasi itulah yang menyebabkan wellness lifestyle menjadi gaya hidup yang lebih eksklusif. Ironisnya itu malah membuat kebanyakan orang–yang enggak punya duit sekebon–menjadi tidak sehat baik dari segi keuangan maupun dari segi mental dan fisik. 

Baca juga: Tidak Apa-apa Menjadi Biasa Saja di Dunia Luar Biasa

Kompleksitas dan ironi wellness lifestyle menjadi isu yang menarik untuk diangkat dan dibahas oleh publik. Buktinya, beberapa film dan serial TV mengadaptasi isu tersabut dalam satu wadah tontonan menyenangkan, misalnya serial White Lotus dan Nine Perfect Strangers. Kedua serial TV tersebut sama-sama mengangkat isu utama tentang perangai orang kaya yang mencoba untuk mendapatkan akses fasilitas healing terbebas agar terbebas dari rasa stres. 

Masalahnya, meskipun kedua serial TV tersebut sama-sama mengangkat tema sisi kelam wellness industry, mereka mempunyai perbedaaan sudut pandang cerita. Nine Perfect Strangers berputar pada sembilan pengunjung orang kaya problematik yang ingin mendapatkan retreat dari seorang konsultan personal wellnes (yang ternyata jauh lebih problematik daripada semua pengunjung) di hotel mahal bernama Tranquillum selama 10 hari. Sementara, White Lotus berfokus pada isu orang kaya bermasalah yang semena-mena terhadap mereka yang berasal dari kelas lebih rendah, termasuk pekerja wellness industry.

Dalam kehidupan nyata sama saja. Kamu enggak percaya ada bias kelas dalam industri ini? Global Wellness Institute, sebagaimana dikutip dari Stuff melaporkan, ekonomi kesehatan dunia bernilai US$3,7 triliun, sedangkan industri kesehatan tumbuh sebesar 10% dari 2013 hingga 2015. Hanya industri ini yang meningkat ketika perekonomian dunia lainnya justru sedang ramai-ramai ambles.

Pendapatan industri ini kemudian tumbuh paling cepat, tumbuh 14% antara 2013 dan 2015, sementara pengeluaran pariwisata secara keseluruhan hanya naik 6,9%. Dari data ini tampak bahwa lebih banyak orang bepergian untuk mencari kesehatan.

Baca juga: Meditasi Bantu Kesehatan Mental, Tapi Perhatikan 6 Hal Ini Sebelum Mulai

Dalihnya, seperti yang saya bilang sebelumnya, kita (baca: orang-orang yang kebanyakan duit) semua menginginkan kualitas hidup yang baik. Pun, ada peningkatan kesadaran akan kondisi tua yang sehat dan berdaya. Karena itulah, sedari muda, orang mencicilnya dengan ikut meditasi sana-sini, jadi peserta retreat, praktisnya menukar gaya hidup sehat dengan biaya yang tak sedikit.

Buat saya ini problematik. Sebab, ini jelas indikasi bahwa tren wellness industry berdampak pada kelas sosial secara langsung. Masyarakat menjadi kian bergantung akan konsep “healing” mewah. Seolah-olah untuk mendapatkan jiwa dan raga yang sehat, kita harus membutuhkan biaya dan privilese yang besar.

Tentu saja hal itu sungguh menyedihkan karena sejatinya memiliki jiwa dan raga yang sehat adalah hak semua orang tanpa melihat status sosial-ekonomi dan privilese tertentu. 

Lagipula, kenapa harus repot bayar hingga jutaan rupiah jika gaya hidup sehat sesederhana kamu bangun pagi, mengurangi beban kerjamu, atau berlari-larian hingga berkeringat sendiri? 


Avatar
About Author

Amalia Ardani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *