Setahun bekerja sebagai penulis di laman aplikasi kesehatan membuat saya akrab dengan isu-isu kesehatan, tumbuh kembang anak, termasuk psikologi. Baru-baru ini saya menulis mengenai pentingnya memperkenalkan pengetahuan seks kepada anak sejak dini, supaya anak tidak gagal paham dan mencari informasi mengenai seks di luar. Banyak penelitian mengenai psikologi tumbuh kembang anak yang setuju kalau sejatinya orang tua adalah pintu pertama yang memperkenalkan seks kepada anak.
“Ih geli, dong…”
Kira-kira masih ada tidak ya pembaca yang menganggap membicarakan seks dengan orang tua adalah sesuatu yang canggung dilakukan?
Mungkin untuk orang-orang kelahiran tahun 1980an seperti saya, seks dulu adalah sesuatu yang tabu untuk didiskusikan dengan orang tua. Malahan sebaiknya dihindari. Nanti tahu sendiri ‘kan, insting naluriah, seperti itu. Padahal menunda pembicaraan topik seks sama saja dengan melepas senjata biologis, dalam arti tinggal tunggu waktunya saja kapan menjadi bencana.
Saya ingat pertama kali saya menstruasi pada usia 12 tahun, saya mendapat wejangan yang “aneh” dari ibu. Waktu itu kami berbaring di tempat tidur hendak tidur siang, tiba-tiba saja Ibu mengatakan kalau ada pembicaraan penting yang ingin dibahas.
Jantung sempat berdebar dan berusaha menebak-nebak kesalahan apa yang sekiranya telah saya lakukan. Sampai akhirnya Ibu bilang, “Adek kan sudah datang bulan, jadi harus hati-hati kalau dekat dengan laki-laki…”
Saya melihat ekspresi Ibu seperti kepala negara mengumumkan kalau negara sedang dalam keadaan genting. Beliau menyampaikan “informasi” tersebut dengan mimik serius, sungguh-sungguh namun tidak menjelaskan apa-apa. Hanya sebatas “hati-hati” kalau berdekatan dengan laki-laki.
Apa laki-laki semacam virus berbahaya yang jika ada dalam radius 500 meter dengan saya, maka saya akan terinfeksi? Pastilah maksud Ibu baik, tapi dia tidak membantu secara ilmiah, medis maupun fisik dan emosional. Hati-hati seperti apa? Seberapa berbahaya laki-laki? Apa mereka penjambret semua? Mungkin maksud ibu penjambret hati ya?
Minimnya informasi mengenai menstruasi yang Ibu sampaikan membuat saya akhirnya tahu hal ini dari teman saya. Saya ingat betul, bagaimana teman saya menggambarkan area genital perempuan dan menunjukkan asal muasal keluarnya darah menstruasi. Sebelumnya, jujur, saya sempat mengira darah menstruasi keluar lewat dubur.
Saya menonton film porno saat menginjak kelas dua SMP karena penasaran dengan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Saya ingin tahu, desir apakah yang saya rasakan ketika laki-laki yang taksir dulu berada di dekat saya. Kenapa perut saya menghangat saat dia berdiri di belakang saya dan napasnya berembus pelan di leher?
Tentu saja, jawaban-jawaban atas pertanyaan tadi tidak berhasil saya dapatkan dalam film porno yang saya tonton. Malah semakin mengaburkan bahkan menyesatkan esensi hubungan laki-laki dan perempuan serta fungsi seks itu sendiri.
Saya percaya dan para ahli juga mengatakan pengalaman seks pertama akan menentukan bagaimana kamu memaknai seks. Sama halnya dengan mengetahui informasi seks yang benar akan membawa kamu pada pengetahuan seks yang benar juga.
Berpengetahuan seks yang benar akan membuat seseorang lebih bertanggung jawab dan tahu pasti risiko dari melakukan hubungan seks itu sendiri. Dan lagi-lagi, orang tua adalah sosok yang paling tepat memperkenalkan dan memberikan informasi mengenai seks kepada anak-anak.
Saya ingat ketika keponakan perempuan saya yang masih duduk di kelas tiga SD, Tasha, menarik tangan saya dan menunjukkan poster anatomi tubuh manusia lengkap dengan penjelasan detail organ-organ dalamnya.
“Tante, ini penis, kalau itu vagina,” katanya dengan suara kecilnya.
Saya melihat kakak saya yang menjawab ringan sambil terkekeh, “Iya, Tasha lagi belajar Biologi. Bukan cuma ke kamu aja, ke Bapaknya juga dia bilang begitu dan berulang-ulang lagi.”
Pertengahan tahun ini Tasha akan naik kelas 5 SD dan saya sudah mewanti-wanti kalau sebentar lagi dia akan datang bulan.
“Apa itu datang bulan?” tanyanya.
“Datang bulan itu ketika darah keluar dari memji (istilah saya untuk vagina).”
“Ooh…” katanya.
Merasa mendapat respons, saya melanjutkan pelajaran Biologi ke Tasha. “Kalau sudah makin gede bakal ada banyak perubahan pada tubuh Tasha, termasuk tumbuh rambut di ketiak dan jembi di memji Tasha.”
“Apa itu jembi?” tanya Tasha lagi dengan dahi mengernyit.
“Maksud Tante rambut pada area kemaluan.”
“Kenapa namanya jembi?” tanya Tasha hilang fokus.
Dan selama beberapa saat dia terus menerus mempertanyakan sebutan jembi. Ternyata mengedukasi anak kecil seputar seks tidak hanya penuh tantangan tapi juga kelucuan. Tak kalah penting adalah menggunakan bahasa yang memang sewajarnya dan sebenarnya, seperti penis dan vagina, jangan terbawa bahasa percakapan sehari-hari.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa