Siasat Berkarya Teman Disabilitas di Tengah Ketimpangan Akses Literasi
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Mitra Netra, Aria Indrawati dan Co-founder FeminisThemis, Nissi Taruli Felicia membicarakan akses literasi untuk teman disabilitas di Pesta Literasi 5.0, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, (22/11).
Mengisi gelar wicara bertajuk ‘Membaca Tanpa Batas: Membangun Ekosistem Literasi Inklusif Disabilitas’, keduanya menilai akses literasi belum inklusif. Nissi misalnya, masih sering menemukan konten media sosial yang tidak menggunakan subtitle, sehingga tidak bisa dimengerti teman Tuli.
Di sisi lain, Aria bilang sering menemukan bentuk informasi yang hanya memuat visual tanpa audio. Dia mencontohkan tutorial cuci tangan yang baik dan benar saat Pandemi Covid-19, hanya menunjukkan tangan yang dicuci tanpa voice over. Padahal, Aria menjelaskan, penyebaran informasi yang inklusif perlu keduanya.
“Belum keren (aksesibilitas literasi secara struktural) kalau untuk saya. Tentu saja saya demanding, kalau untuk saya Indonesia belum keren. Kalau tadi Nissi bilang informasi cuma audio, kalau saya bilang informasi kok cuma visual sih, enggak ada audionya,” ujar Aria.
Baca juga: Yunus Prasetyo dan Yayasan Lentera: Rawat Anak-anak dengan HIV di Tengah Abainya Negara
Akses Timpang
Akses pertama Aria dan Nissi terhadap literasi pun datang dari rumah. Mereka tumbuh di tengah keluarga yang punya budaya membaca dan mengonsumsi informasi. Mengetahui isi berita aktual, jadi kewajiban untuk Aria. Sekarang, teman netra bisa membaca berita dengan teknologi screen reader untuk menyajikan audio dari berita berbentuk teks.
Namun, ketika teknologi itu belum masuk ke Indonesia dan informasi bersumber dari koran dan televisi, Aria mengakses berita dengan suara ibunya. Tak ada huruf braille yang bisa ia raba di koran. Maka, setiap sore, dia akan duduk di teras rumah, mendengarkan sang ibu membacakan koran untuknya.
Sementara, Ibu Nissi menambah kosa katanya setiap hari dengan menunjukkan gambar dan menuliskan nama barang yang ada di gambar tersebut. Dia pun mengenyam pendidikan di sekolah umum. Akses literasi bukan hambatan baginya pada masa sekolah.
Nissi baru merasa ada yang salah ketika pertama kali bertemu teman Tuli, di 2018. Mereka yang mayoritas mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) tidak memiliki perbendaharaan kata sebanyak Nissi. Saat dia menunjukkan kalimat yang menurutnya sangat sederhana, teman Tuli sulit mengerti.
“Saya suka baca buku, saya banyak sekali mengakses buku, misalnya novel, majalah. Namun teman-teman di komunitas Tuli lainnya, khususnya yang berlatar belakang SLB, tidak punya habit yang sama,” ucapnya.
Baca juga: Menggugat Standar Cantik bagi Perempuan dengan Disabilitas Netra
Pada 2018, di usia 21 tahun, Nissi untuk pertama kali belajar bahasa isyarat. Dia akhirnya menyadari ada perbedaan bahasa Isyarat Indonesia dan tulisan, seperti struktur kalimat dan cara mencerna bahasa.
“Itu betul-betul membuka pikiran saya… kalau mereka membaca kalimat bahasa Indonesia mereka menggunakan struktur kalimat bahasa Isyarat Indonesia cara cernanya,” katanya.
Mendorong literasi untuk teman Tuli jadi salah satu agenda Nissi dalam mendirikan komunitas FeminisThemis. Dia menemukan banyak teman Tuli yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual karena tidak memahami kesehatan reproduksi. Maka, pada 2021, Nissi mendirikan FeminisThemis untuk memberikan akses itu pada teman Tuli.
Melalui program, salah satunya FeminisThemis Academy yang memberi akses literasi kepada teman Tuli untuk memahami isu kekerasan seksual berbasis gender dan kesehatan reproduksi seksual di Bandung, Yogyakarta, dan Malang. “Kami menjalin kolaborasi dengan mitra-mitra kami, baik lembaga, maupun institusi, seperti program FeminisThemis Academy yang berkolaborasi bersama Unilever Indonesia dan juga KomNas Disabilitas Indonesia,” jelas Nissi.
Baca juga: Pengalaman ‘Pro Player’ dengan Disabilitas: Bukan Sekadar Bertahan tapi Berpikir
Semua Bisa Berkarya
Di tengah akses literasi dan informasi yang timpang, teman netra dan Tuli tetap menelurkan karya. Aria menjelaskan, teman netra memiliki potensi dalam menulis karya sastra, seperti puisi. Beberapa kali, teman netra menerbitkan antologi puisi secara kolektif. Pun demikian, karyanya belum didistribusikan secara komersial.
“Baru indie, dibagi-bagikan, mungkin hanya diunggah di akun sosial media mereka. Mudah-mudahan saya berharap akan banyak penulis-penulis teman netra yang juga berbakat dan kita fasilitasi supaya bisa menjadi penulis-penulis besar,” ungkap Aria.
Budaya Tuli memiliki jenis sastranya sendiri. Namun, sastra Tuli belum berkembang di Indonesia. Nissi pun banyak mengonsumsinya dari Amerika. Menariknya, bahasa sastra Tuli tidak bisa secara langsung diterjemahkan menjadi kalimat. Sebab, setiap isyarat mengandung pesan langsung yang tak bisa dideskripsikan kata.
Selain puisi, teman Tuli juga aktif menciptakan karya teater. Kolektif Fantasi Tuli, Nissi memisalkan, akan menggelar pertunjukkan teater yang naskahnya ditulis oleh teman-teman Tuli pada 3-7 Desember. “Inti dari penjelasan saya adalah, semua teman bisa berkarya, asal ada kesempatan atau tidak.”















