Aku Pamer, Maka Aku Ada: Koar-koar Dahulu, Prestasi Kapan-kapan
Tidak sedikit orang yang membanggakan kemampuan yang baru dimiliki demi mendapat pengakuan sosial.
Sekitar dua bulan lalu, seorang junior menceritakan keikutsertaannya pada sebuah program internasional yang memakan biaya cukup besar. Biaya yang mencakup transportasi, akomodasi, program, berikut paspor, visa, dan sebagainya ditanggung sendiri oleh peserta. Saya sangat mengapresiasi kegigihannya untuk mengikuti program tersebut dan mengembangkan dirinya melalui acara dengan level internasional itu.
Hanya saja, kekaguman saya kepadanya runtuh ketika dia minta saya pura-pura tidak tahu soal biaya itu, dan kalau ada orang bertanya, bilang saja bahwa keikutsertaannya merupakan biaya penuh dari sponsor. Padahal faktanya, sponsor tersebut adalah orang tuanya.
Terlintas di benak saya, apakah permintaannya itu sebuah tameng untuk humble-bragging-nya di media sosial atau untuk tujuan lainnya. Hal ini membangkitkan ingatan saya tentang salah satu sutradara yang sukses memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk meraih popularitas.
Kita tentu masih ingat, bagaimana sutradara ini menggoreng kata Oscar sebagai batu loncatan dan melanggengkan kebohongan-kebohongannya di media sosial dan talkshow pada beberapa kanal TV dan YouTube. Banyak psikolog yang menganalisis hal ini sebagai sebuah manifestasi inferiority complex (sindrom inferioritas) dalam bergaul.
Inferiority complex didefinisikan sebagai sebuah kondisi psikologis ketika suatu pihak merasa inferior/lemah/lebih rendah dibanding pihak lain, atau ketika ia merasa tidak mencukupi suatu standar dalam sebuah sistem. Standar yang dimaksud adalah persepsi yang lahir ketika seseorang menjadi delegasi suatu institusi, negara, atau komunitas dengan biaya yang dibebankan kepada peserta, sponsor, atau pelaksana acara.
Tentu akan ada gengsi tersendiri ketika peserta tak perlu mengeluarkan sepeser pun untuk acara tersebut. Hanya saja, sepertinya standar inilah yang membuat banyak orang menjadi fanatik pada prestise seperti ini. Dalam jangka panjang, menurut para pakar, kondisi ini biasanya berujung pada kompensasi atau pemujaan berlebihan pada suatu pencapaian atau tendensi untuk mencari pengakuan dan apresiasi dari suatu pihak.
Baca juga: Berhenti Cari Validasi dari Orang Lain
Banyak orang yang berlomba untuk menampilkan sisi terbaik mereka dengan berbagai cara demi mendapat sorotan. Bagi mereka, pokoknya kalau mau pamer, harus sok merendah dulu agar atensi publik bisa diraup. Pada saat bersamaan, mereka juga tetap melancarkan kebohongan berbalut kata-kata manis yang berjejer di lini masa. Atas nama personal branding, ini semua mereka lakukan.
Tak ada yang salah dengan personal branding. Mungkin banyak dari kita yang “menjual diri” di media sosial dengan kadar dan cara yang berbeda. Ada yang memang menjadikannya sebagai bagian dari aktualisasi diri, cara berjejaring, atau membangun kepercayaan orang lain yang akan menjadi mitra kerja.
Personal branding di media sosial kian dianggap penting belakangan ini saat sejumlah perusahaan menjadikan konten media sosial seseorang sebagai salah satu hal penting dalam aspek penilaian dalam merekrut karyawan. Namun, ini bisa menjadi pedang bermata dua. Dengan tampilan yang “wow” di media sosial, bisa saja itu menjadi nilai tambah yang tidak terpenuhi pada aspek yang lain, atau sebaliknya, malah menjadi celah untuk melihat kebobrokan-kebobrokan yang selama ini tidak kita sadari atau kita pelan-pelan sembunyikan.
Dunner Kruger Effect
Terlepas dari itu, saya merasa unggahan-unggahan di lini masa telah menjadi “jendela dunia” versi baru. Banyak juga hal menarik dan informatif dari orang-orang, influencer, atau akademisi yang mencemplungkan ide cemerlangnya di media sosial. Saya menemukan banyak inspirasi baru entah dari orang yang baru saja memperbarui ilmu dan beberapa saat kemudian membagikannya, atau orang yang memang telah lama menjadi ahli di bidangnya.
Baca juga: Mengapa Menjadi Cantik Penting di Media Sosial
Dalam teori Dunner Kruger Effect dikatakan bahwa seseorang yang memiliki skill yang belum mumpuni cenderung militan membagikan ilmu baru. Seperti halnya ketika membeli barang branded baru, kaum ini lebih cepat dan mudah mengglorifikasi prestasinya dalam memiliki barang baru. Sementara, yang benar-benar telah lama memiliki koleksi barang ini akan berpikir dua kali sebelum memberikan review atas tas mewah yang ia dapatkan, namun dengan tingkat kepercayaan diri yang tertata.
Terkadang, semakin awam seseorang, semakin percaya diri ia menunjukkan kapabilitas yang ternyata ditertawai publik. Orang-orang seperti ini melihat diri mereka sebagai “cahaya” atas apa yang mereka kerjakan, sementara pada hakikatnya, mereka justru telah menyilaukan mata dan menutup jalan orang lain. Sikap inilah yang bisa jadi telah berakar pada kasus yang saya ceritakan di awal tulisan.
Entah sikap itu telah menjangkiti kita, saya, dan orang lain atau belum, kejadian tersebut berhasil menjadi pengingat untuk segera mengecek kembali profil media sosial saya. Langkah reflektif ini menurut saya penting agar saya bisa menyortir kembali, kebohongan apa yang tak sengaja saya lontarkan demi sebuah validasi? Apakah saya meremehkan audiens saya dengan menghadirkan informasi yang menyesatkan? Alangkah sombongnya jika demikian, bukan?
Akhirnya, perlahan sebelum mengunggah sesuatu, saya memiliki semacam rem di benak saya: Sudah sejauh mana jari-jari saya melangkah di dunia digital? Sebesar apa Dunner Kruger Effect merenggut esensi ilmu yang ingin saya bagikan?