Belum lama ini, sempat viral kabar tentang seorang pemilik toko tahu di kawasan Haji Nawi, Jakarta Selatan, yang dagangannya laris karena paras cantiknya. Banyak orang beranggapan bahwa penampilan seseorang akan menentukan kesuksesan orang tersebut.
Dalam proses seleksi pekerjaan, penampilan yang menarik terbukti bisa meningkatkan kemungkinan diterima bekerja. Bahkan, seseorang dengan penampilan sesuai dengan keinginan perekrut cenderung memiliki pendapatan yang lebih besar.
Tampil menarik bagi semua orang adalah hal yang penting. Tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Lalu, mengapa perempuan berpenampilan menarik dengan karier seperti penjual tahu masih dianggap aneh?
Tampaknya di era digital seperti sekarang, media sosial memiliki peran penting dalam mengamplifikasi kesan tersebut.
Cara pandang masyarakat
Pembahasan yang ramai terkait perempuan penjual tahu berpenampilan cantik berasal dari adanya konstruksi gender pada masyarakat Indonesia yang memiliki nilai-nilai patriarkal yang kuat. Konstruksi gender dengan nilai patriarkal yang kuat mengedepankan sudut pandang laki-laki dalam melihat suatu fenomena.Hal ini menjelaskan mengapa yang ramai dibicarakan adalah perempuan yang berparas cantik, bukan laki-laki yang tampan.
Baca juga: Stop Nilai Diri dan Perempuan Lain dari Penampilan Fisik
Sudut pandang patriarkal yang kuat ini juga dipengaruhi oleh adat, agama, kelas sosial, dan etnis. Sejak kecil, orang tua sudah menanamkan pentingnya memuaskan sudut pandang laki-laki kepada anak-anak. Hal ini mendasari mengapa berdandan menjadi sebuah keharusan bagi sebagian orang.
Cara pandang yang menghargai kecantikan mendorong tumbuhnya industri mode dan kosmetik untuk menunjang penampilan. Pada 2018, industri kosmetik dunia bertumbuh sebesar 5,5 persen dan persentase penjualan di industri mode dunia meningkat hingga 5 persen.
Cara pandang yang menghargai kecantikan ini diperkuat dengan kehadiran media sosial. Komentar yang mengapresiasi kecantikan seseorang dan mengaitkan dengan kesuksesannya sebelumnya hanya terbatas di kalangan tertentu. Dengan adanya media sosial, semua orang ikut membicarakannya.
Peran internet
Internet awalnya dipercaya bisa memberikan kesempatan yang sama dan lebih demokratis dibandingkan media lainnya. Pertanyaannya adalah apakah internet memberi ruang-ruang yang sama kepada setiap orang untuk memiliki kesempatan dan akses?
Sama seperti yang terjadi di dunia nyata, masyarakat juga cenderung untuk melihat seseorang dari tampilan fisik di media sosial. Media sosial yang dipakai secara masif akhirnya berperan mendorong penyebaran cara pandang yang lebih menghargai penampilan ketimbang karya.
Media sosial juga cenderung memproyeksikan apa yang terjadi di masyarakat dan juga nilai-nilai yang dianut. Akibatnya, ketika masyarakat mendukung keberadaan nilai-nilai patriarkal dengan kuat, wacana yang dominan di media sosial juga akan merefleksikan kondisi ini.
Hal ini yang terjadi pada viralnya penjual tahu yang cantik. Komentar tentang penjual tahu cantik tidak lebih dari kenyataan tentang cara pandang laki-laki yang patriarkal. Bahkan, cara pandang tersebut dapat disebut bisa dikatakan seksis (diskriminasi yang diderita seseorang karena jenis kelaminnya). Dalam hal ini, yang menderita tentu saja perempuan.
Cara melawan nilai-nilai patriarkal
Nilai-nilai patriarkal tersebut merugikan perempuan karena tidak hanya berujung pada diskriminasi, tapi juga membebani perempuan. Beban ini bisa saja berupa kerugian material. Misalnya karena demi memuaskan pandangan laki-laki, maka perempuan harus mengeluarkan duit lebih untuk merias diri.
Baca juga: 5 Kebiasaan ‘Body Shaming’ yang Harus Kita Hentikan
Bagaimana kita bisa mengatasinya?
Caranya adalah dengan mengakui bahwa laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Mereka semua setara. Pemahaman seperti ini bisa diberikan lewat pendidikan sehari-sehari di keluarga dan sekolah. Lewat pelajaran moral, orang tua dan guru bisa mengajarkan bahwa hak-hak perempuan dan laki-laki sama. Selain itu, pesan yang juga perlu disampaikan ke anak-anak adalah bahwa kita bisa menghargai orang apa adanya tanpa bergantung pada gender atau tampilan fisik semata.
Kita juga tidak perlu turut serta mengukuhkan keberadaan nilai-nilai patriarkal dalam media sosial. Dalam kasus penjual tahu yang cantik tersebut, kita tidak perlu ikut-ikutan memviralkan beritanya.
Nashya Tamara ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.