Aku Plagiat Maka Aku Ada, Balada Film dan Sinetron Indonesia
Sinetron ‘Dolanan Game’ adalah contoh nyata bahwa plagiarisme sudah jadi hal jamak dalam dunia hiburan.
Beberapa waktu lalu saya melihat beberapa cuplikan Dolanan Game di kanal YouTube resmi SCTV. Dolanan Game ini merupakan sinetron yang panen kritik orang Indonesia karena dianggap menjiplak serial Netflix Squid Game–lepas dari dugaan Squid Game juga diisukan meniru film As the Gods Will (2014). Masalahnya, Dolanan Game terlalu terang-terangan menjiplak serial Korea itu, mulai dari properti, tema, dan plotnya. Sama sepertiSquid Game, pemain dalam Dolanan Game juga memperebutkan hadiah uang (mereka memperebutkan uang Rp20 juta) dalam kegiatan bernama Festival Dolanan Game.
Pemainnya memakai setelan jaket dengan campuran warna hijau toska dan hitam, tentunya dengan nomor urut di dada. Mereka memainkan permainan anak-anak, seperti lompat tali, membuat mobil-mobilan, dan tarik tambang. Selama permainan, para pemain akan diawasi oleh orang-orang berseragam jaket merah hitam, memakai topeng, dan senjata. Kalau mereka kalah, para “penjaga” ini akan menembak mereka. Bukan tembakan maut seperti yang kita lihat di Squid Game, tapi tembakan berisi cat yang katanya baunya enggak akan hilang seminggu. Gimana? Sudah melihat kemiripannya belum?
Gara-gara sinetron satu ini, sineas film Indonesia, termasuk Ernest Prakasa dan Robert Ronny kesal bukan kepalang. Melalui unggahan foto Dolanan Game di Instagram, Ernest Prakasa menulis caption.
“Halo @SCTV, numpang tanya, nih. Emang enggak ada malu-malunya gitu? Dikiiiiit aja...”.
Unggahannya ini sontak mendapatkan banyak komentar dari teman-teman sesama sineas dan artis Indonesia. Robert Ronny, selaku produser film Indonesia misalnya meninggalkan komentar.
“Parah! Terus kalian heran kalo sudah gak ada lagi yang nonton TV terrestrial free to air?”
Baca Juga: Why Netflix’s Squid Game Becomes a Streaming Phenomenon?
Budaya Plagiarisme dalam Dunia Hiburan
Dolanan Game nyatanya bukan satu-satunya contoh dari bagaimana pelaku industri hiburan Indonesia menormalisasi aksi jiplak menjiplak karya seseorang. Selama bertahun-tahun, Indonesia telah membangun repurtasi buruknya sendiri karena berulang kali memproduksi sinetron dengan cara menjiplak tanpa tahu malu. Apalagi jika kamu penikmat drama Korea (drakor).
Saya yakin kamu tentunya sudah khatam mengidentifikasi sinetron Indonesia apa saja yang merupakan hasil jiplakan drakor terkenal. Mulai dari Malaikat Pelindung yang menjiplak Goblin yang dibintangi Gong Yoo, Kau yang Berasal dari Bintang yang menjiplak My Love From Another yang dibintangi Kim Soo Hyun, sampai Demi Cinta yang menjiplak Autumn in My Heart yang dibintangi Song Seung-heon dan Song Hye-kyo.
Selama penayangan sinetron ini, banyak orang Indonesia yang melayangkan protes, namun layaknya pepatah “Masuk kiri keluar kanan”, para pelaku industri tampaknya tidak pernah menganggap serius protes masyarakat Indonesia. Mendengar saja tidak apalagi mau belajar dari kesalahan mereka dan memperbaiki aksi jiplak menjiplak ini.
Indonesia tak sendirian. Aksi jiplak menjiplak yang lebih dikenal dengan istilah rip-off di budaya populer ini sebenarnya juga jadi latah di banyak negara. Artikel The Express Tribune misalnya, menyebut Bollywood sebagai kartel film rip-off dunia. Bollywood memang bisa dibilang lebih maju untuk urusan produksi film setiap tahunnya. Dalam Forbes disebutkan, industri film india memproduksi film sebanyak 1.602 judul di 2012, sedangkan Hollywood sendiri hanya memproduksi 476 film saja di tahun yang sama.
Namun sayangnya, kuantitas yang ada tidak dibarengi oleh kualitas. Sudah beberapa dekade lamanya India memproduksi film rip-off dari negara lain dan masyarakat India bisa dibilang tidak memusingkan lagi hal ini. Hal ini misalnya dari pengalaman seorang jurnalis India dari Quartz India yang menceritakan pengalamannya bersama seorang temannya yang bersikap bodo amat dengan film Bollywood Ek Villain (2014) yang dituduh sebagai rip-off dari film thriller Korea Selatan I Saw The Devil (2010).
“Ya aku tau film itu jiplakan film Korea, tapi aku dengar itu (Ek Villain) film yang bagus”
Tidak hanya di India, kiblat perfilman dunia, Hollywood juga tidak lepas dari kontroversi aksi jiplak menjiplak ini. Salah satu kontroversi film rip-off Hollywood yang bisa dibilang paling menghebohkan adalah The Lion King. The Lion King, salah satu film animasi tersukses Disney digadang-gadang sebagai hasil rip-off dari manga dan anime Kimba The White Lion. Sebuah karya dari penulis ternama Jepang Osamu Tezuka (penulis Astro Boy).
Kimba The White Lion pertama kali terbit pada 1950 dan memiliki plot dan alur cerita yang sama dengan The Lion King yang baru rilis pada 1994. Kemiripan plot dan alur cerita ini membuat masyarakat Jepang kesal. Susan Napier, profesor retorika dan studi Jepang di Universitas Tufts dalam Washington Post mengatakan masalah ini telah menjadi “luka lama” yang tidak terselesaikan utamanya di antara animator Jepang sendiri. “Luka lama” ini dikarenakan animator Jepang sadar mereka tidak memiliki kuasa apa pun untuk menuntut Disney.
Yoshihiro Shimizu dari Tezuka Productions Dalam buku Japan America: How Japanese Pop Culture Has Invaded the U.S. (2006), bahkan menegaskan mereka tidak pernah menerima kompensasi apa pun.
“Tentu saja, kami didesak untuk menuntut Disney oleh beberapa orang di industri kami. Tapi kami adalah perusahaan kecil yang lemah. Ini akan menjadi sia-sia saja, mengingat pengacara Disney termasuk di antara 20 besar di dunia.”
Baca Juga: Masalah Konten, Kompetensi, Ekspansi Bioskop Hambat Film Indonesia
Kenapa Plagiarisme Terus Terjadi dan Cara Mengidentifikasinya
Melihat begitu lumrahnya pelaku industri hiburan melakukan aksi jiplak menjiplak, tentu dalam benak kita timbul suatu pertanyaan. Kenapa sih hal ini terus terjadi tanpa akhir? Pertama untuk di Indonesia sendiri, menurut saya, aksi jiplak menjiplak karya seseorang sudah tidak bisa terhindarkan karena tuntutan pekerjaan penulis naskah.
Masih ingat tidak dengan adegan enggak masuk akal sinetron Indonesia yang merebus boneka Hello Kitty? Penulis naskah dari sinetron berjudul Surga yang Kedua bernama Aya menjawab lewat utas yang ia buat bahwa saat itu dirinya harus mengejar target menulis naskah. Dengan tenggat yang tinggal 1 jam lagi dan sudah kepalang pusing menulis naskah di tengah malam, Aya pun terpaksa ngebut menulis naskah dalam waktu singkat.
Dalam utas yang sama, Aya juga mengatakan dalam sehari ia harus menyetor 3-6 episode. Kalau skrip yang tidak lolos, ia dan teman-tema penulis naskah lain bisa diteror tanpa melihat waktu, untuk menulis adegan pengganti yang akan disyutingkan saat itu juga.
Baca Juga: We Need to Talk About the Toxic Culture of Sinetron
Tidak hanya karena sistem kejar tayang yang membebani para penulis naskah, aksi jiplak menjiplak dalam dunia hiburan juga kerap terjadi karena ada dorongan untuk mendulang profit. Dalam buku Cultural Studies: A Critical Introduction (2005) dijelaskan, rip-off kerap kali dilakukan oleh pelaku industri karena mereka ingin mendulang profit sebanyak-banyaknya dan meningkatkan rating dari acara mereka. Tidak jarang dengan kualitas produksi yang lebih rendah atau minim budget.
Dalam melakukan skema ini, para pelaku industri pun mengikuti cara follow the leader. Cara di mana mereka meniru karya seseorang yang sudah populer atau mendapatkan tanggapan positif dari banyak orang sebagai jaminan sukses. Follow the leader memungkinkan pelaku industri ini mengamankan posisi karya mereka di masyarakat, sehingga setidaknya karya mereka nantinya tidak akan begitu flop, minim profit dan penonton. Bahkan dalam kasus The Lion King, cara follow the leader ini mampu membuat karya yang digadang sebagai rip-off justru lebih sukses dibandingkan karya aslinya.
Lalu sebagai penonton yang bijak, sebenarnya ada tidak sih cara yang bisa kita lakukan untuk membedakan karya itu terinspirasi atau menjiplak atau rip-off? Dalam jurnal akademik The Definition of Plagiarism and Tribute in Film and Television Works (2021) yang ditulis oleh akademisi dari Universitas Macau, Hao Jiang-feng dikatakan bahwa kita bisa mengidentifikasi apakah sebuah film atau serial TV terinspirasi atau menjiplak lewat dua cara yang mudah.
Pertama, kita bisa mencoba mengidentifikasi tema dan plot utama yang diangkat oleh sebuah karya. Mengidentifikasi tema dan plot akan membuat kita lebih mudah mencari kemiripan dengan karya lain yang pernah kita tonton sebelumnya atau bahkan jika referensinya tontonan kita sedikit, kita bisa mencarinya di internet. Menurut Jiang-feng, kedua elemen ini memiliki pengaruh yang besar dalam membangun keseluruh narasi yang ada. Hal ini nantinya akan memudahkan kita untuk melihat perbedaan antara mana yang karya yang terinspirasi mana yang merupakan plagiarisme.
Kedua, kita bisa melihat mise-en-scene (seluruh aspek visual yang ada pada saat memproduksi film, termasuk di dalamnya properti dan kostum) apa yang digunakan dalam film atau serial TV bersangkutan. Jiang-feng berpendapat, mise-en-scene dalam beberapa kasus seperti kostum yang memiliki ciri khas dapat memudahkan kita melihat apakah suatu karya menjiplak karya lain. Misal, di Squid Game sendiri kita tau jaket dan celana training dengan nomor di dada menjadi ciri khas serial ini. Oleh karena itu, jika kita melihat Dolanan Game kita akan langsung paham apa yang mereka lakukan merupakan tindak plagiarisme.
Kedepannya saya berharap, kedua cara ini dapat menjadi barometer masyarakat untuk terus bersikap kritis pada sebuah karya. Karena mau bagaimana pun, untuk mengubah sistem atau dorongan untuk melakukan rip-off dari pelaku industri dibutuhkan usaha yang keras juga dari masyarakat untuk mencegahnya. Salah satunya adalah dengan mendorong pelaku industri untuk membuat naskah yang lebih orisinil dan kreatif melalui kritik.