Sejak pembelajaran daring di Indonesia berlangsung dua tahun lalu, proses dan target belajar dicapai melalui penggunaan internet. Siswa maupun guru mengaksesnya dengan perangkat elektronik melalui beragam platform seperti Microsoft Teams, Zoom Meetings, dan Google Meet.
Sebagai konsekuensi dari penggunaan platform-platform ini, ada berbagai kendala yang kerap kali muncul, di antaranya kurangnya interaksi langsung di antara guru dan siswa.
Banyak siswa di seluruh dunia, misalnya, enggan mengaktifkan fitur kameranya sehingga kehadiran mereka dalam kelas daring tidak terlihat. Dalam rangkaian studinya pada 2021, peneliti Vasile Gherhes dari Romania menyebut ini dengan istilah “generation invisible”.
Hal tersebut membuat pengajar kesulitan berinteraksi dalam kelas dan membuatnya seperti sedang berbicara sendiri atau “mengajar kepada tembok”. Bagi guru, mengajar di depan layar kosong juga dapat mengecilkan hati mereka karena tidak dapat melihat isyarat visual yang biasanya mengindikasikan perhatian dan pemahaman siswa.
Lalu, mengapa sebagian besar siswa sangat berat rasanya untuk mengaktifkan kameranya?
Baca juga: Masa ‘School from Home’ Ajarkan Prestasi Akademis Bukan Segalanya
Efek Lampu Sorot yang Penuh dengan Tekanan
Ada setidaknya dua penjabaran berdasarkan ilmu psikologi yang dapat menjelaskan mengapa siswa enggan muncul di depan kamera.
Pertama, menyalakan kamera dalam kelas daring memicu persepsi ‘spotlight effect’, yakni kepercayaan bahwa orang lain sedang memperhatikan dirinya lebih dari yang sebenarnya.
Dalam bahasa kekinian, istilah ini juga kerap dikenal dengan ‘Zoom fatigue’. Kamera yang menyala dianggap sebagai mata yang terus mengamati setiap gerak-gerik yang dilakukan, sehingga secara tidak sadar murid akan merasa perlu terus-menerus mengawasi ekspresi dan perilakunya di depan kamera. Ini terjadi karena melalui kelas daring, para siswa bisa melihat satu sama lain setiap saat, termasuk melihat dirinya sendiri.
Padahal, biasanya sebuah kelas diatur agar semua siswa menghadap ke arah guru yang mengajar di depan kelas.
Lebih parahnya lagi, ketidaknyamanan juga dirasakan karena siswa tidak bisa mengetahui siapa yang sedang memperhatikan dirinya.
Bukan hanya itu, mengaktifkan kamera memungkinkan siswa untuk melihat dirinya sendiri ketika sedang berinteraksi – ini memaksa sistem psikisnya untuk bekerja ekstra dalam memonitor dirinya di saat yang sama dengan berkonsentrasi mendengarkan atau menyampaikan pendapat .
Kedua, masih berkaitan dengan argumen di atas, banyak siswa enggan karena mereka mempersepsikan menyalakan kamera sebagai hal yang opsional – alias tidak wajib. Ketika menyalakan kamera justru dianggap tekanan, dan hal itu datang sebagai pilihan, maka menjauhkan diri dari pilihan tekanan itu adalah respons yang natural.
Di dalam kelompok, ketika beberapa orang mematikan kameranya saat kelas, hal ini dapat diikuti dengan beberapa orang lainnya. Kondisi tersebut kemudian membentuk norma di dalam kelompok. Ketika sebagian besar siswa mematikan kameranya, maka siswa lain cenderung mematikan kameranya juga.
Di sisi lain, beberapa dari mereka merasa canggung untuk mengaktifkan kameranya ketika tidak ada orang lain yang melakukannya juga – suatu reaksi umum yang merefleksikan sifat konformitas di dalam kelompok.
Baca juga: ‘Digital Fatigue’: Kelelahan Digital dan Cara Tepat Mengatasinya
Menyalakan Kamera: Manfaat Psikologis Serta Wujud Etiket Berkomunikasi
Meski demikian, menyalakan kamera dalam kelas daring sebenarnya adalah hal yang penting bagi proses belajar mengajar.
Para ahli beranggapan bahwa menyalakan kamera di dalam kelas bermanfaat untuk mengurangi rasa kesepian dan mengembangkan profesionalitas digital.
Dalam sebuah studi tahun 2021, tim peneliti dari Inggris memaparkan bahwa kamera yang mati berpotensi memunculkan perasaan kesepian bagi beberapa siswa. Sebaliknya, menyalakan kamera dapat memfasilitasi adanya rasa persahabatan dan komunitas.
Studi lain dari Amerika Serikat (AS) juga menunjukkan bahwa kamera menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membuat koneksi dengan teman sebaya serta tetap mengikuti konten pelajaran dengan optimal.
Di sisi lain, mempertimbangkan bahwa komunikasi secara daring akan tetap menjadi mode komunikasi setelah pandemi berakhir, penting bagi individu untuk mulai membiasakan diri dalam berkomunikasi dan mempresentasikan diri di hadapan kamera.
Ini merupakan salah satu wujud sikap yang profesional serta dapat merefleksikan tanggung jawab dan etika dalam berkomunikasi.
Baca juga: Mas Nadiem, ‘Learning Loss’ di Tengah Pandemi Cuma Lagu Lama
Mengantisipasi Generation Invisible
Mengingat hal di atas, aktor-aktor pendidikan perlu menyusun strategi untuk mendorong siswa mengaktifkan kameranya.
Hal ini dapat dimulai dengan mengkomunikasikan pada siswa mengapa penting untuk menyalakan kamera, yaitu adanya nilai komunikasi non-verbal, meningkatkan efektivitas proses pembelajaran, serta membangun hubungan dengan sesama warga kelas.
Dengan imbauan yang jelas sejak awal tahun ajaran, sekolah dan guru dapat mendorong praktik menyalakan kamera sebagai norma di dalam kelas. Harapannya, seluruh siswa menjadi tidak malu dan dapat berpartisipasi dalam kesepakatan ini.
Tentu ekspektasi ini perlu disampaikan secara berimbang. Guru dan sekolah perlu memberi ruang bagi siswa yang rentan mengalami kelelahan di pertemuan daring (Zoom fatigue). Oleh karenanya, daripada menyusun aturan yang keras agar siswa menyalakan kamera, strateginya perlu fokus pada menggugah kesadaran siswa.
Dengan demikian, siswa mungkin dapat sesekali mematikan kameranya ketika merasa sangat lelah atau terdapat distraksi lingkungan, tanpa merasa khawatir akan dianggap melanggar aturan kelas.
Peneliti dari AS, Castelli dan Sarvary mengusulkan pendekatan yang berpusat pada siswa; kebiasaan menyalakan kamera perlu didasarkan pada apa yang terbaik bagi pembelajaran siswa itu sendiri, bukan yang terbaik bagi sang guru.
Beberapa siswa, misalnya, mungkin memiliki alasan yang cukup sensitif yang membuatnya tidak nyaman untuk menyalakan kamera. Ini menjadi catatan penting bagi pengajar untuk tetap melibatkannya dalam aktivitas kelas.
Tapi, di sisi lain, guru perlu tetap menyeimbangkannya dengan kegiatan kelas yang menyenangkan dan interaktif – seperti menggunakan polling, diskusi dalam kelompok kecil, dan lainnya.
Dengan melibatkan siswa secara aktif, mereka tidak akan merasa bahwa semua orang sedang memperhatikannya sepanjang waktu.
Fenomena ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pengajar. Yang menjadi poin penting bukanlah bagaimana mengajak sebanyak mungkin siswa untuk menyalakan kameranya, melainkan bagaimana pengajar bisa menciptakan suasana kelas yang senatural mungkin sehingga mendorong komunikasi dan partisipasi yang menyenangkan di ruang kelas.
Wynne Devina, salah satu mahasiswa saya di Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.