Protes adalah Hak: Aliansi Perempuan Indonesia Desak Negara Setop Kekerasan
Setiap kali September tiba, ingatan bangsa kembali ditarik pada jejak kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Dari Gerakan 30 September 1965, hingga penggusuran represif di Rempang pada 2023, September menjadi pengingat akan keadilan yang belum ditegakkan.
Luka itu juga menjadi pengingat betapa pentingnya menjaga ruang demokrasi dari represi. Dengan mengusung tema “Protes Adalah Hak”, Aliansi Perempuan Indonesia dalam peringatan September Hitam (10/9) menegaskan, suara rakyat bukan ancaman, melainkan bagian sah dari perjuangan menuju keadilan dan perubahan sosial.
Namun kenyataan di lapangan berbeda. Mereka mencatat, sepanjang aksi (25/8) sampai (1/9), terdapat 10 orang meninggal, 3.337 orang ditangkap, 1.042 orang luka-luka, 20 dari 23 orang masih hilang, dan 60 kasus kekerasan menimpa jurnalis.
Data lapangan tersebut mencatat adanya perbedaan signifikan antara hak konstitusional untuk menyuarakan protes dan insiden kekerasan yang terjadi selama aksi.
Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika mengkritik pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut tuntutan penarikan TNI dari demonstrasi masih bisa diperdebatkan. Hal itu disampaikan Presiden saat berbincang dengan pemimpin redaksi media (8/9).
Mutiara menilai, pernyataan itu berpotensi memberi legitimasi bagi Polri dan TNI untuk terus menggunakan pendekatan kekerasan terhadap demonstran maupun aktivis yang menyuarakan kritik politik. Ia menegaskan, situasi ini kembali mengingatkan pada jejak panjang kekerasan negara.
Baca Juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol
Saat Kritik Berbalas Teror
Isu pembungkaman protes tidak hanya hadir di jalanan, tapi juga merembet ke ruang digital dan bahkan ranah privat. Luviana, Pemimpin Redaksi Konde.co menyoroti penangkapan figur publik, seperti Direktur Lokataru Delpedro Marhaen.
“Negara tidak lagi memilih jalan dialog atau mekanisme demokratis, tetapi justru membatasi dan menstigma protes. Padahal, protes adalah hak,” tegasnya.
Siti Aminah Tardi dari The Indonesian Legal Resource Center menambahkan, praktik intimidasi juga dilakukan melalui cara-cara lain, seperti kecelakaan yang disengaja dan intimidasi terhadap keluarga.
Ia juga menyoroti keterlibatan TNI yang tidak semestinya, sebab penegakan hukum atas kebebasan berekspresi adalah kewenangan Polri, bukan TNI. Menurutnya, pernyataan pasukan siber TNI yang berencana menindak akun-akun kritis justru mengaburkan batas kewenangan dan membuka ruang penyalahgunaan.
“Akan lebih baik bila ada undang-undang khusus yang menjamin hak para pembela HAM, agar kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi, bukan diintervensi dengan cara-cara abusif,” ujarnya.
Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi
Kegagalan Negara hingga Jalan Keluar
Ija Syahruni dari Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia punya pandangan serupa. Ia bilang, pola represi yang disponsori negara mencerminkan kemunduran demokrasi yang semakin jauh dari prinsip negara hukum.
Menurutnya, di balik protes yang dilakukan rakyat, ada keresahan nyata yang seharusnya direspons negara. Ija mencontohkan masalah struktural yang gagal dilihat negara, seperti tingginya angka putus sekolah, kasus stunting dan keracunan makanan massal masih marak, serta perkawinan dini yang belum teratasi. Baginya, itu semua adalah cermin dari ketidakberpihakan anggaran negara pada layanan publik.
“Kita ingin melihat Indonesia baik-baik saja, masyarakat sejahtera, mendapat akses terbaik. Maka perangkat dan pejabat negara seharusnya berpihak pada rakyat, bukan membungkam mereka,” ucapnya.
Dalam konferensi pers itu, Sari Wijaya dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia mengingatkan, September Hitam menjadi momen penting untuk menyoroti budaya kekerasan negara tanpa ada upaya penyelesaian.
“Pertanyaannya, mau sampai kapan pola ini dibiarkan?” ujar Sari.
Ia menambahkan, praktik serupa pernah terlihat pada masa Orde Baru, ketika konflik horizontal antarwarga sipil justru dipicu oleh kebijakan negara. Pola itu, katanya, kini kembali terlihat pada respons negara yang tak solutif. Sebaliknya, kebijakan itu malah memunculkan masalah baru. Oleh karena itu, Sari mendorong lahirnya demokrasi yang bermakna dan inklusif.
Gagasan demokrasi yang inklusif ini senada dengan suara kelompok rentan. Marsinah Dhede dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyatakan, pemenuhan hak-hak kelompok rentan tidak mungkin terjamin jika demokrasi terus berada dalam ancaman.
Baca Juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Ramai-ramai WFH
Baginya, perlindungan terhadap kelompok rentan dan disabilitas hanya bisa terwujud dalam iklim demokrasi yang sehat, di mana protes dipandang sebagai bagian sah dari partisipasi warga negara.
Aliansi Perempuan Indonesia juga menekankan, protes adalah hak konstitusional yang tidak boleh dijawab dengan kekerasan. Karena itu, mereka mengajukan tuntutan, di antaranya mendesak Presiden Prabowo untuk menghentikan keterlibatan TNI dalam urusan sipil serta segala praktik kriminalisasi terhadap rakyat, aktivis, maupun jurnalis.
Aliansi juga menekankan pentingnya jaminan penuh atas kebebasan berserikat dan berpendapat, serta menuntut agar anggaran negara lebih berpihak pada pendidikan, kesehatan, dan layanan publik ketimbang belanja militer.
















