June 23, 2025
History Issues Opini

#Re(Formasi)1998: Gen Z Menolak Lupa Sejarah Orba 

Sebagai Gen Z, saya butuh 20 tahun untuk menyadari betapa culasnya penguasa Orde Baru. Mereka tak cuma mengaburkan sejarah tapi juga menghapus ingatan kolektif warga.

  • May 16, 2025
  • 7 min read
  • 504 Views
#Re(Formasi)1998: Gen Z Menolak Lupa Sejarah Orba 

Minimal sekali seumur hidup, kamu pasti pernah melihat wajah Suharto yang tersenyum lebar, melambaikan tangan, sambil bilang, “Piye, penak zamanku, to? (Gimana, lebih enak zamanku, kan?)” Entah melihatnya di belakang truk atau menjadi meme yang menghiasi beranda media sosial. 

Sayangnya sebelum terpapar sumber-sumber sejarah alternatif, pemahaman saya soal Orba juga ala kadarnya. Seumur hidup, cerita yang saya dengar berulang kali soal Orba, adalah bahaya laten Partai Komunis Indonesia (PKI) karena mengancam kelangsungan negara. Mereka yang bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan para korban, termasuk perwira tinggi TNI AD. 

Narasi itu sangat familier, dan selalu disampaikan oleh guru SD sampai SMA. Misalnya lewat pelajaran sejarah, menonton film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1984) saat kelas enam SD, dan karyawisata ke Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Timur—monumen yang dibangun Suharto untuk mengenang pengorbanan pahlawan revolusi, yang melindungi negara dari “ancaman” komunisme. 

Namun, sekolah bukan satu-satunya faktor. Saya datang dari keluarga yang enggak membangun budaya diskusi, termasuk membahas politik. Ibu cenderung menutup mata, sedangkan bapak rutin membaca berita dan kerap mengkritik kebijakan pemerintah lewat celetukan sehari-hari. Pernah suatu momen, saya menanyakan Tragedi 1998 dan yang terjadi selama rezim Suharto. Jawaban mereka sebatas pemerintahan itu otoriter dan ada krisis moneter, menyebabkan lengsernya Suharto. 

Sementara lingkungan pertemanan, juga bukan kalangan teman-teman yang suka membaca. Kami hidup nyaman dan penuh privilese, sampai terbutakan oleh realitas. Tanpa terpapar sumber lain, saya pun sempat percaya, PKI merupakan dalang G30S. Dan konflik 1998 tak lebih dari muaknya masyarakat dengan otoritarianisme. 

Perkenalan saya dengan sejarah Orde Baru (Orba) “yang sebenarnya”—alias bukan bikinan pemerintah dan penguasa—berawal dari Jagal (2012) dan Senyap (2014). Waktu itu saya duduk di semester empat perkuliahan, ketika seorang dosen merekomendasikan kedua film tersebut. 

Kedua dokumenter besutan sutradara asal AS Joshua Oppenheimer, menceritakan hal yang asing buat saya. Jagal mengungkap pembunuhan masyarakat sipil—keturunan Tionghoa, yang dituduh terafiliasi dengan PKI, dan kelompok intelektual—dari perspektif algojo yang membantu tentara. Sedangkan Senyap, mengisahkan keluarga korban pembunuhan massal 1965. 

Dari situ, saya membuka diri untuk kembali mempelajari sejarah. Walaupun sempat merasa terlambat, karena kurang pengetahuan soal sejarah bangsa sendiri. 

Baca Juga: Bagaimana Rasanya Hidup di Tengah Dwifungsi ABRI? 

Masalah Sistemik dan Pentingnya Unlearn Sejarah 

Awalnya saya malu, baru mengenal sejarah Orba di usia dewasa gara-gara tinggal di bubble sendiri. Sejak kecil sebenarnya saya berprivilese untuk mengakses internet dan punya ketertarikan membaca novel. Namun, saya enggak terlalu kepo karena memang jarang mengonsumsi media. Alasan lain, bapak enggak mengizinkan saya membaca, selain buku pelajaran. 

Bahkan ceritanya mungkin akan berbeda, kalau saya enggak kuliah jurnalistik. Bisa jadi belum tentu paham pentingnya belajar ulang sejarah, terpapar isu sosial dan politik, serta masih bersikap apatis. 

“Bukan sepenuhnya salah kamu. Memang pemerintah dan penguasa mau ngubur masa lalu,” kata seorang teman, merespons keresahan saya saat itu. 

Realitasnya, mereka juga mengaburkan sejarah dengan membuat narasi tunggal, untuk mempertahankan citra positif. Pemerintah menyederhanakan peristiwa berdasarkan urutan kejadian, tanpa pembahasan lebih luas dan menyangkut konflik secara utuh. Buktinya tertulis dalam buku cetak sejarah, yang sampai saat ini masih dipelajari anak-anak—saya mengetahui soal materi ini dari keponakan yang duduk di bangku SD dan SMP. 

Akibatnya, generasi muda semakin dijauhkan dari sejarah. “Adeline”, 25 misalnya, tahu meski rezim Orba begitu otoriter, kondisi ekonominya lebih sejahtera. Padahal, di baliknya, banyak kejahatan yang tak terungkap. 

“Setelah unlearn sejarah, baru tahu ada ‘harga yang harus dibayar’ lewat pemberangusan kebebasan,” cerita Adeline. 

Ia pertama kali mengenal sejarah Orba, setelah mendengar cerita Fico Fachriza—komedian dan cucu dari Murad Aidit, adik Ketua PKI D. N. Aidit—di Narasi. Sebelumnya, Adeline lebih mengenal PKI sebagai organisasi yang tak percaya Tuhan. Pemahaman ini melekat karena latar belakang keluarga Adeline, yang adalah TNI. 

Namun, selain mengantagonisasi PKI, pemerintah dan penguasa juga menuturkan berbagai propaganda terhadap perempuan. Misalnya tuduhan menari telanjang dan menyilet alat kelamin jenderal terhadap Gerwani, hingga dipaksa mengaku walaupun tak pernah melakukannya. Padahal, Gerwani yang memberantas pernikahan dini, memberikan pendidikan pada perempuan, dan melawan eksploitasi pelacuran. 

Sedangkan soal Tragedi 1998, pemerintah dan penguasa kerap menyangkal kenyataan di berbagai kesempatan. Seperti Presiden Prabowo Subianto saat masa kampanye Pilpres 2014. Ia bilang, melakukan penghilangan paksa sebagai prajurit yang menjalankan perintah atasan—Suharto. 

Ada juga anggota DPR Andre Rosiade—pada 2019 menjabat sebagai anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra, yang menyampaikan hal lain saat diwawancara BBC Indonesia. Katanya, penculikan yang dilakukan Prabowo adalah “kaset rusak yang diputar ulang”, setiap Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden. Bahkan meng-gaslight publik, jika Prabowo menculik delapan orang aktivis, beberapa di antaranya enggan bergabung dengan Partai Gerindra seperti saat itu. 

Di tahun yang sama, saya yang sedang belajar ulang soal penculikan aktivis 1998 pun sempat bingung, melihat berbagai pernyataan politisi dan pejabat publik terkait tragedi tersebut. Ditambah narasi buzzer di X (dulunya Twitter), yang berusaha mempertahankan citra Prabowo—bahwa isu Prabowo sebagai penjahat HAM, merupakan upaya untuk menjatuhkannya. 

Baca Juga: Gen Z Menolak Dipanggil Buruh dan Warisan Orde Baru 

“Jadi mana yang bisa dipercaya?” pikir saya waktu itu. 

Ada masanya saya berhenti mengeksplor sejarah Orba, karena enggak tahu sumber kredibel untuk belajar. Sampai di tahun pertama bekerja sebagai jurnalis, saya merasa ada kekosongan pengetahuan yang akan berdampak pada proses kerja. Momen tersebut sekaligus menjadi titik balik, yang menyadarkan pentingnya memahami sejarah bangsa—bukan hanya sebagai jurnalis, tetapi sebagai warga sipil yang perlu memahami hak-haknya. 

Beruntung, setelah lulus kuliah, saya dikelilingi oleh teman-teman yang lebih paham tentang sejarah negara dan lebih dulu unlearn soal Orba. Beberapa tahun terakhir, netizen X pun sering membahas rekomendasi buku, maupun tontonan yang membahas “dosa-dosa negara”. Karena itu, budaya populer menjadi medium utama untuk kembali mempelajari sejarah Orba. 

Baca Juga: 6 Film Penting yang Bikin Gen Z Melek Sejarah 

Belajar lewat Budaya Populer Jadi Paham Perspektif Korban 

Alasan utama saya memilih budaya populer untuk mempelajari sejarah, adalah mudah diakses dan dipahami. Narasi yang disampaikan dalam film maupun buku—terutama fiksi, memberikan ruang bagi saya untuk mengobservasi peristiwa sekaligus berempati dengan korban. 

Misalnya Pulang (2015). Menceritakan eksil politik 1965 yang tak bisa kembali ke Tanah Air. Lewat narasi yang dituliskan Leila Chudori, saya bisa membayangkan kelamnya hidup para mahasiswa Indonesia, yang “terbuang” dan mencari tempat aman untuk menetap. Atau bagaimana tuduhan penguasa terhadap Gerwani berdampak pada hidup mereka, seperti dialami oleh Kaminah dan Kusdalini dalam You and I (2020). 

Sementara dari Di Balik 98 (2015), saya mulai lebih memahami sejarah Orba bukan cuma soal politik tinggi dan konflik ideologi, tapi juga luka warga. Film ini memperlihatkan bagaimana persekusi Tionghoa menjadi bagian dari tragedi yang nyaris tak pernah dibicarakan di bangku sekolah. 

Kala menontonnya, saya langsung teringat cerita guru SMP bahwa pada 1998, keselamatannya terancam hanya karena bermata sipit. Saat itu, ia masih duduk di bangku sekolah dan terpaksa dipulangkan karena situasi tak kondusif. Bahkan di rumah pun, ia dan keluarganya harus bersembunyi demi menghindari bahaya. Narasi dari sudut pandang korban seperti ini—baik melalui film dokumenter, kesaksian pribadi, maupun laporan media—membuka ruang empati sekaligus memperluas pemahaman kita. 

Sejarah bukan lagi sekadar catatan peristiwa besar yang ditulis negara, tapi juga kumpulan pengalaman nyata dari mereka yang terdampak. Kita jadi tahu ada sisi-sisi penting yang selama ini disembunyikan, disimplifikasi, atau bahkan dihapuskan. Menyadari ini membuat kita lebih kritis terhadap narasi dominan, dan lebih hati-hati terhadap glorifikasi masa lalu yang dangkal. 

Di tengah tren nostalgia Orba dan glorifikasi Suharto, penting buat Gen Z untuk memilih berpihak. Bukan pada penguasa yang membungkam, tapi pada korban yang selama ini tak punya suara. Sebab, sejarah yang jujur bukan hanya tentang mengingat, tapi juga keberanian untuk tidak ikut melupakan. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.