Ambiguitas Hukum, Pemahaman Agama Keliru Dorong Tingginya Perkawinan Anak
Definisi hukum yang beragam mengenai batasan usia dan kekeliruan dalam memahami agama mendorong tingginya perkawinan anak di Indonesia.
Definisi hukum yang beragam mengenai batasan usia yang disyaratkan dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 masih menimbulkan ambiguitas hukum. Hal ini dinilai turut mendorong maraknya perkawinan anak. Tak hanya itu, penafsiran agama salah juga ikut melanggengkan fenomena ini.
Satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Artinya 24 persen perempuan di Indonesia melakukan praktik perkawinan anak, sehingga saat ini Indonesia menduduki peringkat ke tujuh di dunia dengan angka perkawinan anak terbesar.
Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) Lies Marcoes mengatakan, ambiguitas hukum merupakan salah satu faktor masih maraknya praktik perkawinan anak di Indonesia. Sejak era reformasi terjadi kontestasi antara penerapan hukum primordial dan hukum nasional. Dalam konteks perkawinan anak, hukum nasional memberi penjelasan yang berbeda-beda mengenai definisi ‘dewasa’.
“Masalahnya adalah ruang publik kita sedang berayun ke arah yang lebih konservatif sehingga hukum agama dianggap lebih utama dibandingkan hukum nasional,” ujar Lies dalam seminar nasional bertajuk “Menyelesaikan Ambiguitas Hukum Praktik Perkawinan Anak” di Universitas Indonesia, Depok, pada 13 Agustus.
Lies memaparkan empat Undang-Undang yang memiliki definisi berbeda untuk orang yang dinilai dewasa. Dalam UU Perkawinan Tahun 1974 yang disebut sebagai orang dewasa adalah berumur minimal 16 tahun. UU Kependudukan dan aturan di catatan sipil menetapkan usia 17 tahun, dan UU Perlindungan Anak menetapkan usia 18 tahun, sementara UU Tenaga Kerja menetapkan usia 21 tahun.
Hal serupa disampaikan Ketua Lembaga Kajian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto. Ia mengatakan bahwa ambiguitas terlihat dalam peraturan perundangan-undangan.
Sulistyowati juga mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak menaikkan batas usia perkawinan bagi anak perempuan yang dimohonkan oleh tiga korban perkawinan anak.
“Jika ingin melindungi hak-hak anak yang direnggut karena perkawinan anak, sebaiknya batasan usia dalam UU Perkawinan itu disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak,” katanya.
Pemahaman agama yang keliru
Manajer Program dan Advokasi Rumah KitaB Ustaz Achmad Hilmi mengatakan, sejumlah pemahaman keagamaan yang keliru berdampak pada tingginya perkawinan anak di Indonesia.
“Misalnya, pandangan bahwa anak sebaiknya segera dinikahkan daripada berzina, atau anak harus segera dinikahkan karena sudah akil balig. Ada pula hadis populer yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah, istri keempat Nabi, ketika masih berusia enam tahun,” kata Achmad.
“Padahal sudah ada fatwa-fatwa para ulama yang mengharamkan perkawinan anak. Beberapa ulama dari Mesir pun mengharamkan perkawinan anak. Bahkan
Syekh Ali Gomaa mengatakan, pelaku perkawinan anak pantas untuk dihukum pidana,” ungkap Hilmi.
Hilmi menegaskan pernikahan anak melanggar syariat Islam karena tidak menciptakan kemaslahatan yang menjadi tujuan utama agama.
Nur Rofiah dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia mengatakan beragama harus melihat realitas sosial agar tidak menimbulkan kerusakan atau bahaya.
“Misi utama agama adalah untuk mewujudkan kemashlahatan di bumi, termasuk dalam keluarga. Sedianya perkawinan anak dilihat dalam konteks ini,” kata Nur.
Lebih lanjut lagi, Nur menjelaskan tiga level kesadaran tentang “kemanusiaan perempuan.” Pertama, kesadaran di mana manusia itu hanya lelaki dan perempuan, bukan manusia.
“Dalam kesadaran ini, maka memperlakukan manusia secara tidak manusiawi dianggap sebagai hal yang wajar. Misalnya menjodohkan anak yang masih dalam kandungan atau memaksa anak untuk kawin,” tambahnya.
Di level menengah, memandang perempuan itu sebagai manusia, namun standar kemanusiaan yang digunakan adalah laki-laki.
“Maka pengalaman khas perempuan yang tidak dimiliki oleh kaum lelaki tidak dianggap sebagai masalah kemanusiaan, melainkan hanya masalah keperempuanan. Ini terus melekat sehingga kebijakan negara bagi perempuan pun disesuaikan sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk laki-laki dan dalam perspektif laki-laki,” jelas Nur.
Level terakhir yang sedang diupayakan dalam Islam, lanjut Nur, adalah kesadaran tertinggi, di mana laki-laki dan perempuan dipandang sebagai sama-sama manusia dengan memperhatikan kondisi khas perempuan baik secara biologis maupun sosial.
Nur menjelaskan bahwa terdapat lima kondisi khas perempuan yang tidak dimiliki laki-laki. Kondisi khas tersebut yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Sementara kondisi sosial khas perempuan yang tidak dimiliki laki-laki adalah akibat dari relasi gender yang timpang, sehingga perempuan mengalami ketidakadilan hanya karena ia perempuan.
Nur juga menggarisbawahi dampak dari perkawinan anak mulai dari berhubungan seksual secara terpaksa sebelum waktunya, tingginya angka putus sekolah, rendahnya tingkat pendidikan anak perempuan, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Berbagai dampak negatif ini sedianya membuat semua pihak harus bersikap proaktif mencegah terjadinya perkawinan anak,” katanya.
Direktur Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Khaerul Umam Noer menjelaskan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 di pedesaan terdapat 27,11 persen anak yang menikah sebelum berumur 18 tahun. Di perkotaan, tahun 2014 terdapat 18,48 persen anak menikah di bawah usia 18 tahun, kemudian turun menjadi 17,09 persen di 2015.
“Sebaran angka perkawinan anak Indonesia di atas sepuluh persen merata di semua wilayah provinsi di Indonesia. Kesimpulannya, Indonesia darurat perkawinan anak,” ujar Khaerul.
Baca tentang hak-hak perempuan pekerja rumahan yang tak diakui dan follow @bunnnicula di Twitter.