Anak-anak dengan Autisme Hadapi Masalah Akses Pendidikan
Anak-anak dengan autisme menghadapi masalah dalam mengakses pendidikan akibat kebijakan pendukung yang kurang efektif dan minimnya kolaborasi pendidik dan masyarakat.
Sekolah-sekolah di Indonesia masih menemukan banyak tantangan dalam mengakomodasi kebutuhan anak-anak penyandang autisme.
Autisme sendiri merupakan sebuah spektrum gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan berbagai hal, antara lain keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, ketertarikan spesifik terhadap hal tertentu, dan perilaku berulang. Karena adanya keterbatasan dan perbedaan dalam diri anak-anak autis, mereka kerap membutuhkan perhatian khusus dalam pendidikannya.
Sayangnya, perhatian pemerintah masih minim terhadap pendidikan untuk anak autis. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya data yang sinkron terkait jumlah anak penyandang autisme di Indonesia.
Baca juga: Stigma dan Fasilitas Tak Memadai Hambat Pekerja dengan Disabilitas
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) memperkirakan ada sekitar 2,4 juta orang penyandang autisme di negeri ini, dengan pertambahan penyandang baru 500 orang per tahun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka yang lebih rendah, yaitu jumlah anak berkebutuhan khusus ada 1,6 juta anak di Indonesia. Dari jumlah anak berkebutuhan khusus ini, diperkirakan hampir 80 persen di antaranya belum mendapatkan pendidikan yang layak.
Kondisi ini semakin parah sejak COVID-19 mewabah. Anak-anak penyandang autisme di Indonesia kesulitan mendapatkan hak-hak pendidikan di sekolah formal yang mengakomodasi kebutuhan khusus mereka. Akses pendidikan bagi mereka makin sulit saat memasuki masa pandemi karena mayoritas sekolah melaksanakan pembelajaran daring yang menghilangkan interaksi fisik secara dekat antara guru dan siswa.
Masalah ini bermula dari implementasi kebijakan yang kurang efektif dalam mendukung belajar untuk anak-anak autis. Selain itu, kolaborasi antara aktor pendidikan dan masyarakat juga masih kurang.
Masalah kebijakan
Pada tahun 2000, satu dari 150 anak di Amerika Serikat didiagnosis berada dalam spektrum autisme. Hanya dalam waktu kurang dari dua dekade, statistik tersebut melonjak menjadi satu dari 54 anak masuk dalam spektrum autisme. Pola yang sama dikhawatirkan terjadi juga di negara lain termasuk Indonesia.
Sebenarnya, dalam beberapa tahun terakhir mulai tampak usaha pemerintah Indonesia untuk memperhatikan anak-anak berkebutuhan khusus. Salah satunya melalui pendataan siswa penyandang disabilitas di sekolah inklusif dan acara perkemahan bersama untuk siswa Sekolah Luar Biasa (SLB).
Tapi, perhatian ini masih melihat secara keseluruhan anak yang memiliki kebutuhan khusus, belum kepada anak penyandang autisme. Usaha pemerintah pada tahap awal ini akan lebih baik lagi jika bisa dimatangkan dengan belajar dari negara lain.
Di level regulasi, kita mempunyai Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak mengakses pendidikan. Dalam UU tersebut, khusus untuk pendidikan diatur di pasal 10 yang menyatakan hak yang setara bagi anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
Kemudian, ada Peratuan Menteri Pendidikan No. 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif yang masih menuai beberapa kritikan karena aturannya sangat umum dan kurangnya komitmen pemerintah.
Peraturan ini hanya mewajibkan pemerintah kabupaten dan kota untuk menunjuk paling sedikit satu sekolah di setiap kecamatan sebagai tempat belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Peraturan ini pun cenderung menggeneralisasi semua kategori disabilitas. Padahal, anak-anak penyandang autisme memiliki karakter khusus yang membutuhkan strategi pembelajaran yang juga spesifik.
Pada level mikro, aturan yang dibuat pemerintah masih menggunakan diksi “berkelainan” yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak-anak penyandang autisme.
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan luar biasa, terminologi yang digunakan adalah anak penyandang cacat dan anak yang memiliki keunggulan. Ini juga menandakan bahwa UU tersebut perlu direvisi karena dari segi terminologi, isinya belum berpihak kepada anak-anak penyandang disabilitas dan autisme.
Baca juga: Ketika Rumah Jadi Penjara bagi Perempuan dengan Disabilitas
Pentingnya kolaborasi dan perubahan struktural
Kita perlu menengok kembali konsep Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mengenai Trisentra: Tiga arena penting dalam mendidik anak yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Dalam konteks pendidikan untuk anak-anak autis, kolaborasi antara sekolah, keluarga dan masyarakat/komunitas menjadi hal yang perlu diintensifkan dan itu merupakan kunci dari pembangunan pendidikan.
Konsep “momong, among, ngemong” dari Ki Hadjar Dewantara sangat kontekstual untuk pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus yang memerlukan perhatian ekstra, penuh kasih, dan menyeluruh.
Selain itu, keberpihakan secara struktural menjadi sangat penting dalam membangun pendidikan yang berpihak kepada penyandang autisme. Tanpa keberpihakan, anak-anak penyandang autisme akan semakin tertinggal dalam proses pendidikan dan kemudian semakin terbatasi dalam menentukkan pilihan-pilihan dalam kehidupannya pada masa depan.
Kita juga bisa belajar dari Amerika Serikat lewat penerapan Individualized Education Program (IEP) yang melibatkan orang tua dalam program pendidikan khusus bagi anak-anak penyandang autisme.
Setidaknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki direktorat yang mengurusi secara langsung anak-anak berkebutuhan khusus. Meski ada banyak keterbatasan, direktorat ini memiliki beberapa kebijakan yang sudah mulai berpihak kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Kebijakan yang lebih berpihak kepada anak-anak berkebutuhan khusus perlu didorong oleh seluruh pihak dan diupayakan secara berkelanjutan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 masih perlu aturan turunan hingga di level teknis agar penyelenggara pendidikan lebih mudah dijalankan di level sekolah.
Pemerintah perlu memberi perhatian secara materil dan moral pada tenaga profesional seperti terapis dan psikolog yang membantu anak-anak autis belajar. Kita juga perlu berkampanye lebih masif di media massa dan media sosial untuk meningkat kesadaran ihwal pentingnya akses pendidikan yang memadai bagi anak-anak autis.
Langkah-langkah di atas akan sangat membantu anak-anak penyandang autisme dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya beserta keluarga mereka, terutama pada masa pandemi seperti sekarang ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.