Lifestyle Madge PCR

Anak Laki-laki Jahil ke Perempuan, Benarkah karena Naksir?

Katanya, anak laki-laki yang jahil ke perempuan berarti sedang naksir. Padahal, ini bukti mereka perlu belajar mengekspresikan perasaan agar tak menyampaikan lewat kekerasan.

Avatar
  • May 19, 2023
  • 5 min read
  • 4247 Views
Anak Laki-laki Jahil ke Perempuan, Benarkah karena Naksir?

Saat duduk di Sekolah Dasar (SD), ada teman laki-laki “Ivan” yang senang membuntutiku. Sebagai teman sebangku, relasi kami cukup dekat. Selain saling membantu dalam belajar, aku dan Ivan juga ngobrolin hal-hal populer di kalangan anak-anak. Sayangnya, meski dia sosok menyenangkan, Ivan suka jahil padaku.

Sering kali ia menyembunyikan alat tulis, mengejek, dan mengelapkan tangannya yang kotor di lengan seragamku. Puncaknya ketika sedang bercanda, ia mendorongku hingga terjatuh dari kursi. Ivan tertawa puas setelahnya.

 

 

Meskipun momen itu bikin aku marah, aku masih takut mengonfrontasi. Di depan anak laki-laki itu, aku memilih diam. Aku masih berpikir tindakannya cukup wajar sebaga anak laki-laki. Lalu, aku curhat dan bertanya pada teman-teman tentang perlakuan Ivan.

“Kalau cowok iseng, tandanya dia naksir,” kata seorang teman.

Itu bukan kali pertama aku mendengarnya. Sebelum berani bilang suka, beberapa teman laki-laki lain juga terlihat jahil pada perempuan yang ditaksir. Bukannya ikut menormalisasi, semakin dewasa dan mengetahui banyaknya anak laki-laki yang bertindak demikian, aku justru mempertanyakan: Mengapa laki-laki menunjukkan ketertarikan pada perempuan lewat perbuatan yang mengganggu?

Baca Juga: Memahami Lingkar Kekerasan dalam Hidup Laki-laki

Enggak Tahu Cara Menunjukkan Perasaan

Perihal anak laki-laki yang bersikap agresif untuk menarik perhatian anak perempuan, tampaknya bukan hanya terjadi di realitas. Dalam film Flipped (2010) diceritakan, Juli Baker (Madeline Carroll) naksir tetangga baru, Bryce Loski (Callan McAuliffe). Secara ekspresif, Baker menunjukkan ketertarikan pada anak laki-laki tersebut, meskipun Loski mengabaikannya.

Namun, ketika sadar punya perasaan pada Baker, Loski justru setuju dengan temannya yang meledek Baker. Mendengar ucapan Loski, Baker jadi ilfeel, bahkan tidak mengacuhkan Loski lagi.

Loski yang tidak menyadari perbuatannya, malah sakit hati dan bingung dengan perubahan sikap Baker. Enggak tahu harus berbuat apa, Loski mengungkapkan ketertarikannya, dengan mencium Baker tanpa consent di acara sekolah.

Perilaku Loski dan Ivan—maupun sejumlah laki-laki yang agresif terhadap perempuan yang ditaksir, mencerminkan anak laki-laki yang enggak terbiasa mengekspresikan perasaannya. Hal ini merupakan bagian dari stereotip gender yang berkembang di masyarakat. Laki-laki diajarkan agresif dan melawan dengan kekerasan, untuk menunjukkan kekuatan.

Dalam laporannya pada 2020, Fawcett Society—organisasi amal di Inggris yang mengampanyekan hak-hak perempuan—menjelaskan, anak mulai menyesuaikan sikap sesuai gender sejak berusia tujuh tahun. Bagi mereka, stereotip adalah cara untuk memahami lingkungannya. Apalagi, ditambah adanya kebutuhan sosial, membuat anak berusaha menyesuaikan diri dengan ekspektasi gender yang ditentukan sejak lahir. Ini termasuk memenuhi peran gender tradisional.

Stereotip ini kemudian melanggengkan kekerasan pada perempuan dan toxic masculinity, serta membatasi potensi anak-anak dan memiliki dampak jangka panjang. Seperti menyebabkan tingginya tingkat bunuh diri pada laki-laki. Kemudian anak perempuan yang punya harga diri rendah, dan bermasalah pada citra tubuh.

Baca Juga: Pertanyaan-pertanyaan buat Lelaki yang Mempertanyakan Maskulinitas

Lebih dari itu, stereotip gender juga berdampak pada kesehatan mental. Secara spesifik pada anak-anak, yang merasa tidak sesuai dengan peran gender tradisional di masyarakat. Akibatnya, mereka sulit diterima di masyarakat dan menghadapi diskriminasi.

Sementara dalam esai Why Boys Are Mean To Girls They Like, The School of Life menyebutkan alasan lain. Menurut mereka, laki-laki berusaha menyembunyikan perasaannya karena dianggap tidak biasa, merasa aneh, dan tidak menyenangkan. 

Secara psikologis, ini disebabkan oleh bagian dari otak, yang berusaha menyembunyikan kenyataan karena tidak menyenangkan. Namun, penyangkalan itu mengakibatkan kemarahan dan kerapuhan dalam diri—terlebih saat mengetahui mereka tidak bisa memiliki perempuan yang ditaksir. Untuk mengurangi sakit hati, laki-laki bersikap kasar dan jahil, maupun membenci.

Perilaku tersebut tidak hanya merugikan anak perempuan, karena terbiasa dilakukan demikian dan menganggap laki-laki menunjukkan kasih sayang lewat kekerasan. Anak laki-laki pun akan kesulitan menyampaikan perasaannya. Mereka lebih familier dengan kekerasan, dan dicap “seperti anak perempuan” ketika sedih atau menangis.

Lantas, apa yang perlu dilakukan supaya anak laki-laki dapat mengungkapkan perasaannya?

Ajarkan Anak Laki-laki Mengekspresikan Perasaan

Untuk dapat mengekspresikan perasaan, ada beberapa hal yang perlu diketahui sebelumnya. Pertama, seseorang perlu mengenal perasaan terlebih dahulu. Dalam tulisannya di Verywell Family, psikoterapis Amy Morin menerangkan, ada beberapa jenis perasaan mendasar yang perlu diketahui anak berusia 3-5 tahun: Marah, sedih, dan takut. Semakin bertambah usia, barulah anak belajar mengenal emosi yang lebih kompleks, seperti gugup, kecewa, dan frustrasi.

Kemudian, ajak anak untuk mengidentifikasi perasaan, dengan mendiskusikan perasaan karakter dalam buku atau serial televisi. Tanyakan pada mereka, kira-kira bagaimana perasaan karakter tersebut, diikuti alasannya.

Menurut Morin, membicarakan perasaan orang lain sekaligus melatih empati, bahwa orang lain juga memiliki perasaan. Harapannya, anak laki-laki mengerti tindakannya bisa membuat teman-temannya sedih atau marah.

Baca Juga: Manipulasi dalam Pacaran Rentan Lahirkan Kekerasan Seksual

Kedua, anak perlu diajarkan mengungkapkan perasaan dalam keseharian. Sebagai contoh, setiap hari tanyakan bagaimana perasaannya. Atau sampaikan perasaanmu terlebih dulu tentang suatu hal. Misalnya, “Ibu sedih mendengar kamu mendorong temanmu di sekolah. Mungkin dia juga sedih.”

Ketiga, ajarkan anak cara menghadapi situasi tertentu yang membuat mereka merasa enggak nyaman—seperti tidak melakukan kekerasan saat sedang marah atau sedih. Dalam hal ini, anak-anak perlu melatih kemampuan menyelesaikan konflik dengan tenang. Salah satunya menyarankan mereka masuk ke kamar atau tempat sepi, untuk menenangkan diri dan memikirkan perbuatannya.

Sebab, sering kali anak belum memahami apa yang perlu dilakukan ketika merasa tidak nyaman. Karena itu, mereka bersikap agresif atau melakukan apa pun untuk mencari perhatian.

Pada akhirnya, penting untuk mendorong anak laki-laki—dan perempuan—lebih mengekspresikan perasaan. Mereka perlu mengetahui, kekuatan dan kekerasan enggak perlu dilakukan untuk menunjukkan rasa sayang. Orang lain lebih merasa disayang ketika dihargai.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *