Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai upaya dari tingkat pusat sampai level akar rumput demi menurunkan level stunting ke angka 14 persen tahun ini. Namun, hal tersebut sulit terealisasi mengingat pada 2023, prevalensi angka stunting hanya menunjukkan penurunan 0,1 persen, dari 21,6 persen pada tahun sebelumnya menjadi menjadi 21,5 persen.
Berbagai temuan menyebutkan bahwa sebagian besar anak stunting berasal dari keluarga miskin sehingga fokus intervensi pemerintah lebih banyak pada keluarga marginal. Namun, studi terbaru menemukan adanya anomali pada populasi kelompok ekonomi menengah ke atas di Indonesia, yakni bahwa 12,5 persen anak umur di bawah dua tahun di populasi tersebut mengalami stunting.
Kelompok ini, kelas ekonomi menengah ke atas, yang kerap tak menjadi sasaran program bisa jadi salah satu faktor yang menjegal taget pemerintah.
Baca juga: Angka Stunting Tinggi dan Komitmen ‘Ngaco’ Pemerintah Menangani Susu Formula
Anomali ‘Stunting’ pada Keluarga Menengah ke Atas
Stunting biasanya disebabkan oleh kerawanan pangan, kurangnya perawatan, praktik pemberian makan yang tidak benar, pemberian makanan tidak sesuai jadwal atau asupan nutrisi yang tidak memadai, sanitasi yang buruk, dan layanan kesehatan yang tidak memadai.
Namun, studi terbaru Survei Status Gizi nasional 2021 yang melibatkan 23.957 anak menunjukkan bahwa faktor penyebab stunting di kelompok ekonomi menengah ke atas ini terjadi karena kurangnya waktu untuk menyusui sehingga memengaruhi gizi anak.
Menurut hasil survei kesehatan yang terbaru, kondisi stunting terbanyak (40,4 persen) dialami anak pada usia 12-23 bulan. Pada rentang usia ini, orang tua umumnya telah kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaannya meski anak masih memerlukan pola asuh yang benar dalam mencukupkan gizinya.
Menyusui secara eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan hingga dua tahun merupakan salah satu faktor penting untuk mencegah stunting. Masalahnya, Ibu yang bekerja mungkin memiliki waktu menyusui lebih sedikit karena tuntutan pekerjaan. Belum lagi jika mereka mengalami stres akibat kesibukannya pekerjaannya. Ini dapat memengaruhi produksi ASI.
Baca juga: Indonesia: Ekonomi Terbesar Sekaligus Stunting Tertinggi Kedua di ASEAN, Mengapa?
Selain itu, anak yang kedua orang tuanya bekerja biasanya mengandalkan pengasuh untuk merawat anak mereka. Sementara tidak banyak pengasuh anak yang memiliki pengetahuan atau keterampilan yang kompeten dalam memberikan makanan bergizi dan stimulasi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang dengan maksimal.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan orang tua tunggal kemungkinan lebih besar terancam stunting. Prevalensi angka stunting di kelompok ini lebih tinggi (13,6 persen) dibandingkan anak dengan orang tua lengkap (12,5 persen).
Studi tentang Faktor Penentu ‘Stunting’
Anak-anak yang berusia 12 bulan ke atas memiliki kemungkinan lebih dari tiga kali lipat lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak-anak yang lebih muda atau kurang dari 12 bulan. Riset membuktikan bahwa anak berusia kurang dari satu tahun sering kali mempunyai kondisi kesehatan lebih baik karena faktor ibu selama kehamilan, seperti sosiodemografi, perilaku, dan pengobatan ibu selama kehamilan. Hal tersebut dapat menentukan perkembangan saraf pada bayi dalam tahun pertama kehidupannya.
Studi lainnya menunjukkan bagaimana pola makan ibu selama kehamilan memengaruhi kualitas sensorik cairan ketuban dan ASI, yang dapat membentuk preferensi makanan bayi dan berpotensi memberikan hasil kesehatan yang lebih baik di awal kehidupannya. Sementara pada anak di atas lebih dari satu tahun, peran orang tua, terutama pola asuhan dan pola asupan, banyak memengaruhi situasi status gizinya.
Sebaliknya, asupan makanan yang kurang dan kondisi ekologi yang tidak memadai dapat meningkatkan risiko infeksi pada anak-anak, yang dapat mengganggu penyerapan nutrisi.
Menurut jurnal internasional yang menyoroti dampak positif pendidikan gizi ibu terhadap status gizi anak, intervensi yang bertujuan meningkatkan pengetahuan ibu tentang nutrisi yang tepat, termasuk dalam pemberian ASI dan praktik pemberian makan, telah terbukti meningkatkan pertumbuhan anak dan mengurangi angka stunting.
Maka dari itu, mendidik calon orang tua tentang pentingnya pola makan yang beragam dan bergizi bagi ibu hamil dapat menghasilkan praktik pemberian makan yang lebih baik dan hasil yang lebih sehat bagi anak-anak mereka.
Pengaruh Pendidikan
Pada karakteristik keluarga dengan ekonomi mapan, namun memiliki tingkat pendidikan yang rendah, lebih signifikan untuk memiliki anak yang berisiko stunting. Orang tua dengan pendidikan yang memadai cenderung akan lebih selektif dan kreatif dalam memberikan makanan yang baik dan bergizi pada anaknya.
Pada karateristik yang berbeda, meskipun kondisi ekonomi keluarga sangat baik, anak-anak yang diasuh dengan kondisi ibu yang bekerja lebih baik dari pada yang tidak bekerja. Ini karena kondisi ibu yang bekerja biasanya mencerminkan pendapatan dan standar hidup yang lebih tinggi dalam menyiapkan makanan bergizi pada anak-anaknya.
Situasi tersebut dapat terjadi umumnya karena proses pendidikan sebaya (peer education) dengan sesama ibu bekerja. Di tempat kerja, mereka banyak berkonsultasi, berkomunikasi, dan berdiskusi dengan sesama ibu bekerja. Di sisi lain, ibu bekerja dapat mengompensasi waktu yang terbatas untuk merawat anak dengan menggunakan fasilitas penitipan anak yang berkualitas, menyediakan makanan sehat, dan mempekerjakan asisten rumah tangga yang dapat membantu dalam merawat anak selama ibu bekerja.
Baca juga: Isu Stunting: Ramai Dipakai Saat Pilkada, Solusinya Tak Pernah Jadi Nyata
Terjadinya anomali pada keluarga mampu secara ekonomi ini semakin menambah kompleksitas permasalahan penurunan program stunting jika terus-menerus luput dari perhatian pemerintah.
Penyebab pola asuh yang kurang optimal, kondisi lingkungan yang kurang bersih, atau mengalami polusi, akses ke informasi gizi kesehatan yang tepat dan hal ini perlu benar-benar dipetakan. Kondisi keluarga ini perlu dilakukan pendekatan yang spesifik dalam kaitan dengan tindakan yang memastikan kondisi orang tua dan anak dalam keadaan sehat.
Pemerintah harus mulai fokus juga pada keluarga yang mampu secara ekonomi untuk mempercepat penurunan prevalensi stunting pada di Indonesia. Caranya bisa dengan memasukkan materi tentang pola pengasuhan anak yang baik pada kelas ibu hamil untuk menambah pengetahuan calon orang tua. Upaya penanggulangan stunting tidak hanya terfokus secara langsung pada status gizi anak, tetapi juga harus memerhatikan pengetahuan orang tua dalam mengasuh dan memberi asupan anak.
Iswari Hariastuti, Periset, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Agung Dwi Laksono, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Mochammad Wahyu Ghani, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.