Gender & Sexuality Health

Angka Stunting Tinggi dan Komitmen ‘Ngaco’ Pemerintah Menangani Susu Formula

Stunting sulit diturunkan jika pemerintah biarkan produsen agresif memasarkan susu formula.

Avatar
  • May 16, 2023
  • 6 min read
  • 909 Views
Angka Stunting Tinggi dan Komitmen ‘Ngaco’ Pemerintah Menangani Susu Formula

Satu dari empat bayi di Indonesia mengalami masalah serius yang sebenarnya bisa dicegah: kurang tinggi dari standar minimal, yang dikenal sebagai stunting.

Untuk mencegah stunting, Kementerian Kesehatan baru-baru ini mengeluarkan kampanye #CegahStuntingItuPenting dengan lima langkah utama. Dua di antaranya adalah mencukupi konsumsi protein hewani bagi anak usia 6 bulan ke atas dan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.

 

 

Namun demikian, produsen dan pemasaran susu formula (sufor) yang agresif dapat mengancam keberhasilan kedua langkah ini, mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan sufor tercepat di dunia.

Baca juga: Masalah Sistematis Susu Formula: Konsumen Perlu Edukasi dan ‘Support System’

Data terbaru mengamini bahwa sufor kerap dikonsumsi oleh anak berusia di bawah tiga tahun (batita). Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di kalangan anak usia 6–23 bulan yang sudah tidak mengkonsumsi ASI menunjukkan 72,9 persen di antaranya mengkonsumsi susu formula.

Jika pemerintah tidak membatasi ketat pemasaran susu formula, target penurunan stunting dari 21,6 persen pada 2022 ke 14 persen tahun depan jelas sulit dicapai.

Kenapa Penggunaan Sufor dapat Berdampak pada Stunting?

Meski sufor adalah susu yang diformulasikan secara khusus dan diberikan dengan indikasi tertentu, kandungan sufor tidak bisa mengalahkan ASI, terutama untuk mendukung kekebalan tubuh anak.

Anak dengan kekebalan tubuh yang kurang optimal rentan sakit, sehingga mayoritas zat gizi yang dikonsumsi digunakan untuk melawan penyakit, bukan untuk tumbuh. Karena itulah, ASI eksklusif akan selalu menjadi salah satu langkah terbaik untuk mencegah stunting.

Namun demikian, penggunaan sufor pada periode anak di bawah tiga tahun (12–36 bulan) yang dapat berdampak pada pemberian makanan bayi dan anak (PMBA) kerap luput diperhatikan.

Sufor kadang menjadi alternatif ketika batita tidak mau makan. Padahal, periode ini penting untuk membuat anak terbiasa dengan makanan tertentu (familiarization) dari segi rasa, tekstur, dan tampilan.

Sayangnya, 71 persen dari sufor batita tergolong tinggi gula berdasarkan sistem Badan Standar Makanan Inggris (UK FSA). Selain itu, rata-rata kadar gula pada sufor batita mencapai 7,3 gram per 100 ml, setara dengan kadar gula pada minuman berpemanis.

Hal ini berisiko membangun preferensi anak terhadap rasa manis pada periode sensitif di awal kehidupan. Akhirnya, hal ini membuat orangtua bergantung pada makanan dan minuman berpemanis sebagai pilihan yang lebih disukai anak.

Baca juga: Susahnya Sepakat untuk Tak Sepakat Soal ASI

Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa semakin sering dan semakin dini anak mengkonsumsi kudapan, termasuk minuman berpemanis, berhubungan dengan kejadian stunting yang lebih tinggi.

Makanan atau minuman manis pada masa balita ini dapat menggantikan makanan padat gizi yang dibutuhkan untuk mencegah stunting, terutama pada periode rentan pada usia 6 bulan–2 tahun. Usia ini merupakan saat prevalensi stunting meningkat pesat akibat pola makan anak tidak bisa mengimbangi kebutuhan zat gizi untuk tumbuh.

Pertumbuhan Penjualan Sufor di Indonesia

Maraknya pemasaran sufor tergambar dari pesatnya penjualan produk tersebut di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.

Berdasarkan data penjualan sufor pada 2005–2019, Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan sufor terpesat, terutama pada kategori batita.

Sebuah data riset menunjukkan penjualan sufor pada 2011 mencapai Rp 12,3 triliun dan meningkat hingga Rp24 triliun pada 2016, serta diprediksi naik 23 persen pada 2021. Data terbaru menunjukkan proporsi belanja susu formula oleh keluarga di Indonesia dapat mencapai hampir 13 persen dari upah per bulan.

Sementara itu, survei terbaru di kota Bandung menemukan bahwa 1 dari 2 batita mengkonsumsi sufor pada hari sebelum survei. Temuan serupa didapatkan pada survei di Jakarta yang menunjukkan bahwa 1 dari 3 batita mengkonsumsi sufor hingga lebih dari 7 kali per minggu.

Penjualan sufor, khususnya pada periode batita, telah menjadi sumber pendapatan bagi produsen sufor. Jika tidak diawasi secara serius, maka target untuk mendukung gizi anak yang optimal akan terhambat.

Data terbaru menunjukkan empat dari lima provinsi dengan pembelian sufor tertinggi adalah provinsi dengan prevalensi stunting di atas 30 persen. Ini mengindikasikan bahwa konsumsi sufor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat.

Karena itu, untuk mengejar target stunting sebesar 14 persen pada 2024, pemerintah harus serius mencari celah pencegahan stunting yang belum tergarap maksimal, salah satunya adalah pemasaran sufor.

Pelanggaran Pemasaran Sufor di Indonesia

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia masih belum secara signifikan mengintegrasikan The International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes atau The Code sebagai kode etik pemasaran sufor ke dalam peraturan nasional.

Regulasi di Indonesia saat ini baru mencapai skor maksimal pada satu aspek, yaitu aturan mengenai promosi di fasilitas kesehatan, dari total tujuh aspek implementasi The Code.

Terdapat beberapa bagian The Code yang belum tercakup secara maksimal dalam regulasi Indonesia, terutama pada aspek materi informasi, promosi publik, keterlibatan sistem dan tenaga kesehatan, dan pelabelan. Seperti, belum ada kewajiban bagi produsen untuk menyampaikan bahaya kesehatan dari pemberian sufor yang tidak tepat, serta dampak sosial dan finansial penggunaan sufor; belum ada larangan alat promosi sufor di tingkat pengecer; serta belum adanya kewajiban pengawasan aturan yang mandiri, transparan, dan bebas dari pengaruh komersial.

Menariknya, belum ada pula aturan klaim gizi dan kesehatan khusus sufor batita.

Integrasi The Code dan pengawasannya menjadi hal yang mendesak, mengingat pelanggaran terhadap The Code kerap ditemukan dan berkembangnya media sosial sebagai media promosi secara masif yang sulit diawasi. Kementerian Kesehatan perlu memperhatikan hal ini dengan lebih serius.

Dalam studi di 6 provinsi di Pulau Jawa, sebanyak 15 persen ibu menerima sampel sufor gratis dan 16 persen menerima hadiah, seperti kaus untuk anak, dari perusahaan sufor – kedua hal ini melanggar The Code.

Pelanggaran The Code terkait iklan yang memasarkan sufor di media sosial dan media massa kerap ditemukan terutama pada sufor batita. Selain pemasaran, media sosial juga digunakan oleh produsen sufor untuk mendata calon konsumen maupun untuk berkontak langsung dengan ibu yang berhasil meningkatkan jumlah konsumen sufor.

Baca juga: Rasa Bersalah, ‘Teman Toksik’ Para Ibu yang Perlu Diputuskan

Di antara para ibu yang pernah berbicara dengan tenaga kesehatan (nakes) mengenai sufor, 83 persen di antara nakes tersebut menyarankan merek sufor tertentu. Hal ini juga menjadi catatan untuk meningkatkan kesadaran di antara nakes mengenai The Code; studi menunjukkan hanya 45 persen dari nakes yang memiliki kesadaran akan The Code.

Dengan demikian, edukasi mengenai ASI eksklusif dan Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) tetap menjadi garda terdepan untuk mencegah stunting. Namun berbagai pelanggaran pemasaran sufor ini menunjukkan perlunya kombinasi dengan tindak tegas dari pemerintah untuk mengawasi pemasaran sufor demi zero stunting di Indonesia.The Conversation

Davrina Rianda, PhD Student in Nutritional Biology, University of California, Davis

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.


Avatar
About Author

Davrina Rianda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *