December 5, 2025
Environment Issues

Skenario Terburuk Jika BBM Tetap Langka di SPBU Swasta

Kelangkaan BBM berdampak pada kebijakan efisiensi SPBU swasta. Jika tidak dibenahi, kondisi ini bisa memicu PHK massal dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.

  • October 22, 2025
  • 5 min read
  • 1090 Views
Skenario Terburuk Jika BBM Tetap Langka di SPBU Swasta

Di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta kawasan Depok, aktivitas pegawai berubah dalam dua bulan terakhir. Sejak pasokan bahan bakar menipis, antrean kendaraan menghilang, digantikan pemandangan operator yang lebih sering menyapu lantai, merapikan area pengisian, atau sekadar menunggu pelanggan datang. 

“Rani”, bukan nama sebenarnya, salah satu operator, kini lebih banyak membersihkan area SPBU ketimbang mengisi bahan bakar. Rekannya, “Irwan”, mengisi jirigen air dan memeriksa fasilitas toilet. “Biasanya 25 hari kerja sebulan, sekarang paling 10 sampai 15 hari,” ujarnya. “Pastinya ngaruh ke gaji karena dihitung per hari masuk.” 

Sebelum kelangkaan BBM, Irwan bisa membawa pulang gaji bersih sekitar Rp5,2 juta per bulan. Sekarang, setelah kebijakan efisiensi diberlakukan, pendapatannya berkurang sekitar separuhnya. Ia mengaku situasi ini membuatnya ragu untuk melanjutkan rencana pernikahan yang sudah lama disiapkan. 

“Saya udah bilang ke calon istri kalau kondisinya begini. Sekarang masih bingung, jadi atau enggak,” katanya. 

SPBU tempat mereka bekerja dulunya selalu ramai. Berlokasi di kawasan padat toko dan apartemen, pompa tak pernah berhenti beroperasi. Kini, suara kendaraan jarang terdengar. Rani mengatakan, dalam sehari, hanya beberapa mobil yang datang. “Sepi banget, paling cuma beberapa kendaraan. Biasanya enggak sempat duduk, sekarang malah bingung mau ngapain,” katanya. 

Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia  

Efisiensi dan Kekhawatiran Pegawai 

Rani tidak sendiri. Ia masih harus menanggung biaya sekolah anak berusia tujuh tahun, sementara pendapatan keluarganya kini jauh berkurang. Suaminya bekerja di sektor informal yang penghasilannya tidak menentu. 

“Kalau kerja dikurangin terus, saya enggak tahu bisa bayar sekolah anak atau enggak,” ujarnya. 

Kondisi serupa juga terjadi di sejumlah SPBU swasta lain. Di kawasan Cibubur, SPBU Shell yang biasanya ramai kini hanya melayani kendaraan pengguna solar. Operator bernama Hada kini beralih sementara menjadi penjual kopi, camilan, dan oli di meja kecil depan pom bensin. Produk-produk itu berasal dari Deli2Go, gerai mini milik Shell yang menyediakan makanan ringan dan kebutuhan otomotif. 

Sayangnya, hasil jualan harian yang hanya sekitar Rp300.000 hingga Rp500.000 seluruhnya masuk dalam pendapatan gerai, bukan untuk operator. 

“Kami bantu jualan aja, tapi hasilnya buat Deli2Go. Kalau enggak ada yang beli, ya sepi aja,” kata Hada. 

Untuk menekan biaya, manajemen SPBU memberlakukan sistem shift baru. “Dulu enam orang kerja bareng dalam satu jam, sekarang dibagi dua shift,” jelas Alvin, operator lain yang sesekali juga membantu di bengkel. Ia menambahkan meski tidak ada pemotongan sebesar tempat lain, pengurangan jam kerja tetap berdampak pada penghasilan. 

Shell, seperti kebanyakan SPBU swasta lain, memang belum melakukan PHK. Namun, rasa khawatir tetap ada. “Kami masih bersyukur enggak ada yang diberhentikan,” kata Hada. “Tapi kalau kondisi terus begini, kami enggak tahu sampai kapan bisa bertahan.” 

Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung  

Kebijakan Energi yang Menekan Swasta 

Di banyak SPBU swasta di Indonesia, kelangkaan BBM belum juga teratasi. Pemerintah memang mengklaim telah menambah kuota impor hingga 110 persen bagi badan usaha swasta, tetapi di lapangan, pasokan tetap seret. Ironisnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia justru memperpendek masa izin impor dari satu tahun menjadi enam bulan, serta mewajibkan SPBU swasta membeli pasokan dari Pertamina

Kebijakan ini membuat perusahaan nonpemerintah kesulitan menjaga kestabilan pasokan. Diahhadi Setyonaluri (Ruri), peneliti dan pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, menilai langkah Bahlil justru menimbulkan risiko monopoli. 

“Kalau SPBU swasta diwajibkan beli dari Pertamina, mereka kehilangan otonomi impor dengan harga kompetitif,” jelasnya. 

Menurut Ruri, daya tarik utama bisnis SPBU swasta selama ini justru ada pada otonominya: mereka bebas menentukan kuota, mencari pasokan dengan harga lebih murah, dan menyesuaikan harga jual dengan pasar. “Kalau itu diambil, insentif bagi investor hilang,” katanya. 

Lebih jauh, ia menilai kebijakan Bahlil mencerminkan cara berpikir jangka pendek pemerintah yang hanya berfokus pada solusi instan. “Kita bisa lihat dari kesiapan Pertamina sendiri. Bahan bakarnya bahkan belum memenuhi standar yang dipakai perusahaan-perusahaan swasta,” ujar Ruri. 

Baca juga: Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah  

Efek Domino ke Ekonomi Nasional 

Ruri menegaskan, kebijakan yang menekan otonomi swasta akan berdampak langsung ke para pekerja di lapisan terbawah, seperti operator SPBU. Ketika jam kerja dan pendapatan dipangkas, mereka menjadi rentan beralih ke sektor informal tanpa perlindungan sosial memadai. 

“Pekerja informal sering kali tidak terlindungi oleh jaminan sosial dan pengaturan ketenagakerjaan yang memadai,” ujarnya. “Dari sisi pendapatan, makin banyak orang yang pendapatannya naik-turun, maka secara agregat, pendapatan nasional menjadi tidak stabil.” 

Irwan, operator di Cimanggis, mulai merasakan tekanan itu. Ia kini lebih serius mempertimbangkan pekerjaan sambilan sebagai pengemudi ojek online. “Dulu cuma sesekali aja ngojol buat nambah-nambah. Tapi sekarang, kayaknya harus lebih fokus,” ujarnya. 

Menurut Ruri, jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, PHK massal imbas efisiensi sangat mungkin terjadi. Efek domino pun bisa menjalar ke konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional. 

“Kalau pendapatan masyarakat tidak stabil, konsumsi juga enggak bisa tumbuh konsisten. Akibatnya, ekonomi memang bergerak, tapi tanpa arah pertumbuhan yang berkualitas,” jelasnya. 

Dampak lain yang jarang disadari adalah potensi berkurangnya penerimaan pajak negara. “Operator SPBU di sektor formal otomatis dipotong pajak penghasilan. Tapi ketika mereka berpindah ke sektor informal, penerimaan pajak itu hilang,” katanya. 

Dengan begitu, krisis ini tidak hanya menyangkut pasokan bahan bakar, tapi juga kestabilan ekonomi dan kepercayaan investor. Kebijakan energi yang tidak konsisten membuat pasar kehilangan arah, dan para pekerja menjadi korban pertama dari ketidakpastian. 

“Ancaman seperti ini sering kali tidak terlihat, tapi dampaknya nyata,” ujar Ruri. Ia menilai pemerintah perlu segera mengevaluasi ulang kebijakan impor BBM agar dampak sosial dan ekonomi tidak semakin meluas. 

“Paling realistis, buka dulu kembali peran impor swasta sambil membenahi kualitas BBM Pertamina agar bisa jadi pemasok bersaing,” tutupnya. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.