Antara Aurat, Agama, dan Hubungan Darah
Ketika hubungan sedarah menjadi retak karena perbedaan pendapat soal agama dibungkam.
Bulan lalu, aku melewati sekelompok anak-anak berseragam sekolah dasar ketika salah satu dari mereka berteriak kepadaku, “Mbak, auratnya!”
Aku menoleh ke arah mereka, “Siapa yang teriak tadi?”
Tidak ada yang mengaku.
Aku mengatakan bahwa mereka bahkan tidak mengenalku, bagaimana mereka bisa yakin aku percaya apa yang mereka percayai. Dan bahkan jika aku Muslim, banyak Muslim percaya bahwa tidak wajib bagi perempuan untuk menutupi rambut atau tubuh mereka.
“Tolong hormati perbedaan dan pilihan orang-orang,” ujarku. Anak-anak itu mengangguk dan aku terus berjalan.
Kali lain, keponakanku sendiri mencelaku. “Aunty buka aurat,” katanya imut-imut. Aku terperanjat, menoleh kepadanya, dan mengulang dengan penuh kasih apa yang kukatakan pada anak-anak SD sebelumnya. Bahwa bahkan dalam Alquran, ayat yang dianggap mewajibkan hijab dapat ditafsirkan dalam banyak cara berbeda: kain ke dada, penyekat, dan banyak lainnya. Dalam menafsirkan kita pun mesti memperhitungkan konteks budaya, sejarah, geografi, politik, dan banyak lagi. Bukankah lebih baik memilih interpretasi yang menghormati tiap-tiap manusia sebagai makhluk yang berkehendak bebas?
Ibunya, adikku, justru menyuruhku diam dan memintaku agar tidak mengekspos anak-anaknya kepada ajaran semacam itu.
“Ajaran apa? Yang memintanya menghormati orang-orang yang berbeda dari dia?” tanyaku. “Saat ini keponakanku menganggap aku berdosa dan perempuan yang buruk, aku enggak bisa, dong, membiarkannya berpikir begitu. Aku cuma ingin dia tahu bahwa ada interpretasi yang berbeda-beda mengenai aurat dan hijab.”
Lagipula, apa dia mau anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang yang tidak dapat menghargai pandangan dan pilihan hidup orang lain?
“Buat apa berdebat tentang perintah yang sudah jelas?” kata adikku.
Jelas bagi siapa? Karena jelas bagi banyak orang lain bahwa perempuan menutupi tubuhnya adalah tidak wajib.
Aku mencoba berpikir, mungkin adikku butuh percaya bahwa menutup sekujur tubuh itu wajib. Kalau tidak, apa yang dilakukannya akan sia-sia, dan dia harus menentang suaminya—hal yang mungkin terlalu menakutkan baginya.
Aku tidak mendapatkan permintaan maaf dari adikku atas kelakuan anaknya.
“Aku memintamu sekarang sebagai adikmu, untuk tidak bicara hal-hal seperti itu di hadapan anak-anakku, bisa enggak?” ujarnya, seolah hubungan darah kami berarti ia berhak membungkam suaraku.
Dia tampaknya bahkan tidak sadar apa artinya memintaku untuk diam: untuk menutup mulut setelah pergulatan seumur hidup untuk menemukan suara dan keberanian untuk mengutarakan pikiran; untuk tidak membela diri dan membiarkan keponakanku berpikir aku salah dan berdosa; dan untuk berpura-pura bahwa aku tidak terluka setelah dibuat untuk merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan diriku, seperti yang aku rasakan selama aku tumbuh dewasa.
Suaraku terlalu berharga untuk disunyikan bagi seseorang yang tidak mengerti apa artinya memintaku untuk diam.
***
Tahun lalu, aku menawarkan untuk membelikan adikku sebuah laptop. Meskipun bergelar dokter, dia tidak bekerja sejak anak-anaknya lahir. Dia berjanji akan kembali bekerja ketika anak keduanya sudah cukup umur untuk bersekolah. Tetapi ketika anak itu mulai bersekolah, adikku hamil lagi. Semua orang di keluargaku merayakan kehamilannya yang ketiga, hanya aku yang bertanya apakah suaminya sengaja melupakan program Keluarga Berencana supaya adikku tetap tidak bekerja dan tinggal di rumah saja. Adikku menjawab seperti sebelumnya, “Aku akan kembali bekerja nanti. Semua ada waktunya.”
Aku bertanya kenapa adikku tidak punya komputer, dan katanya tidak ada uang untuk itu. Tapi, kataku, kok ada uang untuk suaminya skydiving dan membeli kamera DLSR? Adikku menjawab, kamera itu kebutuhan keluarga, sementara komputer adalah kebutuhan pribadinya. Tapi kebutuhan siapa itu skydiving? Dan mengapa kebutuhan pribadi adikku dianggap prioritas rendah? Kenapa harus dia yang terus berkorban? Bukankah dia sudah berkorban tidak bekerja untuk mendukung karier suaminya dan mengurus anak-anak mereka?
Aku berjanji membelikan adikku laptop. Beberapa hari kemudian, kami bertengkar soal label halal. Adikku berkata restoran sushi favoritku tidak punya label halal dari Majelis Ulama Indonesia.
“Tapi, label itu kan bisa dibeli,” kataku.
“Enggak masalah. Jika makanannya ternyata enggak halal, maka yang dosa mereka, bukan kita,” kata adikku.
“Meskipun kita tahu bahwa label itu bisa dibeli?”
“Pilih saja restoran sushi yang lain.”
“Bukankah seharusnya kita lebih peduli tentang dari mana asal makanan kita, apakah dari sumber yang melestarikan lingkungan dan menyejahterakan petani atau nelayannya, daripada menyerahkan pilihan kita kepada institusi yang mengeluarkan fatwa-fatwa yang sangat bermasalah dan mengandung kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual?”
Aku tidak yakin bagaimana kita mulai saling membentak, tapi pada suatu titik adikku berteriak, “Kamu Islam atau bukan, sih? Islam atau kafir?”
Keesokan harinya, aku terkejut karena adikku masih berekspektasi aku membelikannya laptop. Namun, aku tidak ingin mengimbali perkataannya yang sangat menyinggung di atas.
Kupikir, segera setelah dia meminta maaf, aku akan membelikannya laptop itu. Aku sangat yakin dia akan sadar dan meminta maaf.
Sampai sekarang aku masih menunggu permintaan maaf itu.
***
Ketika kami berdebat soal aurat dan ucapan keponakanku, kami berada di pinggir kolam renang sebuah hotel.
Papa berkata, “Sudah, Eliza! Berhenti! Malu, orang-orang melihat kita, tuh.”
Mama berkata, “Sudah! Kenapa kalian harus membuat masalah? Mama tidak mau berpihak, Mama hanya tidak ingin kalian bertengkar. Kamu harus menghargai pilihan adikmu untuk anak-anaknya. Dia sudah berumah tangga, Mama tidak mau ikut campur.”
Aku terngiang apa yang Mama dan adikku sering ucapkan ketika aku menentang ucapan-ucapan Papa yang mengatakan Mama bukan ibu yang baik setiap kali ada kesulitan dengan keluarga, atau yang membenarkan mengurung anak-anaknya hanya karena kami terlahir perempuan: “Jangan berdebat. Jangan membuat masalah. Jangan melawan.”
Namun, bagaimana mungkin tidak mendebat dan tidak melawan jika aku merasa tidak nyaman, diperlakukan dengan tidak adil, disakiti?
Aku berkata, “Justru itu, Ma. Kenapa Mama diam saja? Aku enggak mengerti. Mama tahu sendiri betapa tidak membahagiakannya tidak mencapai cita-cita dan hidup dalam pernikahan tanpa cinta yang memberatkan Mama untuk begini dan begitu cuma karena Mama perempuan, tapi Mama malah mengajarkan hal yang sama kepada anak-anak perempuan Mama, bahwa laki-laki adalah imam dan perempuan adalah pengikut. Kenapa, Mama, kenapa? Mengapa tidak mengajari kami untuk membimbing diri sendiri dan menjadi pemimpin? Mengapa mengajarkan kami harus menyesuaikan dan mengorbankan semua untuk suami dan anak-anak, dan tidak mengajarkan tentang harga diri dan bagaimana melawan jika tidak nyaman atau disakiti? Sangat sulit bagiku untuk mengerti, Ma…”
Aku tahu perempuan telah menemukan cara-cara luar biasa untuk hidup dan menemukan kebahagiaan dalam masyarakat yang sangat misoginis, sehingga mungkin sulit untuk membayangkan ada jalan yang lebih baik. Tetapi jalan yang lebih baik itu ada.
Dan jika Mama pikir aku sedikit saja berbahagia, itu karena aku meronta dan mencakar keluar dari kepungan ajaran-ajaran usang itu dan membangun jalan sendiri. Dan itulah mengapa penting bagiku untuk terus angkat bicara, di keluarga dan di forum umum. Bukan untuk membuat masalah, bukan untuk membuat orang-orang menatap kita, tetapi untuk menyorot bahwa jalan yang lebih baik itu ada.
Mungkin sungguh egois aku menulis ini—karena aku penulis yang punya audiens dan privilese. Asal tahu saja, aku melakukan ini karena hatiku hancur, dan kejadian di atas membuatnya jelas bahwa tidak ada ruang bagiku untuk berbicara di antara kalian. Terus-terang, setelah bertahun-tahun dianggap membuat masalah, aku pun akhirnya merasa tidak punya kata-kata lagi untuk kalian selain dari apa yang dapat aku katakan secara tertulis. Mohon pahami bahwa kalian punya hak menjawab: kolom komentar terbuka di bawah, aku bebas dikritik, dikoreksi, dicaci maki di akun Facebook, Twitter, dan Instagram. Atau kalian bisa mengirim balasan atau tulisan tandingan untuk publikasi ini.
Aku hanya sedih melihat keponakan perempuanku yang sekarang begitu berani, tidak mau ketinggalan dengan kakak-kakak laki-lakinya, dibatasi atau ditekan seraya ia tumbuh dewasa. Karena keberanian yang dianggap lucu pada perempuan balita akan dianggap lancang dan tidak pantas pada perempuan remaja. Aku tidak mau ia didesak agar menjadi lebih kalem atau lebih feminin atau lebih bodoh atau harus bungkam atau tidak boleh menuruti hatinya hanya supaya laki-laki suka kepadanya, hanya supaya ia menjadi “perempuan baik-baik” dalam versimu sendiri. Dan jika kalian tidak mau mendengar, mungkin orang-orang tua lain di luar sana akan mendengar.
Kumohon, benci aku sesukamu, tapi jangan hancurkan anak-anak perempuanmu.
Jangan diam saja melihat anak-anak perempuanmu dimanipulasi. Jangan diam saja ketika mereka menyerahkan daya mereka demi cinta laki-laki yang tidak tahu bagaimana menghargai mereka sebagai individu—tidak hanya sebagai istri, ibu, menantu, atau peran-peran lainnya; yang mengartikan cinta dengan mendikte hidup dan pikiran mereka, dan meminta mereka untuk berkorban dan berkorban dan mengurus laki-laki itu dan menempatkan kepentingannya, perasaannya, dan kariernya di atas kepentingan dan perasaan dan karier mereka sendiri.
Kumohon, jangan hancurkan anak-anak perempuanmu. Dan jangan biarkan anak-anak laki-lakimu tumbuh jadi penghancur perempuan.
Karena aku disebut kafir
Karena aku disuruh tutup mulut
Karena keluarga kita terpecah-belah
Karena aku selalu dianggap sebagai orang yang harus meminta maaf dan memaklumi
Karena perspektifku diminimalisasi dan diabaikan
Karena aku dituduh membuat masalah padahal perkataan dan perilaku kalian memang bermasalah
Karena kalian bahkan tidak menyadari bahwa hatiku remuk dan aku butuh waktu jauh dari kalian untuk menenangkan dan memulihkan diri,
Aku meminta maaf.
Tapi jika kalian ingin aku meminta maaf untuk tulisan ini, maka minta maaflah terlebih dulu kepadaku!
Mungkin beginilah rasanya punya harga diri.
Eliza Vitri Handayani adalah penulis, kekasih, introvert, petualang, tidak religius, sering depresi dan kurang percaya diri, tapi pantang menyerah. Ia juga seorang penyintas dan banyak lagi. Sapa dia melalui Instagram dan Twitter: @elizavitri.