December 5, 2025
Issues Lifestyle

Apa Itu ‘Boy Mom Culture’? 

Perilaku ibu yang memperlakukan anaknya bak seorang raja ini disebut boy mom. Mereka cenderung manjain anak laki-laki, bahkan menganggap keberadaan pasangan anaknya sebagai ancaman.

  • August 25, 2025
  • 4 min read
  • 2618 Views
Apa Itu ‘Boy Mom Culture’? 

Beberapa waktu lalu, cuplikan video penyanyi Soimah di podcast Raditya Dika ramai jadi obrolan di media sosial. Di situ, Soimah cerita kalau ia selalu “mengospek” pacar anak laki-lakinya. Katanya, itu perlu dilakukan supaya mereka tahu sejak awal seperti apa sifatnya. Meski di awal, pacar anaknya sempat sakit hati sama perkataan kasarnya, tapi justru pacar anaknya yang minta maaf dan menerima “sifat buruk” Soimah. Ia bahkan bilang, “ospek” itu masih berjalan sampai sekarang.

Enggak sedikit yang mengkritik sikap Soimah. Banyak warganet menilai, perilakunya itu bikin anak laki-lakinya terasa “dirajakan” dan menyebut ini sebagai contoh boy mom

Tapi, apa sih sebenarnya boy mom culture itu?

Baca juga: Pacaran dengan Anak Mama, Mending Lanjut atau Sudahi?

Awalnya istilah boy mom enggak jauh beda sama istilah girl dad yang dipakai orang tua buat nyeritain pengalaman punya anak yang berbeda dari jenis kelamin mereka. 

Mengutip USA TODAY, dulu istilah boy mom dipakai para ibu buat nyeritain pengalaman unik mereka saat punya anak laki-laki. Tapi belakangan, boy mom jadi slang yang ramai dipakai–terutama di TikTok, buat satire ke para ibu yang overprotective, nge-treat anak laki-laki kayak pasangan romantis, bahkan merasa menantu atau pacar anaknya adalah “saingan”.

Sebenarnya cerita soal ibu yang galak sama menantu perempuan bukan hal baru. Mungkin kamu pernah denger atau ngalamin sendiri, perempuan yang ditanyain macem-macem sama ibu pasangannya atau bahkan diuji sesuai “standar” ibunya. Sementara untuk anak perempuan, standar pasangan laki-laki atau menantu idaman sering kali sebatas pada “selama dia bisa bertanggung jawab”.

Makanya enggak heran, banyak perempuan merasa susah akrab sama ibu pasangannya atau bahkan mereka menolak tinggal serumah sama mertua setelah menikah. 

Tapi kenapa ya, kok seringnya justru perempuan yang enggak suka sama menantu perempuannya?

Jawabannya enggak lepas dari bagaimana pengasuhan kita yang masih sangat patriarkal. Sejak kecil, anak perempuan sering kali dicekoki dengan pesan bahwa tugasnya setelah dewasa adalah “melayani” laki-laki.

Orang tua yang hidup dengan cara pandang patriarki membedakan pengasuhan pada antara anak laki-laki dengan perempuan. Anak perempuan sejak kecil diajarkan untuk mandiri, bisa masak, beres-beres rumah, dan kerja-kerja domestik lain. Sedangkan anak laki-laki cenderung “dilayani”. Apa pun kebutuhannya dicukupi, tanpa ada tanggung jawab untuk membantu pekerjaan rumah. 

Hal ini dibuktikan data UNICEF 2023, secara global anak perempuan usia 5-14 tahun menghabiskan 160 juta jam lebih banyak tiap harinya untuk pekerjaan domestik dan care work tak berbayar dibanding anak laki-laki seusia mereka. Saat remaja dan dewasa, kesenjangan ini diperparah oleh keyakinan yang sudah lama berlaku soal status dan perempuan di masyarakat.

Cara pandang beregenerasi seperti ini akhirnya terinternalisasi ketika perempuan menjadi ibu. Ini sebetulnya yang sering kali menjadikan perempuan akhirnya nge-project cara pandang yang sama terhadap calon menantu perempuannya. Misalnya ibu yang selalu nuntut anak perempuan bisa ngelakuin segala hal dengan perfect. Tak sedikit ibu yang merasa bahwa menantu perempuan harus bisa seperti dirinya yang “melayani” anak laki-lakinya.

Ibu yang juga enggak lepas dari tekanan patriarki ini kadang menjadikan anak laki-laki sebagai pusat keluarga. Hal ini sering disebut patriarchal bargain, istilah yang pertama kali dikenalkan Deniz Kandiyoti, dalam Bargaining with Patriarchy (1988). Dalam hal ini, perempuan dalam sistem patriarkal sering kali ikut melanggengkan aturan lama supaya tetap punya ruang berkuasa.

Fenomena ini juga sering ditampilkan dan dikritik dalam budaya populer. Misalnya dalam drakor When Life Gives You Tangerines (2025) yang juga bercerita soal dinamika hubungan perempuan dengan ibu pasangannya.

Bagaimana karakter Ae-sun yang diperlakukan buruk oleh ibu Gwansik meski selalu menuruti perintah ibu mertuanya. Siklus ini juga dialami Geum-myeong, anak perempuan Ae-sun dan Gwansik. Ia juga ditolak calon mertuanya karena dianggap enggak cukup “ideal” buat jadi istri.

Baca juga: Saat ‘Cinta’ Ibu Mencekikku: Dilarang Kerja, Hilang Percaya Diri

Emang Bener Gak Ada Solusinya?

Memang sih internalisasi cara pandang patriarkal itu enggak gampang, apalagi kalau sudah berjalan antargenerasi. Banyak perempuan tumbuh besar dengan dituntut bisa segalanya. Pola ini yang terbawa sampai mereka dewasa, bahkan saat jadi ibu, tanpa sadar bakal memproyeksikan lagi ke menantu atau anak perempuan.

Di sisi lain, adanya gelombang kritik besar terhadap ibu yang mengospek calon menantu perempuan sebetulnya bisa jadi tanda bahwa sekarang ini sudah semakin banyak pihak yang sadar bahwa pandangan patriarkis seperti ini sudah usang dan harusnya ditinggalkan.



About Author

Sonia Kharisma Putri

Sonia suka hal-hal yang cantik dan punya mimpi hidup berkecukupan tanpa harus merantau lagi. Sekarang lebih suka minum americano daripada kopi susu keluarga.