Data Journalism Infographic Issues

Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan

Meski bernilai ekonomi, kerja-kerja perawatan kerap dianggap remeh. Tak cuma oleh negara, perusahaan, tapi juga kita.

Avatar
  • March 8, 2023
  • 13 min read
  • 8401 Views
Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan

“Annisa”, 40 terpaksa keluar dari pekerjaannya sebagai pekerja di restoran Jakarta. Usia kehamilannya baru menginjak 14 minggu tapi karena hasil tes ultrasonografi (USG) menunjukkan ia mengandung bayi kembar, keputusan itulah yang diambil.

“Orang tua kami tinggalnya jauh, satu di Yogyakarta, satu lagi di Kalimantan. Sudah banyak cucu juga dari kakak-kakak yang dititipkan ke mereka. Mau cari pembantu atau babysitter juga pertimbangannya ada di biaya. Daycare apalagi. Ya sudah saya yang mengalah, biarin suami tetap kerja, saya yang rawat anak,” ujarnya pada Magdalene, (1/3).

 

 

Merawat anak kembar sendirian, membereskan rumah, mencuci baju, dan memastikan masakan tersaji di meja makan saban hari, begitulah hari-hari Annisa dihabiskan. Jika dihitung, perempuan lulusan Ilmu Pariwisata itu bekerja dengan durasi lebih dari 15 jam.

“Jam kerja yang panjang dan bikin capek, bangun dari jam 4 pagi dan baru bisa rebahan kalau suami sudah pulang kantor, sudah makan, dan anak-anak sudah tidur,” imbuhnya.

Sebelum penuh waktu jadi ibu rumah tangga, Annisa terbiasa bekerja dengan sistem shift. Durasinya standar, tak pernah lebih dari delapan jam per hari. Gaji dan bonus pun relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Apalagi jika ditotal dengan pendapatan suami yang jadi koki di restoran serupa.

“Bukan berarti saya menyesal dengan keputusan resign dan jadi ibu rumah tangga. Saya cuma merasa, kayaknya saya berhak dapat lebih dari ini,” ucapnya.

Annisa adalah seorang yang melakukan kerja-kerja perawatan (care work). Tak ada definisi resmi tentang apa itu kerja perawatan yang dilakukan Annisa, tapi Organisasi Buruh Dunia (ILO) dan United Nation (UN) Women menawarkan alternatif penjelasan.

Dalam laporan bertajuk“Care Work and Care Jobs for the Future of Decent Work” (2018) disebutkan, kerja perawatan adalah seluruh pekerjaan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan emosional orang dewasa dan anak-anak, tua dan muda, lemah dan berbadan sehat, bayi baru lahir, orang tua, orang dengan disabilitas, yang membutuhkan perlindungan, perawatan, atau dukungan. Sementara, menurut UN Women (2018), kerja perawatan berarti produksi dan konsumsi barang atau jasa yang dibutuhkan oleh fisik, sosial, kesejahteraan mental, dan emosional untuk kelompok yang membutuhkan. Di antaranya orang sakit, bayi dan anak-anak, lansia, kelompok dengan disabilitas, bahkan orang-orang yang sehat dan bekerja.

Dari definisi-definisi tersebut tergambar, semua manusia bergantung pada perawatan, baik sebagai penyedia atau pengguna. Manusia tak bisa lahir sendiri ke dunia, melainkan dibantu oleh dokter dan perawat. Orang tua–terkadang dibantu babysitter atau pekerja rumah tangga—merawat dan memastikan anak bisa tumbuh sehat dan mandiri. Guru juga mengambil alih kerja-kerja perawatan selama anak berada di sekolah. Suatu saat ketika akhirnya melanjutkan peran sebagai orang tua, anak merawat orang tua yang sudah lansia. Bahkan ketika mati pun, manusia tetap butuh pekerja perawatan untuk mengebumikan jasad mereka.

Ketergantungan pada kerja-kerja perawatan ini sayangnya tak dinilai sebagai kerja produktif yang berkontribusi pada ekonomi, menurut Jurnal Perempuan edisi 99: “Perempuan dan Ekonomi Perawatan” (2018).

“Pengaturan kerja perawatan kerap kali cuma diserahkan kepada rumah tangga, mayoritas perempuan. Buntutnya, kerja perawatan dalam rumah tangga individu biasanya tidak dibayar, tidak diakui, dan mendapat sedikit dukungan.”

Itu baru dalam konteks rumah tangga. Kerja perawatan di bidang lain pun relatif tak jauh berbeda. Baik kerja perawatan yang berbayar seperti guru, perawat, pekerja rumah tangga atau tak berbayar seperti merawat orang tua dan ibu rumah tangga, dua-duanya tak diakui dan dianggap penting. Dan kesenjangan pada sektor kerja perawatan ini setua umur kapitalisme. Profesor filsafat dari AS sekaligus feminis Rosemarie Tong dan Tina Fernandes Botts dalam bukunya bertajuk Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (2014) menjelaskan, kapitalisme telah menempatkan perempuan sebagai pekerja kelas dua, sedangkan lelaki menjadi angkatan kerja utama. Konsekuensinya, perempuan akan selalu dianggap sebagai cadangan dan punya nilai kerja lebih rendah. Kalau pun perempuan sudah melawan dengan masuk sebagai tenaga kerja upahan, beban-beban perawatan di rumah tangga tetap akan membayangi mereka.

Seperti yang dialami Annisa, ibu rumah tangga di atas. Saat anaknya menginjak usia 7 tahun, ia sempat mencoba pekerjaan paruh waktu dengan membantu memasarkanmakanan milik mantan bos di restoran. Hasilnya lumayan, tapi lama-lama ia kewalahan karena harus membagi waktu dengan mengurus anak-anak.

“Saya harus bantu bikin pekerjaan rumah, mempersiapkan semua keperluan sekolah mereka, antar jemput ke sekolah, dan lainnya. Ternyata capek juga kalau dijalanin,” ungkapnya.

Baca juga: Ribut-ribut RUU KIA: Kenapa Cuti Ayah Patut Didukung untuk Wujudkan Kesetaraan?

Kenapa Isu ini Penting

Isu tentang kerja perawatan masih belum menjadi prioritas pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ini relatif disayangkan mengingat jumlah pekerja perawatan pada 2018 menurut ILO mencapai 381 juta, yang mencakup 249 juta perempuan dan 132 juta laki-laki. Sebanyak 70 juta dari pekerja perawatan ini adalah pekerja rumah tangga, termasuk 40 persen di antaranya perempuan.

Masih menurut riset ILO di 64 negara pada 2018, kerja perawatan tak berbayar mengambil durasi 16,4 miliar jam. Angka ini setara dengan 2 miliar orang bekerja 8 jam sehari. Hitung-hitungan ini belum mencakup nilai pekerja perawatan berbayar yang kemungkinan durasi kerjanya juga sama panjangnya.

Jika dilihat dari komposisi gender, pekerja perawatan perempuan dalam hal ini, menghabiskan waktu lebih banyak ketimbang laki-laki. Data Mencare, kampanye pelibatan laki-laki dalam pengasuhan (2021) mencatat, pekerja perempuan bekerja rerata tiga kali lebih banyak daripada laki-laki setiap harinya. Umumnya, negara-negara dengan ketimpangan jam kerja ini banyak dijumpai di negara-negara berpendapatan rendah di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Utara.

“Pengaturan kerja perawatan kerap kali cuma diserahkan kepada rumah tangga, mayoritas perempuan. Buntutnya, kerja perawatan dalam rumah tangga individu biasanya tidak dibayar, tidak diakui, dan mendapat sedikit dukungan.”

Perempuan yang punya ketimpangan kerja lebih banyak ini sebenarnya sudah terlihat dalam urusan rumah tangga. Annisa misalnya, punya jam kerja lebih panjang daripada suaminya yang cuma bekerja delapan jam sehari. Menurut riset, kerja rumah tangga yang dilakukan Annisa dan banyak perempuan lain memakan waktu 98 jam setiap minggunya, atau 2,5 kali lipat lebih banyak dibandingkan profesi lain. Survei yang dilakukan Welch’s dari AS, dilansir dari The Independent (2018) juga menyatakan, ibu rumah tangga hanya punya waktu kurang lebih 1 jam 7 menit untuk dirinya sendiri.

Early Nuriana, National Project Coordinator ILO menyebutkan, “Jam kerja yang panjang ini mestinya harus diberi nilai ekonomi, jadi indikator ekonomi.” Maksudnya, kerja-kerja ini bisa membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari, serta menambah akumulasi modal negara dan pengusaha. Tak cuma itu, kerja perawatan ini penting dan bernilai ekonomi karena juga berkontribusi dalam pemeliharaan populasi masyarakat hari ini dan di masa depan.

Keuntungan ekonomi ini bukan cuma pepesan kosong. Early mencontohkan, di Filipina, isu ini sudah jadi perhatian khusus. Terlepas dari kendala fiskal dan finansial, negara tersebut berhasil menutup kesenjangan gendernya di bidang pendidikan, kesehatan, dan keterwakilan perempuan dalam peran manajerial, profesional, dan teknis. Laporan World Economic Forum (2021) menunjukkan Filipina sebagai negara satu-satunya di Asia yang masuk dalam 20 besar peringkat pengurangan kesenjangan gender pada posisi ke-17.

“Dampaknya terhadap pekerja perawatan, terutama pekerja perempuan, karena ia sudah diakui di Filipina, mereka jadi punya posisi tawar,” tutur Early pada Magdalene.

Indonesia sendiri sebenarnya bisa belajar dari upaya Filipina dan negara-negara lain yang sudah lebih dulu serius memprioritaskan isu ekonomi perawatan. “Saya membayangkan, jika perempuan pekerja diakui, mereka dapat hak cuti yang cukup termasuk cuti paternitas, disediakan fasilitas laktasi dan daycare yang memadai, pasti secara psikologis bekerja jadi tenang. Kerja pun jadi lebih produktif,” ungkapnya.

Bicara keuntungan ekonomi, dalam laporan ILO (2018) dijelaskan, ketika kerja perawatan tak berbayar dikalkulasi penghasilannya berdasarkan upah minimum per jam, dan dimasukkan dalam Produk Domestik Bruto(GDP) sedunia, angkanya mencapai 9 persen dari GDP, atau sekitar US$11 triliun. Angka ini paling besar dibanding profesi lainnya, termasuk perbankan.

Suwarno Joyomenggolo (2021) dalam artikelnya bertajuk “Memperjuangkan Kerja Perawatan (Care Work) untuk Kepentingan Bersama” menyitir Sigiro dkk. (2018) tentang nilai ekonomi kerja ibu rumah tangga. Menurutnya, nilai ekonomi dari kerja perawatan yang dilakukan oleh ibu rumah tangga bisa menyumbang 10 persen pendapatan negara.

Di Indonesia secara khusus, menurut Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, potensi ekonominya sangat besar karena SDM kita punya keunggulan dibanding negara lain.

“Kita punya surplus SDM di level madya. Lalu dari sisi ketelatenan dan kegigihan, kualitas SDM kita sudah diakui oleh negara-negara lain. Menurut saya, ini bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Di dalam negeri, kebutuhan akan pekerja perawatan meningkat, apalagi kita punya bonus demografi dan kita menghadapi aging society di masa depan. Ini bernilai ekonomi tinggi,” ujarnya pada Magdalene.

Early sepakat dengan Faisal. “Mengarusutamakan isu pekerjaan perawatan ini juga bermanfaat untuk menciptakan kesempatan kerja yang layak di sektor perawatan. Pun, meningkatkan kondisi dan keamanan pekerja perawatan,” ujarnya.

Terkait ini, berdasarkan studi simulasi ekonomi makro untuk 45 negara, yang mewakili 85 persen dari PDB global dan 57 persen dari tenaga kerja global, ekonomi perawatan dapat menghasilkan lebih dari 475 juta pekerjaan baru di seluruh dunia pada 2030. Ini berarti ada tambahan 269 juta pekerjaan, 120 juta di antaranya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan sosial.

Baca juga: Investasi pada Cuti dan Perawatan di Dunia Kerja Penting Dilakukan

Masalah Seputar Kerja Perawatan

Meskipun bernilai ekonomi tinggi, kerja perawatan belum dianggap serius oleh pemerintah. Di Indonesia, ada sejumlah problem yang masih membayangi para pekerja perawatan. Yang paling kentara adalah upah minim atau bahkan kerja tanpa upah untuk pekerja perawatan.

Penelitian “Unpaid Care Work in Indonesia: Why Should We Care?” (2017) dari lembaga penelitian SMERU menyebutkan, ada beberapa sebab kenapa pekerja perawatan, termasuk ibu rumah tangga tak diupah atau mendapat upah kecil. Di antaranya, pekerjaan ini dianggap hanya dilakukan oleh orang yang tidak punya pengetahuan dan keterampilan. Sebab lainnya, pekerja perawatan, khususnya perempuan, dinilai punya banyak waktu luang, sehingga sudah sewajarnya melakukan kerja-kerja domestik tanpa imbalan.

Masalah lain seputar kerja perawatan adalah kita akan menghadapi aging society atau masyarakat menua pada 2045 yang diperkirakan mencapai 19 persen dari total populasi. Khotimun Sutanti, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia dan Anggota Koalisi Masyarakat Peduli Keberlanjutusiaan (KuMPuL) mengatakan pada Magdalene, para lansia rentan sakit, ditelantarkan, tak punya perlindungan sosial, dan kekurangan pangan.

Dalam konteks ini, masalahnya, pemerintah tak punya payung hukum untuk mengatasi problematika seputar lansia. Kebijakan hukum tertinggi adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Namun, UU ini menurut menurut Deshinta Vibriyanti, peneliti dari yang punya spesialisasi di isu lansia sudah sangat ketinggalan zaman dan tidak bisa menjawab perubahan sosial baru terkait lansia. Misalnya, tak cuma mengatur soal bantuan sosial, peraturan yang baik harus memastikan ada pemberdayaan lansia dan perlindungan atas mereka.

Dari sisi pemerintah, masalah lain yang mengemuka adalah tak ada regulasi yang memadai tentang kerja perawatan, khususnya yang menyangkut urusan rumah tangga. Di 2016, hanya 77 dari 184 negara (42 persen) yang memenuhi standar minimum cuti hamil berbayar yang diatur dalam Konvensi Nomor 183 ILO tentang Perlindungan Maternitas. Lalu sebanyak 57 dari 167 negara (39 persen) tidak memiliki ketentuan cuti wajib bagi ayah. Selain itu, akses universal ke layanan pengasuhan anak berkualitas masih jauh dari realisasi. Pun, rasio partisipasi kasar dalam layanan pendidikan anak usia dini untuk anak di bawah tiga tahun hanya 18,3 persen.

Data statistik di atas mencerminkan kenyataan di Indonesia. Liputan Magdalene sebelumnya mencatat, DPR RI sempat mensosialisasikan RUU Kesehatan Ibu dan Anak, yang di dalamnya mengatur cuti enam bulan untuk perempuan pekerja yang hamil dan melahirkan. Sayang, berdasarkan RUU ini, upah yang dibayarkan penuh di tiga bulan pertama. Sementara, tiga bulan selanjutnya hanya dibayar sebanyak 70 persen saja.

Itu baru soal cuti hamil dan melahirkan. Wacana tentang cuti paternitas ayah pun meski naik dari dua menjadi 40 hari, tak diikuti dengan pelatihanseputar pengasuhan anak dan pendampingan ibu.

“Indonesia cuma punya jargon suami siaga untuk menyebut pendampingan yang dilakukan oleh suami saat melahirkan. Namun, tak jelas bagaimana implementasinya,” kata Early lagi.

Sementara, jika berkaca pada negara-negara lain seperti Kolombia dan Argentina, sudah ada anggaran khusus dari pemerintah untuk menggelar pelatihan cara melakukan pekerjaan rumah, dari memasak, mencuci, hingga mengganti popok bayi. Argentina sendiri memang relatif maju dan punya Undang-undang (UU) khusus mengenai ekonomi perawatan. Dalam UU tersebut, ada penghitungan kontribusi perempuan bagi ekonomi dan pembangunan sosial sebagai alat untuk membuat  kebijakan publik, termasuk menyusun anggaran.

Sementara, sekali lagi di Indonesia, selain masih berupa wacana, dalam berbagai kesempatan, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemenppa) menjelaskan inisiatif apa saja yang dilakukan pemerintah terkait ini. Misalnya, untuk mendukung kerja perawatan domestik, pemerintah telah membuat 156 Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) sejak 2020.

Dilansir dari laman Kemenppa, DRPPA ini punya misi mewujudkan sistem pengasuhan berbasis hak anak, di mana tanggung jawab perawatan dan pengasuhan anak tidak hanya dibebankan kepada perempuan atau ibu, melainkan juga pada ayah, pengasuhan pengganti, masyarakat hingga peran serta negara untuk menyediakan fasilitas. Masalahnya dari penelusuran redaksi Magdalene terkait keberhasilan indikator-indikator tersebut, masih belum ada hasil yang signifikan.Kami mencoba mengonfirmasi kepada pihak Kemenppa namun hingga artikel ini ditulis, mereka belum menyanggupi permohonan wawancara.

Selain inisiatif DRPPA, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) per 15 Oktober 2022 juga melaksanakan Registrasi Sosio Ekonomi.

“Nanti akan terlihat pekerjaan seseorang ada di jenis apa, dan berapa upah jam kerjanya,” ungkap Pungky Sumadi, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan dalam laman yang sama. “Kalau seseorang masuk ke dalam kategori tinggal di rumah untuk merawat keluarga ini akan tertangkap dalam registrasi. Nanti tugas kita untuk mencari tahu bagaimana data ini bisa kita pelajari secara baik sehingga mendorong formalisasi pekerjaan seperti ini.”

Sepintas banyak inisiatif yang dilakukan pemerintah, tapi apakah itu cukup?

Baca juga: Ketika Mama Menua dan Tak Bekerja, Maukah Kamu Menampungnya?

Ikhtiar Me-Mainstream-kan Kerja Perawatan

Jika kontribusi kerja perawatan terhadap ekonomi ini terus diabaikan, besar kemungkinan kerugian yang diderita publik khususnya perempuan akan semakin banyak. Ibu rumah tangga akan terus diposisikan sebagai penanggung jawab tunggal urusan domestik. Pekerja rumah tangga akan terus diberi upah rendah bahkan tak diberikan jaminan kesehatan dari pemberi kerja. Pun, menitipkan anak tanpa upah kepada orang tua dengan dalih momong cucu akan terus dinormalisasi.

“Indonesia cuma punya jargon suami siaga untuk menyebut pendampingan yang dilakukan oleh suami saat melahirkan. Namun, tak jelas bagaimana implementasinya,” kata Early lagi.

Magdalene bertanya pada Early, apa solusi yang bisa diupayakan terkait ini. Pertama, pemerintah harus betul-betul serius menjadikan isu ini prioritas lewat penciptaan dan penegakan payung hukum ekonomi perawatan.

Menurut laporan ILO (2018), kebijakan yang dimaksud meliputi kebijakan perawatan yang mengalokasikan sumber daya anggaran, waktu, hingga layanan. Misalnya kelonggaran kerja remote untuk ibu atau cuti melahirkan dan paternitas. Lalu ada kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan fiskal, moneter, dan perdagangan. Ada lagi perlindungan sosial, misalnya lewat pengadaan daycare yang terjangkau, ruang laktasi di kantor-kantor. Lebih lanjut ada kebijakan tenaga kerja, misalnya kebijakan upah minimum pekerja rumah tangga, peraturan hak dan kewajiban pekerja, dan sebagainya.

Di sisi lain, pihak pemberi kerja juga harus menyadari nilai ekonomi dari para pekerja perawatan. “Sehingga, nanti enggak ada lagi pekerja yang merasa tidak didukung. Cuti enggak diberikan karena berpikir, cuti bikin perusahaan rugi,” ujar Early. Justru, kata dia, cuti yang layak akan membuat pekerja merasa dihargai dan bisa bekerja dengan lebih produktif nantinya.

Early juga berharap ada keterlibatan dari sisi pekerja, terutama pekerja muda. Khususnya dalam menyuarakan isu-isu ini secara kontinyu. “Mereka, para pekerja muda, harus paham hak-haknya, juga menyadari bahwa isu ini penting, lalu berani mengritisi kebijakan-kebijakan yang tak sesuai,” tambahnya.

Pada akhirnya, pengakuan terhadap kontribusi kerja perawatan memang membutuhkan banyak usaha, dari peningkatan kesadaran kolektif hingga aksi yang konkret. Namun langkah pertama cukup dimulai dengan memahami bahwa kerja perawatan selalu bernilai ekonomi.

“Ini bukan pekerjaan zero, tapi kerja yang produktif,” tutup Early.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Dalam rangka International Women’s Day 2023, Magdalene meluncurkan series liputan jurnalisme data bertema “Urgensi Ekonomi Perawatan”. Akan ada satu artikel utama dan 4 artikel lainnya yang tayang setiap Rabu. Jika kamu menyukai liputan visual, Magdalene juga membuat laporan berformat video yang bisa diakses di Youtube kami.

Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani

Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky

Editor: Aulia Adam

Reporter/ Periset:

Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Chika Ramadhea

Desainer Grafis: Jeje Bahri, Della Nurlaelanti Putri

Juru Kamera dan Editor: Tommy Triardhikara

Web Developer: Denny Wibisono

Media Sosial: Siti Parhani

SEO Specialist: Kevin Seftian

Community Outreach: Paul Emas



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *