Belakangan ini, aku sering mengeklik tombol not interested pada beberapa konten di FYP TikTok. Enggak cuma dua atau tiga kali, tapi tak terhitung lagi. Apalagi untuk konten yang punya topik serupa: Feminine energy.
Akhir-akhir ini memang ramai para pengguna TikTok yang mengunggah konten bertopik itu dengan beragam variasi. Setelah kutelusuri, topik tersebut enggak baru-baru amat. Di luar negeri, pada 2023, TikToker @drachelfiona, sebagaimana diceritakan The Sidney Morning Herald memvideokan dirinya berdiri di depan cermin untuk skincare-an rutin. Sepanjang video, ia bilang, tunangan lelakinya selalu mengambil peran sebagai pemimpin dalam hubungan, termasuk menentukan kencan, memesan liburan, dan menangani keputusan besar soal uang. Cowoknya juga selalu mengantar ke pintu setiap meninggalkan rumah, sehingga ia merasa bak seorang putri.
TikToker lainnya @lilmikara menampilkan konten tentang tips mengaktifkan energi feminin. Misalnya dengan bangga pada penampilan diri, melepaskan kendali, dan selaras dengan alam. Konten-konten ini cuma segelintir yang mendorong perempuan menonjolkan energi feminin mereka. Tak jarang, figur-figur seperti Alexa Demie, Megan Fox, Angelina Jolie, atau Marilyn Monroe dipakai untuk mencontohkan betapa menguntungkan jadi perempuan yang bisa mengeluarkan energi femininnya.
Baca juga: The Movie ‘Barbie’ Has Put The Phrase ‘Toxic Femininity’ Back in the News, Here’s What It Means
Apa itu Feminine Energy
Sepintas, energi feminin yang dikoar-koarkan oleh TikToker sebagai pengejawantahan feminisme baru itu tampak harmless. Awalnya pun aku pikir feminine energy sama dengan menjadi perempuan girly, ayu, anggun, lovable. Dengan pemahaman macam itu, aku merasa telah radiate my feminine energy seperti apa yang dikatakan mbak-mbak TikToker. Misalnya, aku mencintai warna pink, kecanduan Barbie, nyaman mengenakan rok, atau terobsesi pada pernak-pernik aksesoris gemoy.
Namun, memaknai energi feminin tak bisa sedangkal itu. Sebab, frasa ini sendiri punya tafsir luas yang lumayan kompleks dan problematik. Dilansir dari Dictionary.com, energi feminin artinya kekuatan energi yang berkaitan dengan sifat-sifat seperti kasih sayang dan empati. Berkebalikan dengan energi maskulin yang berorientasi pada kekuatan, kepemimpinan, dan logika.
Dilansir dari artikel yang sama di The Sidney Morning Herald, energi feminin dan maskulin berakar pada spiritualitas dan agama. Dalam filsafat Tiongkok, misalnya, Yin dikatakan mewakili energi feminin, sedangkan Yang mewakili energi maskulin.
“Laki-laki dan perempuan punya peran berbeda dalam hubungan. Dalam gagasan tradisional, laki-laki dimaksudkan untuk memberikan kekuatan dan perlindungan. Sementara, perempuan memberikan cinta dan pengasuhan. Dari definisi ini saja, jelas memperkuat beberapa peran gender tradisional,” kata Dr Grace Sharkey, dosen studi gender dan budaya di Universitas Sydney, dikutip dari media serupa.
Padahal kita tahu, peran-peran dan karakter tradisional itu telah banyak berubah. Perempuan bisa menjadi apa saja, memilih feminin atau maskulin selama ia mau. Namun, ada gerakan yang dimulai pada 1980-an yang bertujuan membangkitkan kembali gagasan patriarki tentang feminitas dan peran konvensional perempuan. Gagasan ini populer berkat figur-figur macam Andrew Tate dan Jordan Peterson.
Di Indonesia sendiri, konten kreator yang sering kali mempromosikan dua macam energi ini berargumen, energi tersebut given atau terberi dari sononya, dan dapat kita aktifkan (macam tubuh punya saklar). Enggak tanggung-tanggung, karena diklaim membawa banyak manfaat dan memberdayakan oleh para “feminis TikTok”, energi feminin ini kerap dikapitalisasi oleh industri. Karena itulah enggak heran bertebaran influencer digital yang mengaku sebagai pakar, macam Love Coach atau Lovable Ladies, yang membuka kelas atau pelatihan bagaimana memaksimalkan energi feminin untuk perempuan.
Mereka kerap memakai jargon-jargon khas, seperti: “Perempuan harus lemah lembut dan penuh kasih,” “Perempuan tidak boleh lebih dominan daripada laki-laki,” “Carilah laki-laki yang bersedia membiayaimu dari ujung kepala sampai ujung kaki, jangan lupa layani sepenuh hati supaya kamu dijadikan seorang putri,” “Let your man decide, let him activate his masculine energy.”
Beberapa di antaranya juga terang-terangan memberi tips untuk mengaktifkan feminine energy supaya perempuan dapat menarik lawan jenis. Tidak hanya soal bagaimana membentuk kepribadian perempuan agar sesuai dengan “fitrah keperempuanan”, tapi juga mengkotak-kotakkan aktivitas dan hobi: Mana yang maskulin dan feminin. Contoh, naik gunung merupakan hobi maskulin, sedangkan memasak atau mengajar feminin.
Beberapa juga menganggap perempuan boleh bekerja sepanjang gajinya tak melebihi lelaki atau perempuan harus membiarkan diratukan oleh lelaki, dibayarkan saat kencan kapan pun, dan seterusnya. Sebab, jika perempuan lebih dominan ketimbang lelaki, maka mereka cenderung sulit menarik lawan jenis.
Baca juga: Belajar dari Nakamoto Yuta: Maskulin dan Feminin, Lelaki Bisa Jadi Keduanya
Kita Perlu Kritis di TikTok
Konsep feminine–masculine energy ini seolah mengamini konstruksi sosial atas gender yang telah mengakar di masyarakat. Bahwa perempuan harus begini dan tidak boleh begitu. Karenanya saat suami selingkuh, kita dengan mudahnya menyalahkan istri yang dianggap tak penurut, kurang lembut, bikin suami tak betah, atau lebih dominan, sehingga suami terintimidasi.
Seolah-olah feminis, padahal jika ini dibiarkan, justru bisa jadi sangat beracun (toxic feminity). Kenapa? Karena perempuan akan selalu diajak untuk melekatkan peran dan sifat tertentu pada diri mereka. Siapa yang menyetir? Ya lelaki? Siapa yang ujung-ujungnya memanfaatkan? Industri bisnis yang kapitalis, termasuk pengiklan atau penjual produk tertentu.
Padahal, menurutku, perempuan seharusnya bebas mengekspresikan diri tanpa terpenjara aturan what to do and what not to do. Jangan kebablasan biar energi femininmu enggak luntur. Lha, memang, kalau aku memilih untuk tak jadi feminin kenapa?
Gagasan energi feminin itu tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki. Mereka akan kesulitan menunjukkan sisi rapuhnya yang manusiawi. Sebab toxic masculinity mengajarkan, laki-laki harus kuat, tidak boleh manja terhadap pasangan, tidak boleh mengeluh, harus jadi pemimpin, dominan, dan haram hukumnya menangis.
Seperti kritik feminis Simone de Beauvoir dalam “The Second Sex”, sekuat apa pun penampilan, perempuan tetap didefinisikan melalui gagasan yang diciptakan oleh kesadaran laki-laki. Karena itulah kita perlu berusaha untuk menjadi lebih dari sekadar peran remeh yang diciptakan laki-laki. Kita harus benar-benar jadi berdaya, bukan seolah-olah berdaya padahal cuma karbitan.
Baca juga: The Departed Rock Stars and My ‘Casual Feminine’ Identity
Dalam hal ini, mengampanyekan konsep energi feminin tentu hanya membuat langkah para puan untuk memperjuangkan kesetaraan dan lepas dari konstruksi lelaki, tersendat. Perempuan yang mungkin merasa tidak sesuai dengan konsep feminine energy mungkin akan mencoba “memperbaiki” dirinya, mencari-cari celah mana yang “cacat”, dan mana yang harus dipahat. Padahal, peran, sifat, hingga value seorang perempuan tidak boleh dibatasi dengan standarisasi dari konten feminine energy yang dibuat oleh para TikToker feminis semu ini.
Nabilah Zata adalah perempuan 24 tahun yang mempelajari Hubungan Internasional. Ia memiliki ketertarikan pada isu gender dan feminisme. Suka menulis di waktu senggang.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari