#BasaBasiReformasiPolri: ‘No Viral, No Justice’ adalah Wajah Asli Penegakan Hukum Kita
Meski dipandang sebagai jalan keluar terakhir saat aparat penegak hukum tak bisa dipercaya, bukan berarti ‘no viral, no justice’ bebas risiko.
Masih ingat kasus kematian Vina di Cirebon, Jawa Barat, yang belakangan diusut kembali setelah filmnya viral? Atau kasus kekerasan seksual pada anak di Langkat, Sumatera Utara, yang buru-buru ditangani lagi usai viral di media sosial? Kedua kasus tersebut menjadi gambaran bahwa di negara kita, aparat baru mau bekerja setelah ada kasus yang menyedot perhatian massa.
Enggak heran jika orang-orang memilih untuk lapor ke X, Instagram, atau TikTok alih-alih mengadu pada polisi. Dalam hemat mereka, cara ini dipandang jadi opsi cepat untuk mendapat keadilan yang kerap kali jadi hak segelintir orang. Fenomena ini kita kenal dengan sebutan “No Viral, No Justice”. Istilah itu menggambarkan situasi ketika masyarakat lebih mengandalkan kekuatan netizen untuk mendapat perhatian aparat agar kasus ditangani segera.
Sebagai aksi kolektif, tindakan memviralkan kasus bisa dilihat sebagai bagian kontrol masyarakat terhadap proses penegakan hukum. Penelitian bertajuk “‘One Nation Under Virtual Police’: Kontrol Sosial, Aktivisme Viral, dan Patroli Internet” (2021), Auditya Firza Saputra, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bilang, memviralkan kasus merupakan satu alat kendali sosial yang kuat buat masyarakat. Semuanya bisa saling bahu membahu untuk memastikan agar keadilan didapatkan.
Sayangnya, meskipun terlihat sebagai opsi menjanjikan untuk memperoleh keadilan, fenomena “No Viral, No Justice” punya implikasi buruk bagi proses penegakan hukum. Mengutip penelitian Josias Simon Runturambi, dkk. (2024) bertajuk “No Viral No Justice: A Criminological Review of Social Media-Based Law Enforcement from the Perspective of Progressive Law”, tindakan itu mampu menurunkan praktik hukum yang progresif secara jangka panjang. Upaya penegakan hak asasi manusia, keadilan substantif, hingga penolakan terhadap diskriminasi pun bisa jadi terhalang.
Baca juga: Menuntut Pertanggungjawaban Platform untuk Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual
Ujung-ujungnya Rakyat Dibuat Merugi
Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang sedang menyoroti agenda reformasi kepolisian angkat bicara. Dalam wawancara lewat telepon dengan Magdalene, ia menuturkan, kepercayaan publik yang menurun didorong oleh tren pengusutan kasus.
“Kalau bicara soal public distrust, kita perlu lihat juga penilaian masyarakat terhadap empat aspek nature of trust kepolisian. Di antaranya, ability (kemampuan), performance, kebajikan, dan dedikasi, serta etika. Kenyataannya sekarang performance kepolisian sendiri bermasalah dan berat sebelah, tumpul ke atas. Kemudian, kemampuan menyelesaikan kasusnya juga enggak maksimal. Kasus soal etika juga banyak. Maka dari itu, karena rasa ketidakberdayaan masyarakat yang besar ini, akhirnya muncul lah fenomena “No Viral, No Justice” sebagai upaya tandingan,” jelas Maidina.
Ketika fenomena “No Viral, No Justice” marak, imbuhnya, tak otomatis menguntungkan masyarakat. Memang kita bisa menekan percepatan penyelesaian kasus, tapi di lain sisi, memviralkan kasus bisa berdampak serius pada penegakan hukum dan jadi senjata makan tuan buat yang memviralkannya. Terkait yang terakhir, kita perlu ingat, mentalitas warganet Indonesia cenderung menyalahkan korban terlebih dulu ketimbang memercayainya.
“Ketika kita menuangkan permasalahan ke ruang publik, jenis masyarakat kita yang highly divided, bisa (berpotensi) menimbulkan banyak stigma buruk terhadap dia sendiri. Itu bakal berdampak pada kredibilitas si korban yang memviralkan. Belum lagi kita punya instrumen hukum yang juga bisa menjerat korban. Contohnya, kayak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sekarang sering digunakan untuk mempidanakan korban balik,” ujarnya.
Ia menambahkan, memviralkan kasus pun bisa menghambat proses penegakan hukum. Kita mungkin masih ingat dengan kasus salah tangkap Pegy Setiawan (terduga pelaku kasus Vina) beberapa pekan lalu. Karena terlanjur viral, polisi bergerak serampangan karena besarnya tekanan publik. Alih-alih teliti mencari pelaku sebenarnya, polisi asal cepat menetapkan pelaku tanpa bukti yang jelas. Penegakan hukum pun dikesampingkan. Asas praduga tak bersalah sampai kesetaraan di hadapan hukum diabaikan.
“Bahayanya gitu. Kalau sudah terlanjur viral, penegakan hukum enggak didasarkan lagi pada imparsialitas (perlakuan adil), tapi bergerak atas dasar pressure (tekanan) publik. Udah gitu, aparatnya enggak kompeten. Akhirnya, munculah putusan-putusan yang dipertanyakan juga sama publik,” jelasnya.
Transformasi Apa yang Dibutuhkan Aparat?
Melihat dampak besar “No Viral, No Justice”, reformasi kepolisian perlu dilakukan segera. Maidina mencontohkan, dalam konteks peradilan pidana, polisi perlu mengimbangi kewenangan besar ini dengan pengawasan yang sepadan. Sementara saat ini kita tahu nihilnya lembaga independen yang bisa menginvestigasi kinerja polisi secara keseluruhan. Sayang, dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Polri, ketimbang berfokus pada mekanisme kontrol dan pengawasan, kepolisian justru sibuk memperbesar wewenang.
“Saat ini, dia (polisi) cuma bisa disidik sama polisi. Power mereka terlalu besar. Itu menjadi permasalahan utama. Harusnya ada independent bodies atau lembaga lain, misalnya jaksa, yang bisa menginvestigasi tindak pidana yang dilakukan polisi,” ujar Maidina.
Baca juga: Apa itu Dewan Media Sosial yang Diwacanakan Kominfo?
Di saat bersamaan, kata dia, rakyat perlu mendorong transparansi kepolisian agar akuntabilitasnya teruji. “Kita mesti mendorong agar kepolisian menunjukkan tanggung jawabnya. Ya, paling tidak, menyediakan laporan finansial tahunan yang bisa diakses oleh publik lah. Dari sini, diharapkan, baik perbaikan pengawasan sampai dorongan pertanggungjawaban, bisa menjawab semua permasalahan kepolisian,” tutupnya.
Dalam rangka HUT Bhayangkara, Magdalene merilis series liputan bertajuk #BasaBasiReformasiPolri yang akan tayang sepanjang Juli 2024.