December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

APBN 2026: Kesempatan untuk Keadilan Gender yang Nyata

RAPBN 2026 bisa menjadi tonggak penting bagi perempuan dan kelompok rentan jika DPR mendorong keberpihakan nyata dalam anggaran.

  • August 28, 2025
  • 5 min read
  • 1728 Views
APBN 2026: Kesempatan untuk Keadilan Gender yang Nyata

Sebagai perempuan politisi yang pernah bekerja di berbagai lembaga, saya tahu kebijakan fiskal bukan sekadar angka. Dampaknya terasa nyata, mulai bantuan sosial (bansos) yang enggak merata, akses kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan minimnya layanan kesehatan ibu-anak atau daycare

Dari pengalaman itu, jelas bagi saya 2026 menjadi momentum penting. Sebab, Indonesia menghadapi dua tantangan sekaligus, yakni ketimpangan sosial ekonomi dan ketidakadilan gender yang memperparah kemiskinan ekstrem bagi banyak keluarga. 

Celaka dua belas, yang nestapa bukan cuma perempuan tapi juga Gen Z. Saat ini angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) anak muda (usia 15–24 tahun) tercatat sebesar 16,16 persen. Jauh lebih tinggi dibanding rata-rata nasional sebesar 4,76 persen. Perempuan muda patut waspada karena RAPBN 2026 kurang merespons isu ini. 

Indikator yang lebih relevan terkait gender adalah NEET (Not in Employment, Education, or Training): NEET di Indonesia sekitar 21,4 persen (2023), mayoritas adalah perempuan muda yang sering dikaitkan dengan perkawinan anak, kewajiban domestik, dan keterbatasan akses pendidikan atau pelatihan. 

Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 seharusnya menjadi instrumen keberpihakan bagi rakyat kecil, terutama perempuan yang paling terdampak krisis sosial-ekonomi. Namun, rancangan yang ada menunjukkan pemerintah masih lebih berpihak pada elite. Alhasil, sulit berhadap mereka mampu menjawab tantangan kesejahteraan sosial.  

APBN pada akhirnya bukan sekadar instrumen teknokratis menghitung pemasukan dan belanja, melainkan cerminan politik keberpihakan. Tanpa koreksi DPR, anggaran akan lebih banyak menguntungkan kelompok elit dan mengabaikan kebutuhan perempuan serta kelompok rentan lainnya. 

Baca juga: Omon-Omon Swasembada Pangan Presiden: Banyak Janji, Minim Petani

Ketimpangan yang Menguat 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di Indonesia turun dari 9,36 persen (2023) menjadi 9,03 persen (2024). Namun ketimpangan pendapatan masih tinggi, dengan rasio Gini 0,375, dan kesenjangan antarwilayah makin nyata. Maksudnya, kawasan perkotaan, terutama di Jawa, menikmati pertumbuhan lebih besar dibanding daerah pinggiran dan luar Jawa. 

Ketimpangan bukan hanya soal pendapatan tapi juga akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dalam konteks gender, perempuan lebih rentan. Mayoritas bekerja di sektor informal dengan pendapatan rendah, minim perlindungan sosial, dan menghadapi beban ganda kerja domestik

Berangkat dari sinilah, RAPBN 2026 seharusnya mengintervensi ketimpangan ini melalui redistribusi fiskal yang responsif gender. Sayang, arah belanja negara masih konservatif. Porsi terbesar terserap pada subsidi energi, pembayaran bunga utang, dan proyek infrastruktur padat modal yang menguntungkan korporasi besar. Tanpa perubahan, jurang kaya-miskin akan semakin dalam. Sementara perempuan miskin tetap terjebak pekerjaan tidak layak. 

Target kemiskinan ekstrem nol persen 2024 tidak tercapai. RAPBN 2026 harus menjadi jawaban serius, bukan sekadar menurunkan angka statistik. Program perlindungan sosial dialokasikan, tetapi efektivitas dan keberlanjutan tetap jadi tantangan. Perempuan sering menjadi penerima bansos. Namun tanpa strategi pemberdayaan, mereka tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan keluarga. 

Tekanan inflasi pangan juga ancaman nyata. Hari-hari ini kita melihat kelompok miskin menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi pangan. Kenaikan harga beras atau kebutuhan pokok langsung menaikkan angka kemiskinan. Sementara, perempuan sebagai pengelola rumah tangga pun jadi yang paling terdampak. Tanpa kebijakan harga berpihak, beban hidup perempuan akan semakin berat.

Baca juga: Gaji DPR vs Guru Honorer: Potret Kesenjangan yang Bikin Miris 

Perspektif Gender dan Keadilan Sosial 

Ketidakadilan gender bukan isu sampingan, melainkan inti ketimpangan. Partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah, mayoritas bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial. Kontribusi mereka dalam pekerjaan domestik juga tidak tercatat dalam Produk Domestik Bruto (GDP). 

RAPBN 2026 akan gagal jika tidak memasukkan lensa gender alias gender-responsive budgeting. Misalnya alokasi lebih besar untuk pendidikan anak usia dini, layanan kesehatan ibu-anak, dan gizi keluarga. Akses kredit UMKM dan pelatihan bagi perempuan pelaku UMKM harus diperluas. Investasi dalam care economy seperti daycare, layanan lansia, dan dukungan bagi pekerja rumah tangga juga perlu ditingkatkan. 

Program afirmatif untuk perempuan muda dari keluarga miskin penting agar mereka bisa mengakses pendidikan vokasi dan pekerjaan formal, mencegah kemiskinan ekstrem berulang. Keadilan sosial, sebagaimana sila kelima Pancasila, hanya tercapai bila keadilan gender diperjuangkan. Tanpa itu, kebijakan redistributif tidak akan menyentuh akar ketimpangan. 

APBN 2026 harus menjadi instrumen keberpihakan, bukan sekadar neraca fiskal. Artinya, pemerintah dan DPR perlu memastikan anggaran benar-benar pro-rakyat. Pajak progresif harus membiayai program keadilan sosial dan gender. Alokasi belanja harus mengutamakan pendidikan, kesehatan, UMKM, koperasi, dan ekonomi hijau yang menyerap tenaga kerja perempuan. 

Perlindungan sosial transformatif perlu diwujudkan melalui program pemberdayaan perempuan, bukan sekadar bansos jangka pendek. Perluasan lapangan kerja formal dengan jaminan sosial, upah layak, dan akses setara bagi perempuan menjadi kunci mencegah kemiskinan ekstrem. 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Mahasiswa Kelas Menengah Terimpit Privilese dan Beban Finansial

Percepatan pembangunan wilayah pinggiran dan desa harus disertai pendekatan sensitif gender: agar perempuan di luar Jawa tidak semakin tertinggal. Ketimpangan antarwilayah yang memburuk menambah lapisan penderitaan perempuan. 

APBN 2026 harus dicatat bukan karena defisit atau besarnya belanja, melainkan keberpihakan pada rakyat kecil, terutama perempuan yang menanggung beban paling berat dari ketidakadilan sosial-ekonomi. Tanpa keberpihakan nyata pada perempuan dan kelompok rentan, mustahil Indonesia merdeka secara ekonomi. 

Jika DPR berani menjadikan gender-responsive budgeting sebagai fondasi, APBN 2026 akan dikenang sebagai tonggak menuju Indonesia yang adil, setara, dan sejahtera bagi semua. 

About Author

Eva Kusuma Sundari

politisi, enthusiast Feminisme Pancasila, pendiri Institut Sarinah dan konsultan SDGs, gender and development,