Issues Opini

Beratnya Jadi Ibu Sekaligus Mahasiswa S3, ini Pengalaman Saya

Beban ganda sebagai mahasiswa S3 sekaligus ibu rumah tangga, bisa memicu depresi. Ada empat tips yang mungkin berguna.

Avatar
  • February 11, 2025
  • 6 min read
  • 649 Views
Beratnya Jadi Ibu Sekaligus Mahasiswa S3, ini Pengalaman Saya

Pendidikan S3 membantu perempuan—khususnya para ibu—dalam meningkatkan karier maupun mendorong perubahan sosial. Studi doktoral juga memberi kesempatan bagi ibu-mahasiswa untuk menyalurkan potensi, sekaligus mengekspresikan kecintaan terhadap dunia akademis.

Sayangnya, penelitian PhD Mama Indonesia pada 2022 menunjukkan bahwa ibu-mahasiswa harus mengemban tuntutan akademis di tengah tanggung jawab domestik, seperti mengurus anak dan rumah tangga. Apabila tidak disertai dengan sistem pendukung yang memadai, beban ganda ini sering menyebabkan kelelahan mental yang dapat berdampak pada produktivitas akademis.

 

Saya dan beberapa ibu yang pernah menjalani studi S3 merasakan beban emosional dari peran ganda tersebut.

Baca Juga: Tuntutan Maksimal, Dukungan Minimal: Beratnya Beban Studi S3 di Indonesia

Beban Studi S3 Berisiko Picu Depresi

Studi doktoral dirancang untuk menghasilkan pengetahuan baru melalui penelitian mendalam yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Namun, prosesnya panjang dan penuh ketidakpastian.

Mahasiswa S3 akan menghadapi sejumlah tantangan, seperti risiko riset gagal, kritik tajam dari promotor atau pembimbing, revisi berulang, serta tekanan publikasi riset di jurnal internasional bereputasi.

Tak heran, mahasiswa doktoral memiliki risiko depresi enam kali lebih tinggi dibandingkan orang awam. Mereka juga lebih rentan mengalami gangguan emosional dan fisik, dibanding individu yang tidak melanjutkan studi doktoral.

Perempuan mahasiswa S3 berisiko mengalami depresi lebih besar. Riset menunjukkan mahasiswa pascasarjana perempuan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, dibanding mahasiswa laki-laki.

Baca Juga: Dear Mama-mama Mahasiswa S2 dan S3, Kamu Hebat, Kamu Tak Sendiri

Beratnya Beban Ganda Ibu-Mahasiswa S3

Bagi seorang ibu, tantangan kuliah doktoral lebih kompleks. Tuntutan untuk menjalankan peran sebagai mahasiswa yang menjalankan tugas rumah tangga menciptakan ketegangan antara tanggung jawab akademis dan domestik. Banyak konflik terjadi perihal pengambilan keputusan dan manajemen beban kerja.

Pada tahun ketiga studi doktoral di Monash University, Australia, saya harus menjalani pernikahan jarak jauh karena suami kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya lebih dulu. Dalam situasi ini, saya harus mengurus anak-anak yang tinggal bersama saya di Melbourne, sembari tetap menjalankan riset yang masih berjalan.

Selama proses akademis tersebut, saya menghadapi tantangan berat untuk menguasai teori dan metode baru yang sebelumnya belum pernah saya pelajari. Ditambah lagi, ada pandemi COVID-19 yang kian menambah beban isolasi fisik dan mental. Saya kesulitan mencari waktu untuk menulis disertasi dan mengalami stres karena merasa progres penelitian sangat lambat.

Pengalaman Hani Yulindrasari berbeda, tetapi tak kalah menantang. Selain harus jumpalitan membagi waktu antara tugas kuliah dan pekerjaan rumah tangga, alumnus University of Melbourne ini mengalami kendala pendanaan beasiswa yang hanya berlangsung tiga tahun. Padahal, penelitian doktoralnya membutuhkan waktu lebih lama.

Hani akhirnya mengajukan perpanjangan beasiswa, tetapi ketidakpastian yang ada sempat membuatnya mengalami depresi. Sebab, tanpa dana tambahan, kelangsungan studinya di Australia terancam.

Masalah keuangan juga dialami Frida (bukan nama sebenarnya), seorang ibu-mahasiswa S3 di universitas ternama di Indonesia. Ketidakjelasan pendanaan dari lembaga yang menjanjikan beasiswa membuatnya terpaksa tetap bekerja penuh waktu sambil mengurus anak. Akibatnya, studi doktoral justru menjadi prioritas kedua.

Proses studi doktoral terus-menerus menempatkan ibu-mahasiswa dalam pergulatan yang menuntut ketahanan luar biasa, baik secara akademis, finansial, maupun emosional. Dalam banyak kasus, tekanan berlapis ini menguras fisik dan mental serta meningkatkan risiko stres kronis, kecemasan, bahkan depresi.

Tantangan ini sering luput dari perhatian banyak orang dan cenderung diabaikan, terutama di lingkungan akademis yang belum sepenuhnya inklusif terhadap peran ganda perempuan.

Baca Juga: 3 Cara Ampuh Cegah Mahasiswa Pakai Joki Tugas Kuliah

Pentingnya Dukungan Sosial

Mahasiswa yang mengalami depresi berat memiliki kemungkinan tiga hingga lima kali lebih besar untuk berhenti kuliah dibanding mereka yang bergejala ringan. Karena itu, dukungan dari orang terdekat, seperti keluarga, pembimbing akademis, maupun rekan kuliah sangatlah penting bagi ibu-mahasiswa S3 guna mengurangi beban emosional. Berikut bentuk dukungan yang diperlukan:

1. Berbagi peran dengan keluarga

Damba Bestari, dosen ilmu kedokteran jiwa fakultas kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, yang juga berprofesi sebagai psikiater di Rumah Sakit Unair, mengungkapkan pentingnya berbagi peran dengan suami atau anggota keluarga lain dalam mengurangi beban emosional ibu-mahasiswa S3.

“Keluarga dalam hal ini bisa memberikan berbagai macam dukungan, mulai dari dukungan finansial, servis, hingga menjaga anak dan memberikan waktu agar ibu bisa bekerja dengan tenang,” katanya.

Suami Hani, misalnya, mendedikasikan diri dengan bekerja di Australia untuk membantu biaya kuliah istrinya agar Hani bisa fokus ke studi saja. Adapun keluarga Frida memberikan dukungan dengan tidak memberi tekanan terkait studi, serta bantu mengasuh anaknya ketika dia sedang dikejar tenggat tugas.

2. Lingkungan akademis yang inklusif

Kampus di Indonesia harus berperan aktif menciptakan lingkungan akademis yang inklusif dan bebas stigma terhadap gangguan mental, terutama bagi ibu-mahasiswa.

Kendati masyarakat kian memahami pentingnya kesehatan mental, tetapi kesadaran bahwa gangguan mental adalah masalah medis—bukan sekadar akibat kemalasan atau ketidakmampuan mahasiswa mengatur dirinya—harus dijadikan pemahaman bersama di lingkungan akademis.

Dalam hal ini, promotor maupun pembimbing perlu memberikan umpan balik yang membangun, bukan menjatuhkan. Baik promotor, pembimbing, dan kandidat doktor harus saling menjaga komunikasi yang suportif.

Dukungan dari pembimbing yang peka terhadap masalah mental terbukti dapat membantu Aretha (bukan nama sebenarnya) keluar dari jeratan depresi saat menempuh studi doktoral di Amerika Serikat. Meski bukan seorang ibu, Aretha beruntung karena mendapatkan dukungan dari pembimbing, termasuk teman dan keluarga yang sangat membantu dalam menghadapi depresi.

Selain itu, kampus perlu menyediakan fasilitas konseling gratis bagi mahasiswa yang membutuhkan pertolongan profesional.

Untuk mengakomodasi peran ganda ibu-mahasiswa S3, pihak kampus perlu menyediakan layanan tambahan, seperti penitipan anak. Komunitas PhD Mama Indonesia bahkan merekomendasikan subsidi pembiayaan daycare bagi ibu-mahasiswa, apa pun jenis beasiswanya.

3. Berinteraksi sosial

Satu hal yang saya sesali selama studi S3 adalah kurangnya interaksi sosial bersama mahasiswa doktoral lainnya. Karena kesibukan mengurus anak dan disertasi, saya hampir tidak punya waktu untuk bersosialisasi. Ditambah lagi, pembatasan fisik dan sosial selama pandemi menambah perasaan terisolasi yang saya rasakan.

Selain dari kemauan pribadi, pihak kampus perlu menyediakan kelompok dukungan sebaya (peer support groups) guna mengurangi rasa kesepian serta memberi ruang bagi mahasiswa dalam berbagi pengalaman dan dukungan.

4. Cari pertolongan profesional

Di sisi lain, mahasiswa juga harus membekali diri dengan literasi kesehatan mental agar dapat mengenali gejalanya lebih dini. Individu yang paham tentang kesehatan mental cenderung lebih cepat mencari pertolongan dan mampu mengelola stres sebelum kondisinya memburuk.

Hani dan Aretha, misalnya, bisa menyelesaikan studi S3 dengan baik karena memiliki pemahaman yang cukup tentang kesehatan mental dan pentingnya bantuan profesional, seperti psikolog dan psikiater.

Menjadi ibu sekaligus mahasiswa S3 tidaklah mudah. Namun, terjalnya tantangan dalam menjalani peran ganda ini bisa terasa lebih ringan jika mereka mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat. Dengan begitu, ibu-mahasiswa tidak merasa sendirian dalam mengarungi perjalanan akademis yang penuh tantangan.

Pratiwi Utami, Lecturer, Universitas Gadjah Mada.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat..



#waveforequality
Avatar
About Author

Pratiwi Utami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *