3 Dampak Buruk Aturan Kontrak Kerja sampai Lima Tahun Bagi Karyawan
Aturan turunan UU Cipta Kerja tentang kontrak sampai lima tahun berdampak buruk terhadap kesejahteraan karyawan dalam jangka panjang.
Belum lama ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani aturan turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mengundang pro-kontra banyak pihak. Salah satu poin dalam aturan tersebut menyinggung tentang karyawan yang dapat dikontrak paling lama lima tahun. Durasi ini dua tahun lebih panjang dari aturan yang ada sebelumnya.
Aturan turunan ini menimbulkan reaksi berbeda di kalangan pengusaha dan pekerja. Bagi pengusaha, di tengah situasi yang masih penuh ketidakpastian di tengah-tengah pandemi, peraturan tersebut dapat mengakomodasi fleksibilitas di dunia usaha, termasuk juga fleksibilitas terkait hubungan ketenagakerjaan. Hal tersebut akan membantu menciptakan ekosistem yang sesuai bagi perusahaan untuk bisa pulih dari krisis yang dialami saat ini, sesuatu yang diharapkan pemerintah ketika mengesahkan UU Cipta Kerja.
Namun bagi karyawan, hal tersebut berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesejahteraan mereka dalam jangka panjang.
Baca juga: Magdalene Primer: Setelah UU Cipta Kerja Disahkan
Karyawan Kontrak Semakin Rentan
Setidaknya, ada tiga dampak buruk yang akan karyawan hadapi dengan adanya peraturan baru ini.
- Ketidakpastian terhadap Jenjang Karier Pekerja Meningkat
Pola hubungan kerja berbasis kontrak didasari oleh perjanjian terkait lingkup kerja dan periode kerja yang telah disepakati antara perusahaan dan pekerja. Semakin lama periode kontrak kerja, selama itu pula pekerja hanya akan melakukan pekerjaan yang telah disepakati dan tidak ada kenaikan jenjang karier pada pekerjaan yang sedang dia lakukan.
Pekerja kontrak profesional dengan keahlian yang tinggi mungkin masih memiliki nilai tawar lebih untuk bisa mencari pekerjaan lain yang dapat memberikan insentif lebih banyak ketika kontrak kerjanya habis.
Namun, jika pekerja kontraknya adalah pekerja dengan keahlian rendah, maka nilai tawarnya juga akan rendah untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang secara karier lebih baik dari pekerjaan sebelumnya.
- Kerentanan pekerja meluas
Ini karena aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam UU Cipta Kerja berlaku untuk pekerja-pekerja secara umum dari berbagai macam sektor dan tidak lagi berdasarkan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu seperti pada UU Ketenagakerjaan Pasal 59. Artinya, hal ini juga berdampak pada pekerja pada sektor formal dan informal
Per 2019 saja, jumlah pekerja sektor formal mencapai sekitar 55,2 juta orang dan pekerja sektor informal mencapai sekitar 74 juta orang. Dari jumlah pekerja sektor formal, pekerja kontrak atau outsourcing mencapai 70 sampai 80 persennya.
Baca juga: 4 Dampak UU Cipta Kerja dan PP Turunannya Bagi Buruh Perempuan
- Risiko Tidak Mendapat Pesangon
Ketika sistem tenaga kerja di Indonesia belum bisa memberikan perlindungan kehilangan pekerjaan yang penuh, aturan baru tersebut justru berpotensi menimbulkan kerugian bagi pekerja kontrak.
Ketika kontrak kerja mereka tidak lagi diperpanjang, maka pekerja kontrak tidak berhak mendapatkan pesangon.
Pemerintah Harus Perkuat Perlindungan Sosial
Jika ketidakpastian yang dihadapi oleh para pekerja meningkat dalam proses pemulihan ekonomi ini, pemerintah harus memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja terlebih dahulu.
Perlindungan sosial seperti jaminan kehilangan pekerjaan dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat mengurangi risiko kerentanan yang dihadapi oleh pekerja.
Melalui jaminan kehilangan pekerjaan ini, pekerja kontrak masih dapat memiliki sumber pemasukan pada periode ketika kontrak kerjanya berakhir (dan kontrak kerja tidak diperpanjang perusahaan) sampai mereka mendapatkan pekerjaan kembali.
Oleh sebab itu, program jaminan kehilangan pekerjaan ini harus secara matang dan cepat untuk diselesaikan.
Bila peraturan turunan UU Cipta Kerja telah diberlakukan tetapi program jaminan kehilangan pekerjaannya belum matang dan selesai, ini akan berpotensi meningkatkan kerentanan pekerja.
Jangan sampai, ketidakpastian ini hanya berdampak positif bagi pemulihan ekonomi perusahaan, tetapi justru mengancam kesejahteraan pekerja.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.