Perda Keagamaan Fasilitasi Aturan Sekolah yang Ancam Hak Pelajar Minoritas
Aturan sekolah yang mewajibkan siswi non-Muslim berjilbab atau kompetensi baca tulis Al-Qur’an di beberapa daerah muncul akibat adanya perda keagamaan yang berlaku.
Pada akhir bulan lalu, beredar berita mengenai aturan mewajibkan pemakaian jilbab bagi siswi non-Muslim di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Padang, Sumatra Barat. Berita tersebut mendatangkan pro-kontra di masyarakat.
Dalam kasus tersebut, tata tertib kewajiban berjilbab berlandaskan pada peraturan daerah (perda) bernuansa keagamaan, yakni instruksi walikota pada tahun 2005 yang mewajibkan penggunaan jilbab untuk pelajar di Kota Padang.
Pemerintah sendiri sudah merespons kasus tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama yang melarang pengaturan atau pembatasan paksa atribut keagamaan di sekolah negeri.
Namun, aturan baru tersebut belum menutup kemungkinan bagi sekolah mengatur aspek keagamaan lain. Misalnya, mewajibkan kompetensi baca tulis kitab suci atau keterlibatan pelajar dalam program pendidikan keagamaan di sekolah.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bahkan sejak tahun 2008 gencar memperingatkan tentang adanya berbagai perda lain yang berpotensi mengancam pelajar minoritas.
Senada dengan ELSAM, saya berargumen bahwa keberadaan perda yang bernuansa agama justru berdampak negatif di lingkungan sekolah. Penerbitan aturan berdasarkan perda keagamaan yang memaksakan atribut maupun program pendidikan keagamaan tertentu rentan mengancam hak kebebasan beragama terutama untuk pelajar yang memeluk agama minoritas.
Mengapa muncul perda keagamaan yang mengatur kegiatan sekolah?
Sebagai salah satu capaian penting Reformasi 1998, otonomi daerah memberikan ruang yang luas bagi daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri sesuai kondisi lokal. Namun, perubahan drastis dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah ini juga memiliki sisi lain: Memberikan ruang bagi berbagai gerakan agama yang sebelumnya ditekan untuk berperan besar mempengaruhi politik dan pembuatan kebijakan daerah.
Munculnya berbagai kelompok Islam konservatif, misalnya, mendorong penerapan hukum Islam lewat produk hukum. Salah satunya melalui peraturan daerah (perda) dengan beragam bentuk.
Baca juga: Aturan Jilbab di Sekolah: Antara Pilihan Keimanan atau Aturan Positif
Sementara perda dipakai di daerah tertentu untuk mewajibkan siswi untuk memakai jilbab, ada pula aturan sekolah yang berlaku sebaliknya. Pada tahun 2019 sempat muncul larangan menggunakan jilbab pada sebuah SD di Manokwari, Papua bagi pelajar perempuan Muslim.
Di luar kelompok konservatif, hasil riset dari peneliti politik Inggris, Michael Buehler juga menemukan banyak aktor politik lokal dari partai nasionalis menggunakan perda keagamaan sebagai upaya memperluas dukungan di luar basis pendukungnya.
Banyaknya perda keagamaan ini mengatur berbagai ranah kehidupan termasuk konsumsi alkohol, perjudian, prostitusi, pakaian, kemampuan baca tulis kitab suci – tidak terkecuali di lingkup sekolah.
Perda bernuansa agama yang berdampak khusus pada lembaga pendidikan biasanya mengatur pakaian yang bernuansa Islam seperti jilbab atau standar berbusana Muslim, kompetensi keagamaan seperti membaca Al-Qur’an, atau penyelenggaraan program pendidikan yang bernuansa Islami di berbagai jenjang.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, studi dari beberapa peneliti politik Islam seperti Robin Bush, Minako Sakai, dan Amelia Fauzia menunjukkan mengidentifikasi beberapa alasan munculnya perda keagamaan yang mengatur sekolah. Mereka menemukan bahwa perda tersebut menjadi upaya untuk merespons banyaknya kasus korupsi, kemiskinan, kriminalitas, dan menurunnya “standar moral” di beberapa daerah.
Para aktor politik lokal akhirnya mendukung pembuatan perda yang mengatur tentang pemakaian busana Muslim dan kecakapan membaca Al-Qur’an sebagai jawaban untuk menjaga keimanan dan memperbaiki budi pekerti.
Kebebasan beragama pelajar terancam
Berbagai konvensi internasional maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan jaminan kebebasan beragama harus melingkupi menjalankan keyakinan baik di tempat umum atau tertutup, melalui ibadah, penaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Apabila merujuk hal di atas, perda yang bernuansa agama yang tidak diatur secara seksama akan berpotensi membatasi bahkan melanggar kebebasan beragama pelajar.
Regulasi seperti kewajiban kemampuan baca tulis Al-Qur’an sebagai syarat kelulusan siswa dan regulasi mengenai pakaian Muslim – yang dalam praktiknya memberikan sanksi hingga ancaman mengeluarkan siswa dari sekolah – rentan menimbulkan pelanggaran terhadap pemeluk agama minoritas.
Pada tahun 2017, ada seorang pelajar perempuan non-Muslim di Banyuwangi, Jawa Timur yang batal memasuki SMP pilihan pertamanya karena adanya kewajiban menggunakan jilbab bagi seluruh pelajar yang ditetapkan kepala sekolah. Aturan di sekolah itu difasilitasi adanya perda bernuansa keagamaaan di kota tersebut. Akibatnya, pelajar tersebut memilih untuk masuk ke sekolah lain.
Baca juga: Norma Sosial Paksa Siswi Non-Muslim di Bangkinang, Riau, Berhijab
Selain kebijakan dari pemimpin sekolah, guru dan sesama pelajar juga bisa berperan dalam memaksakan penggunaan simbol keagamaan. Sebagai contoh, pada bulan Januari tahun ini, seorang pelajar perempuan di Jawa Tengah diteror temannya sendiri melalui pesan WhatsApp karena tidak berpenampilan atau berwawasan Islami.
Dalam beberapa kasus, perda keagamaan juga bisa semakin mengancam hak berkeyakinan dari pelajar yang menganut aliran kepercayaan. Pemaksaan atribut atau kompetensi baca tulis kitab suci melalui perda keagamaan akan semakin memaksa mereka untuk mengikuti pembelajaran salah satu agama “resmi” lain.
Apa yang harus dilakukan?
Penting sekali bagi aktor politik, baik eksekutif maupun legislatif untuk tidak menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik.
Penguatan masyarakat sipil dan media lokal menjadi salah satu kekuatan penyeimbang untuk memulai proses dialog dan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mengawal berbagai kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di level daerah agar lebih demokratis.
Hal yang juga penting adalah perlunya kolaborasi masyarakat sipil dengan orang tua untuk melakukan advokasi atas kebebasan beragama, terutama dalam mengawasi regulasi di level pemerintah daerah dan sekolah.
Beberapa pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan di level sekolah – selain beberapa isu di atas – adalah pembelajaran bagi siswa dari penganut berbagai aliran kepercayaan untuk mendapatkan hak pengajaran pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya.
Padahal, jaminan bagi mereka sebenarnya sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Masa Esa. Namun, pada level operasional masih terdapat berbagai macam halangan, baik terkait penerimaan sosial bagi pemeluk aliran kepercayaan maupun ketersediaan guru dan buku ajar bagi mereka.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan regulasi di level pemerintah pusat dan daerah yang menjamin penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan hak kebebasan beragama bagi pemeluk agama minoritas dan aliran kepercayaan.
Meskipun merupakan awal yang baik, SKB tiga kementerian yang baru saja terbit hanyalah langkah kecil. Perlu komitmen dari pemerintah melalui peraturan dan kebijakan lain untuk mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.