Norma Sosial Paksa Siswi Non-Muslim di Bangkinang, Riau, Berhijab
Di rata-rata sekolah negeri di Bangkinang, Riau, semua siswi berhijab apa pun agamanya dan tidak ada pelajaran selain Islam di sekolah.
Sambil menggaruk-garuk kepala tanda tak nyaman, “Linda” mengaku bahwa ia sebetulnya risi berhijab ke sekolah. Namun ia tidak dapat menolaknya karena semua siswi mengenakan hijab di sekolahnya, SMK Negeri 1 Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau.
“Walaupun saya Kristen, tetap pakai hijab di sekolah,” ujarnya, saat ditemui Agustus lalu di rumahnya di Bangkinang, kota kecil yang terletak sekitar 60 kilometer dari ibukota Pekanbaru.
Linda mengatakan ia tidak tahu pasti soal peraturan pemakaian hijab di sekolah, karena sudah dari dulu siswi yang beragama non-muslim memakai hijab. Ia sendiri sudah memakainya ke sekolah sejak SMP.
“Makanya saya waktu daftar sekolah di sini sudah pakai hijab, tahunya dari kakak kelas,” ujar Linda.
Ia merasa menjadi pribadi yang berbeda saat di sekolah dan ketika berada di lingkungan rumahnya.
“Cuma saya ikuti saja, mau bagaimana lagi,” katanya.
Di SMA Negeri 1 Bangkinang, semua siswi juga mengenakan hijab, termasuk “Theresia” yang beragama Kristen. Ia mengatakan sudah terbiasa dengan penekanan aturan seperti itu di sekolah.
“Saya sejak SD sampai sekarang memakai hijab di sekolah,” ujarnya pertengahan Agustus lalu. Ia menambahkan bahwa di rata-rata sekolah negeri di Bangkinang dan sekitarnya, semua siswi mengenakan hijab apa pun agamanya.
Baca juga: Konservatisme Agama di Sekolah dan Kampus Negeri Picu Intoleransi
Menurut Theresia, orang tuanya pasrah dengan situasi di sekolah dan mereka mengatakan bahwa memakai hijab merupakan menghargai mayoritas di daerahnya.
“Jadi kalau misalnya ada kerja kelompok di luar sekolah, saya tetap pakai hijab. Karena menghargai itu tadi,” ujarnya.
Tak ada pelajaran agama
Selain “kewajiban” berhijab, para murid non-muslim juga tidak mendapatkan pelajaran agama di sekolah. Padahal Pasal 12 (1) butir a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
“Dinda”, siswi SMAN 1 Bangkinang, mengatakan di sekolahnya hanya ada guru agama Islam, jadi ia dan siswa Kristen lainnya belajar dan mendapatkan nilai agama dari gereja. Menurut Dinda, selama proses pelajaran agama di sekolah, mereka hanya diam saja di kelas. Satu kelas rata-rata hanya dua atau tiga orang yang beragama selain Islam, ujarnya.
“Harapan saya, di sekolah juga ada pelajaran agama Kristen,” katanya.
“Rosie” dari SMK 1 Bangkinang juga mengatakan tidak ada pelajaran agama Kristen di sekolah. Katanya, nilai diambil dari sikap sehari-hari dan ibadah di gereja masing-masing.
“Kami ada buku dari gereja, jadi pihak gereja tinggal kasih nilai saja yang kemudian nilai itu disetor ke sekolah,” ujarnya.
Baca juga: Refleksi Menyekolahkan Anak di SD Berbasis Islam
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Bangkinang, Hendra Yunal menolak diwawancarai, dan mengatakan sama sekali tidak mengetahui permasalahannya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Bangkinang, Djunaidi mengatakan, sekolah sama sekali tidak membuat kebijakan mengenai pemakaian hijab bagi siswi non-muslim. Ia berkata, siswi hanya mengikuti norma sosial yang ada di SMK Negeri 1 Bangkinang.
“Sesuai adat di sini, jadi siswi di sini mengikuti itu. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” ujarnya saat diwawancarai Senin (26/8).
Mengenai pelajaran agama selain Islam, Djunaidi mengatakan jumlah pelajar non-muslim yang sedikit menyebabkan tak adanya guru agama sehingga pihak sekolah bekerja sama dengan gereja pelajar masing-masing.
“Volumenya kurang, paling tiap kelas cuma ada satu murid yang non-Islam,” tambahnya.
Artikel ini ditulis oleh peraih program fellowship liputan yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), bekerja sama dengan Magdalene.