Opini Safe Space

Jika Surga di Kaki Suami yang Suka KDRT, Biarlah Aku Masuk Neraka Saja

Atas nama ketaatan pada suami, kita menutup mata pada kasus KDRT perempuan. Faktanya, setiap darah yang tumpah dan nyawa yang melayang, kita yang diam ikut bertanggung jawab.

Avatar
  • January 12, 2024
  • 5 min read
  • 2676 Views
Jika Surga di Kaki Suami yang Suka KDRT, Biarlah Aku Masuk Neraka Saja

Feminis Belanda Mary Wollstonecraft pernah bilang di bukunya “A Vindication of the Rights of Woman” (1792): “All the sacred rights of humanity are violated by insisting on blind obedience.” Bahwa semua hak suci umat manusia telah dilanggar dengan memaksakan ketaatan yang membabi buta (kefanatikan).

Nyatanya tiga ratus tahun berselang, ucapannya terasa masih sangat relevan. Hari pertama dan kedua di 2024 dibuka dengan kasus kekerasan terhadap perempuan lagi. Aku memang tak pernah menaruh harap jika hal demikian bisa hempas dari muka Bumi. Namun setidaknya, berilah waktu untuk sejenak mengambil napas dari rentetan kasus serupa di tahun sebelumnya.

 

 

Seolah tak memberi jeda, semalam aku tak kuasa menahan sesak, mendengar anak korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) meminta pertolongan. Sebab pihak keluarga, bahkan orang-orang yang dianggap mampu dan seharusnya memang memberi perlindungan terhadap korban, malah berbalik menyerang fisik maupun mental korban dan anak-anaknya.

Apa gunanya pertalian darah jika tak mampu merasakan pedih saudara kandung sendiri, yang babak belur karena suami berkali-kali memberi tanda lebam di tubuhnya? Demi menjaga nama baik keluarga, demi menghindari perceraian sebab dibenci oleh Tuhan, lantas biarkan saja korban tersiksa. Toh ia akan meraih predikat istri yang taat (menjaga aib suami) bukan?

Iming-iming pahala yang besar, bahkan surga telah menanti bagi perempuan istri yang taat tanpa tapi (rela dipukuli/bertaruh nyawa demi menjaga nama baik suaminya). Demikian adanya, isi dari tausiyah yang kerap dibeberkan oleh sebagian besar juru dakwah laki-laki maupun perempuan ketika membahas perihal rumah tangga dalam Islam.

Baca juga: Nyaring dan Sunyi KDRT: Suramnya Budaya Kepemilikan dalam Keluarga

Netizen dan Komentar Denial

Masih dalam masa-masa kalut sebab ketidakmampuanku untuk menolong korban, tiba-tiba muncul berita sedih lainnya. Isinya tentang anak perempuan berusia 7 tahun di Kalimantan Barat yang menjadi korban kekerasan seksual hingga mengalami penyakit kelamin akibat perkosaan berulang. Tak cuma dari ayah kandung sendiri, kakek, bahkan tetangganya pun turut serta dalam perbuatan biadab itu. Pedih rasanya.

Sementara, di kolom komentar muncul satu cuitan yang sontak kuamini berbunyi, “Memang sudah tidak ada lagi ruang aman untuk perempuan”. Nahasnya, komentar ini malah diserang oleh mereka yang terus menyangkal fakta bahwa keluarga sendiri, sudah tak mampu menjadi ruang aman bagi perempuan. Entah itu menjadi korban kekerasan fisik maupun mental. Perempuan (istri maupun anak) adalah kelompok yang paling rentan di dalam keluarga.

Polanya selalu sama. Kalimat yang bagiku sudah terlampau memuakkan itu, berulang-ulang dijadikan acuan, “Karena di keluarga sendiri, aku sudah merasa aman kok, enggak usah lebay deh.”

Hanya karena sesuatu tidak terjadi kepada kita, bukan berarti hal tersebut tidak ada. Hanya karena kita tidak berada pada posisi di mana sudah jutaan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan ini. Bukan berarti perasaan korban tidak valid.

Adapun komentar-komentar bernada serupa, aku temukan di salah satu laman berita daring Kumparan yang dirilis pada 2 Januari 2024. Sialnya, sampai berita itu dimunculkan, pelaku ayah maupun tetangga masih buron. Hanya kakek korban yang baru tertangkap.

Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, Bantu Korban KDRT

Penyangkalan dan Ketaatan Buta Telah Membunuh Korban

Tak dimungkiri, penyangkalan demi penyangkalan yang muncul bak petir yang menyambar itu, nyatanya membuat luka para korban bertambah parah. Bagaimana tidak, rasa sakit yang tak tervalidasi bahkan disangkal adalah hantaman keras yang lagi-lagi harus ditelan oleh mereka.

Korban KDRT yang kemudian melaporkan kejadian yang ia alami kepada keluarga kandungnya, dengan harapan akan mendapat pertolongan malahan menuai cacian. Tak ayal, ini membuat mental korban semakin tak karuan. Dikecewakan oleh fakta bahwa mengadukan kekerasan yang ia alami, hanya membuat ia dianggap sebagai istri yang tak pandai menjaga aib suami. Yang disesalkan adalah ketika korban mulai menormalisasi atau mewajarkan kekerasan yang ia terima dan ini merupakan imbas dari terus-menerusnya ia mendapatkan penyangkalan dari orang-orang terdekatnya.

Bukankah sudah banyak korban yang mengalami hal demikian? Merasa pantas untuk dihina pasangannya, layak dipukul dan diperlakukan tidak manusiawi hanya karena kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin ia perbuat, bahkan ketika ia tak melakukan kesalahan apa pun.

Hanya karena sesuatu tidak terjadi kepada kita, bukan berarti hal tersebut tidak ada. Hanya karena kita tidak berada pada posisi di mana sudah jutaan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan ini. Bukan berarti perasaan korban tidak valid.

Alhasil, diam menjadi pilihan terburuk yang bisa dilakukan oleh sebagian besar korban yang memutuskan untuk tidak melaporkan apa yang ia alami. Disadari atau tidak, penyangkalan secara langsung maupun tidak langsung melalui komentar-komentar jahat itu, telah membungkam keberanian korban untuk meminta pertolongan, untuk mencari ruang aman, dan menyelamatkan dirinya.

Sontak saja, memori ingatan saya menarik pada kejadian beberapa tahun silam di mana saya berada di lingkaran pengajian khusus perempuan yang sampai kini doktrin agama yang sempat kutelan itu nyatanya masih laris dan kebanyakan terlontar dari mulut perempuan. Terlebih ketika berurusan dengan permasalahan rumah tangga. Adapun bunyi kalimatnya yaitu, “diam adalah emas”. Sabar yang pasif (tanpa upaya). Belum lagi dibumbui dengan “dipaksa” untuk bersyukur atas karunia-karunia yang lain.

Baca juga: Agar Tak Ada Lagi KDRT dan Pembunuhan Anak Jagakarsa

Tak perlu berfokus pada yang pahitnya dari rumah tangga, fokus saja pada hal-hal baik itu. Sehingga, tak apa jika dibuat memar, tak apa jika dimaki, direndahkan, yang penting tak bercerai, yang penting masih dinafkahi. Sebab, Tuhan sangat membenci perceraian. Lalu hilang kemanusiaan, nyawa pun melayang atas nama ketaatan buta.

Gegap gempita kembang api yang berdentum kencang di malam tahun baru, nyatanya kuamini sebagai teriakan para perempuan korban kekerasan yang tengah berteriak memohon pertolongan. Kuamini sebagai isak tangis mereka yang bercampur kemarahan sebab terus dibungkam dan tak didengar.

Jika surga harus dibayar dengan badan lebam dan trauma akibat KDRT suami, maka aku tak keberatan kehilangannya. Toh, ada pintu surga lain yang bisa dimasuki.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Ainun Jamilah