Bagaimana Jika Tak Ada Surga di Telapak Kakiku?
*Peringatan pemicu: Cerita tentang depresi pasca-persalinan dan masalah kesehatan mental lainnya.
Sejak kecil aku diajarkan surga ada di telapak kaki ibu. Namun sekarang, setelah menjadi ibu dua anak, aku bertanya-tanya: Bagaimana jika telapak kakiku justru tak membawa siapa-siapa ke surga? Bagaimana jika tanpa sadar, aku justru mewariskan luka yang dulu kuterima dari ibu?
Usai melahirkan anak pertama, aku mengalami depresi pascapersalinan. Puncaknya terjadi saat aku berdiri di balkon lantai 21 apartemen kami dan mencoba meyakinkan diri untuk tidak melompat. Saat itu, aku hanya bisa menangis dalam diam, tak ada yang tahu.
Malam lainnya, suami menemukanku yang tengah menangis di lantai kamar, sedangkan bayi kami juga menangis dari ranjang. Anehnya di siang hari, aku bisa bekerja dan berfungsi seperti biasa. Sementara di malam hari, aku merasa kosong dan tak sanggup hidup.
Ketika mengantar anakku ke daycare, aku sering menahan tangis di lift. Di dalam mobil, aku duduk diam karena tidak sanggup turun. Setiap kali meninggalkan anakku yang menangis, aku merasa seperti seorang pengkhianat. Namun aku tidak bisa tidak bekerja. Kami tinggal di Jakarta bertiga saja. Aku, suamiku, dan anak kami. Tidak ada bantuan. Tidak ada ruang.
Aku sendiri selalu bangun Subuh untuk memasak, bukan karena ada yang menyuruh, tapi karena aku pikir itulah definisi “ibu yang baik”. Aku menolak perjalanan dinas karena merasa anakku membutuhkanku, tapi di sisi lain merasa bersalah karena tidak bisa memberikan lebih.
Baca juga: Hari Ibu, Anak Perempuan, dan Perjuangan Ibu Tunggal
Ketika Ibu Jadi Sumber Trauma
Mempunyai anak ternyata memantik traumaku sebagai anak. Semua ucapan yang dulu dilemparkan ibuku ke tubuhku, kini bergema kembali, bahkan lebih nyaring dari yang pernah kuduga.
Aku ingat betul saat aku masih menyusui dan tubuhku lengket karena keringat, ibuku berkata dengan nada yang membuatku ciut, “Kamu gendut dan bau ASI.”
Kata-kata itu bukan sekadar teguran tapi pengingat bahwa tubuhku tak pernah cukup baik dan keberadaanku mengganggu.
Sejak saat itu, aku mulai belajar membenci tubuh sendiri. Aku malu pada lemak yang menggantung di lengan dan perutku. Aku belajar tubuh perempuan yang baru saja melahirkan bukanlah sesuatu yang patut dirayakan, tapi disembunyikan. Di depan kaca, aku sering mencubit perutku sambil bertanya dalam hati, “Kenapa aku menjijikkan?”—kalimat yang bahkan tidak pantas keluar dari seorang ibu kepada anaknya, apalagi dari aku kepada diriku sendiri.
Kini, sebagai ibu, aku merasa seperti memanggul dua peran: Membesarkan anak-anakku, dan pada saat yang sama, membesarkan diriku sendiri—anak kecil yang dulu tak pernah mendapat ruang untuk merasa cukup.
Setelah aku melahirkan, tubuh tentu berubah. Akan tetapi yang lebih mengejutkan adalah betapa cepatnya trauma itu menyusup kembali. Kala melihat perut yang bergelambir dan dada yang membengkak, bukan cuma tidak nyaman, tapi juga merasa rusak. Setiap stretch mark terasa seperti bukti bahwa aku gagal menjaga tubuhku. Padahal, tubuh inilah yang baru saja melahirkan kehidupan.
Yang lebih menyakitkan adalah suara ibuku masih sering muncul dalam kepalaku. Kadang saat aku hendak memeluk anakku, aku terdiam karena takut. Takut aku akan mengulang siklus yang sama: Mencintai dengan cara yang menyakiti. Aku takut kelelahanku akan berubah menjadi kemarahan. Aku takut aku akan mengulang kata-kata yang dulu menghancurkanku, hanya karena aku tidak tahu cara lain.
Aku tahu ibuku juga lahir dari luka. Mungkin ia melakukan yang terbaik yang ia bisa. Namun pemahaman itu tidak serta-merta menghapus jejak yang ia tinggalkan. Ia tidak pernah mengajarkan bagaimana cara mencintai tubuh sendiri, apalagi menghadapi kesedihan. Ia hanya menunjukkan cara menekan, menahan, dan memaki diri sendiri diam-diam.
Kini, sebagai ibu, aku merasa seperti memanggul dua peran: Membesarkan anak-anakku, dan pada saat yang sama, membesarkan diriku sendiri—anak kecil yang dulu tak pernah mendapat ruang untuk merasa cukup.
Aku tidak bisa berpura-pura kuat, apalagi saat semua luka itu keluar bersamaan dengan peran baru sebagai ibu. Di situlah aku menyadari, yang paling berbahaya bukan hanya luka yang ditinggalkan oleh orang tua, tapi luka yang tak disadari sedang diwariskan kembali.
Baca juga: Ibu Selalu Tidak Sempurna, Sama Seperti Ayah
Belajar Minta Maaf dan Memaafkan Diri
Aku mulai terapi. Tidak, bukan karena aku merasa kuat atau tahu caranya sembuh. Namun karena aku tidak ingin anak-anakku tumbuh melihat ibunya hancur dan menyimpan luka yang tak bisa mereka pahami. Aku ingin putuskan rantai itu. Aku ingin berhenti di aku.
Kadang aku menangis di kamar mandi kantor, sela rapat daring, atau dalam kereta saat perjalanan pulang. Semua rasa bersalah, lelah, dan kesepian menumpuk. Namun yang paling menyakitkan adalah ketakutan: Bagaimana jika anakku mengingatku sebagai ibu yang selalu menangis? Ibu yang tidak pernah bermain? Ibu yang tidak bisa hadir utuh?
Anakku yang besar baru tiga tahun, yang kecil, satu tahun. Apakah nanti mereka bisa tahu kalau aku menyayangi mereka? Apakah mereka bisa terima jika tahu ibunya mengidap gangguan jiwa?
Aku tidak ingin mereka melihatku sebagai korban. Namun aku juga tidak ingin mereka tumbuh tanpa tahu bahwa ibunya pernah berjuang untuk tetap hidup.
Aku tidak peduli surga mana yang kutuju. Yang ada di kaki ibuku, atau kakiku sendiri. Aku juga tidak peduli apakah akan masuk surga atau tidak. Yang kupikirkan sekarang hanyalah bagaimana aku bisa meminta maaf pada anak-anakku.
Baca juga: Kerentanan Ibu Depresi: Masalah Serius Selain Angka Kematian Ibu dan Bayi
Maaf karena sudah melahirkan mereka lewat rahimku. Maaf karena sudah menawarkan dunia yang ricuh. Maaf karena belum bisa menjadi seseorang yang ideal.
Namun aku mencoba setiap hari untuk menjadi ibu yang lebih baik. Aku belajar untuk mengenali lukaku, agar aku bisa berhenti mewariskannya. Aku belajar memaafkan diriku, agar anak-anakku kelak tahu, cinta bukan tentang kesempurnaan tapi keberanian untuk mengaku salah dan mulai lagi dari awal.
Jika nanti mereka membaca ini, semoga yang tersisa bukan hanya air mata. Namun juga maaf, dan cinta yang pelan-pelan kupelajari untuk berikan.
Nadia Safira adalah PNS yang sudah beberapa kali mutasi pindah kota antarpulau, juga seorang ibu dan istri yang didiagnosis depresi, gangguan cemas, dan borderline personality disorder.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















