Mempertanyakan Kesiapan Polisi Tangani Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia
Idealnya, polisi menjadi garda terdepan penegakan hukum yang membantu korban kekerasan seksual mendapatkan hak-haknya. Namun, realitasnya masih kerap jauh dari harapan ini.
Baru-baru ini, sebuah berita tentang pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang dirilis Project Multatuli viral di media sosial. Reportase ini menggambarkan perjalanan seorang ibu yang berupaya untuk mencari keadilan bagi ketiga anaknya dengan melaporkan kasus tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kepolisian Resor Luwu Timur hingga Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan bahkan melalui proses yang sangat menyedihkan.
Kisah ini kemudian memunculkan berbagai respons dari masyarakat yang diikuti dengan ramainya tagar #PercumaLaporPolisi di berbagai platform media sosial. Kesaksian-kesaksian yang muncul dengan tagar tersebut menggambarkan ketidakpuasan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan masyarakat ketika berurusan dengan polisi dalam berbagai perkara termasuk kasus kekerasan seksual.
(Tidak) Melaporkan Kekerasan Seksual
Ramainya #PercumaLaporPolisi menunjukkan ada anggapan di masyarakat bahwa urusan melaporkan masalah hukum kepada lembaga negara bukan hal yang mudah dilakukan.
Temuan penelitian mengonfirmasi hal ini. Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa 38 persen masyarakat Indonesia yang mengalami masalah hukum memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah hukumnya. Mereka khawatir dan takut jika melapor, masalah yang mereka hadapi akan menjadi lebih rumit.
Menariknya, sebagian besar masyarakat (60,5 persen) yang mau melaporkan masalah hukumnya, justru memilih untuk melapor ke lembaga non-negara atau ke mekanisme informal seperti ke keluarga atau ke pengurus Rukun Tetangga, Rukun Warga, atau desa, kelurahan setempat. Studi tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar (52 persen) anggota masyarakat yang enggan melakukan apa pun terhadap masalah hukumnya tersebut adalah perempuan.
Temuan ini dikuatkan oleh hasil Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender dari International NGO Forum Indonesia (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada 2020 yang menunjukkan bahwa 57,3 persen responden dengan pengalaman kekerasan seksual — yang mayoritas adalah perempuan — memutuskan untuk tidak melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialami. Alasan mereka beragam, mulai dari takut, malu, hingga tidak tahu harus melapor ke mana.
Sebagian besar responden (57 persen) yang mengalami kekerasan seksual mengatakan pada akhirnya tidak memperoleh penyelesaian dalam masalah yang mereka alami. Jika pun ada penyelesaian, hasil yang didapat tidak mengutamakan kepentingan terbaik korban. Contohnya, korban masih harus membayar sejumlah uang hingga dinikahkan dengan pelaku kekerasan seksual.
Di sisi lain, ada hambatan dari sisi penegak hukum. Mayoritas responden menganggap penanganan aparat penegak hukum terhadap perkara kekerasan seksual itu cenderung responsif. Namun, responden yang menjawab demikian adalah mereka belum pernah mengalami kekerasan seksual. Sebaliknya, mayoritas responden yang beranggapan aparat tidak responsif adalah mereka pernah mengalami kekerasan seksual.
Polisi di Garda Terdepan
Di sisi lain, riset yang sama menunjukkan bahwa 43,8 persen responden yang tahu harus melapor ke mana ketika mengalami kekerasan seksual akhirnya lebih memilih untuk melapor ke polisi apabila mereka mengalami kekerasan seksual.
Bahkan, temuan Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 juga menunjukkan bahwa secara umum (72,1 persen) masyarakat percaya kepada kepolisian untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dialami.
Ini menunjukkan bahwa di satu sisi, ada harapan dan ekspektasi besar dari masyarakat terhadap kepolisian. Namun, di sisi lain bisa saja masyarakat sebetulnya tidak punya pilihan lain untuk melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialaminya.
Kantor-kantor polisi tersebar hingga level administratif paling bawah untuk memudahkan masyarakat untuk membuat pelaporan masalah hukum. Karenanya, dapat dikatakan bahwa kepolisian merupakan garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual.
Sayangnya, mekanisme pelaporan yang telah disediakan oleh kepolisian untuk penanganan kekerasan seksual belum didukung adanya perspektif perlindungan korban yang baik dari beberapa anggota polisi. Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali (reviktimisasi) serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empati, hingga melecehkan.
Baca juga: Sistem Hukum Tidak Berkeadilan Gender Langgengkan Kekerasan terhadap Perempuan
Selain itu, tidak hanya polisi, aparat penegak hukum secara umum cenderung abai terhadap kondisi psikologis korban yang menyebabkan korban kekerasan seksual harus menghadapi proses hukum yang panjang dengan perilaku aparat yang tidak empatik. Wajar bila para korban memutuskan untuk mengandalkan mekanisme informal atau pihak-pihak di luar negara untuk penyelesaian permasalahan hukumnya.
Maka menjadi pertanyaan, apakah polisi dapat benar-benar siap menjadi garda terdepan pelaporan perkara kekerasan seksual?
Menyiapkan Polisi
Ketika terdapat korban kekerasan seksual yang melapor, petugas polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya. Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan.
Ini bukan sesuatu yang baru; semua poin ini telah tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yang dikhususkan untuk perempuan dan anak.
Selain itu, langkah-langkah untuk memastikan perlindungan korban perempuan dan anak juga telah ditetapkan dalam berbagai pengaturan seperti Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2014 dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Polisi sebagai aparat hukum negara perlu menelaah kembali dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan korban, perempuan, dan anak sesuai berbagai UU tersebut ketika menangani pelaporan perkara kekerasan seksual.
Selain itu, dalam mekanisme pelaporan kekerasan seksual, secara lebih khusus, polisi perlu juga memperhatikan kondisi fisik, psikis maupun kebutuhan pemulihan korban. Ini dapat dilakukan dengan memastikan adanya penasihat/pendamping hukum, pendamping psikologis hingga pendamping sosial bagi korban.
Untuk memahami kondisi-kondisi tersebut, polisi dapat meminta rekomendasi atau mendorong adanya peran dari pemangku kepentingan lain seperti psikolog, dokter, pekerja sosial, maupun pendamping di penyedia layanan setempat.
Hal-hal ini dapat berimplikasi pada proses penyelesaian perkara secara keseluruhan. Langkah-langkah ini dapat dan telah dilakukan oleh aparat penegak hukum lain sehingga hal ini juga sangat mungkin dilakukan oleh polisi.
Berbagai tindakan polisi yang tidak empatik, diskrimatif, dan tidak melindungi korban masih kerap dilaporkan. Maka peningkatan kapasitas secara mendalam dan komprehensif tentang penanganan perkara yang melibatkan perempuan dan anak masih perlu dan harus terus dilakukan baik kepada calon anggota polisi maupun polisi yang telah bertugas.
Baca juga: Berbenah Institusi Kepolisian: Mulai dari Mana?
Yang juga tidak kalah penting adalah penguatan di sektor non-negara, mengingat terdapat kecenderungan yang tinggi dari masyarakat dalam melaporkan masalah hukum ke pihak-pihak di luar negara. Penguatan tokoh atau aktor yang dipercaya masyarakat dapat diberikan untuk menerima, merespons atau bahkan meneruskan pelaporan masalah hukum. Dalam perkara kekerasan seksual di mana korban yang takut dan malu untuk melapor, peran pihak-pihak yang dipercaya inilah yang dapat mendorong akses terhadap keadilan yang lebih luas.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.