Polisi Pemerkosa, Kepada Siapa Lagi Perempuan Cari Pertolongan?
Pemerkosaan oleh polisi di Maluku Utara menjadi bukti bahwa negara tidak dapat dipercaya untuk melindungi perempuan.
Peringatan pemicu: Gambaran kekerasan seksual
Banyak perempuan penyintas pemerkosaan memilih diam tak melaporkan kejahatan yang menimpanya. Sebabnya banyak, dari takut distigmatisasi, dipermalukan, disalahkan kedua kali, hingga diintimidasi. Sebab terakhir ini paling mungkin terjadi dalam kekerasan yang dilakukan oleh negara atau siapa saja yang punya kuasa, termasuk aparat penegak hukum.
Contoh konkretnya terjadi pekan lalu di Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara. Media lokal Malut Post melaporkan, perempuan “B”, 16, yang tengah berkunjung ke Sidangoli bersama teman perempuannya, ditangkap polisi dengan mobil patroli menuju markas polisi setempat, sekitar pukul 01.00 dini hari. Meskipun berulang kali mengaku sudah mengantongi izin dari orang tua masing-masing, polisi menuduh mereka kabur dengan kapal feri hingga mesti menjalani pemeriksaan berjam-jam.
Seorang polisi yang—entah kenapa tak disebutkan identitasnya itu—mengunci pintu ruangan dan memperkosa B di dalamnya. Beberapa saat kemudian, B keluar dari ruangan, menghampiri temannya yang diperiksa di ruangan terpisah, sambil menangis. Ia menceritakan semua kejadian detail pada temannya, termasuk perkataan polisi yang mengancam akan menjebloskan B ke penjara jika menolak diperkosa. Kedua perempuan ini juga dimaki-maki dengan kata kasar dan ditahan hingga pagi hari oleh polisi tersebut.
Pemerkosaan yang dilakukan polisi bukan kali pertama terjadi. Pada 2013, sembilan polisi diduga memperkosa siswa kelas 2 SMA di Gorontalo hingga trauma berat. Tujuh tahun berselang, anggota Polisi Lalu Lintas (Polantas) Polresta Pontianak, Kalimantan Barat memperkosa perempuan berusia 15 tahun di sebuah hotel. Masih di 2020, siswi SMP di Tasik Selatan juga diperkosa beramai-ramai oleh polisi dan beberapa tetangganya selama setahun penuh.
Baca juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia
Polisi Gagal Jadi Pintu Pertama Perlindungan Penyintas
Perempuan penyintas kekerasan tak hanya sial karena berurusan dengan polisi yang miskin perspektif gender. Tak cukup dihujani pertanyaan merendahkan seperti, “Apakah kamu merasa nyaman saat diperkosa?” hingga “Kenapa perempuan keluar malam”, tapi kini mereka mesti menghadapi trauma karena diperkosa oleh polisi sendiri. Tak heran jika kemudian banyak yang enggan melaporkan kasus kekerasan seksual ke polisi.
Survei daring yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia, Magdalene, dan Change.org pada 2016 menunjukkan, 93 persen penyintas kasus pemerkosaan tidak melaporkan kasus mereka ke kepolisian karena terlanjur pesimis. Hasil survei juga mencatat, hanya 1 persen dari 25.214 responden yang mengaku kasusnya dituntaskan secara hukum. Sementara lainnya berujar, kasus mereka dipetieskan, pelaku dibebaskan, dan sejumlah kondisi yang dinilai tak memihak penyintas.
Siti Mazumah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), mengatakan bahwa pihak kepolisian mesti diawasi dan dievaluasi ketat mengingat institusi ini menjadi lapis pertama perlindungan kekerasan perempuan.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 8 ayat (4) antara lain disebutkan, tugas polisi adalah mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Di Pasal 8 ayat (1) UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 pun ditegaskan, polisi berkewajiban untuk mengayomi, melindungi, melayani, dan menegakkan hukum.
“Kalau polisi saja menjadi pelaku perkosaan, apa yang bisa kita harapkan dari negara ini?” ujar Siti.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan, pemerkosaan anak di bawah umur itu menampar keras institusi kepolisian yang idealnya jadi alat pelindung warga.
“Pejabat dan aparat negara seharusnya melindungi korban. Membiarkan kekerasan seksual saja tidak boleh, apalagi melakukannya, sehingga korban semakin mengalami penderitaan yang luar biasa,” ujarnya pada Magdalene, Rabu (23/6).
Alimatul mengatakan, rendahnya perspektif kesetaraan dan keadilan gender di kalangan aparat penegak hukum menjadi salah satu perhatian Komnas Perempuan. Jika perspektif keadilan gender ini tak diinternalisasi dalam pendidikan kepolisian, yang terjadi berikutnya, warga tak akan lagi percaya pada negara, ujarnya.
Baca juga: Perempuan Korban Kekerasan Seksual Sulit Cari Keadilan Hukum
Selain perspektif keadilan gender yang belum jadi arus utama di kepolisian, bentuk penyelesaian kasusnya cenderung tidak berperspektif penyintas, ia menambahkan.
“Kalau dilihat, aparat negara itu harus mendapat hukuman (berat). Apalagi dari yang diberitakan media, ada yang mencoba untuk melakukan ganti rugi, tetapi ganti rugi ini tidak diberikan pada korban, melainkan digunakan sendiri,” jelas Alimatul.
Dalam kasus pemerkosaan B, menurut laporan Malut Post, penyintas ditawarkan uang damai Rp2 juta, namun separuh uang itu diambil oleh polisi yang mengawal kasus pemerkosaan rekannya ini.
Menurut Alimatul, ada tiga kesalahan dalam kasus pemerkosaan B. Pertama, korban adalah perempuan di bawah umur, sehingga hukuman mesti lebih berat, tak tepat jika pasal pencabulan saja yang digunakan.
“Kedua, pelaku adalah aparat penegak hukum. Ketiga, penyintas anak-anak ini harusnya mendapat perlindungan, apalagi dia sedang merantau (dalam perjalanan) ke luar daerah domisilinya,” ujarnya.
Reformasi Kepolisian Mendesak
Hasto Atmojo Suryo, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mengatakan, Kepolisian wajib melakukan reformasi institusi kepolisian termasuk menanamkan pendidikan gender pada anggota-anggotanya.
“Tak hanya lewat pendidikan gender yang baik tapi juga menegakkan reformasi kepolisian lewat proses pidana alih-alih Propam (pembinaan profesi dan pengamanan) semata, yang selama ini kerap terjadi saat mengusut kejahatan polisi.
Maina Rahma dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dalam keterangan resmi yang diterima Magdalene mengatakan, reformasi polisi harus berjalan beriringan dengan penghentian glorifikasi kewenangan polisi oleh media.
Baca juga: Kapolri Diminta Revisi Aturan, Prosedur Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Selain itu, kata Maina, kewenangan kepolisian untuk mengekang kebebasan orang telah dibatasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Penangkapan penyintas B dalam hal ini, hanya dapat dilakukan terhadap tersangka, apabila telah terbit surat perintah penangkapan yang didasari bukti permulaan yang cukup.
“Media tak perlu mengglorifikasi perbuatan anggota kepolisian yang dilakukan tanpa kewenangan, mulai dari melakukan menggerebekan di ruang privat, memberhentikan, dan menanyakan privasi, utamanya terhadap kelompok ,” jelasnya dalam siaran pers tersebut.
Reformasi polisi juga bisa diawali dengan menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor kepolisian, menurut ICJR, karena tempat penahanan ini sering menjadi sarang penyiksaan dan tindakan melanggar hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat. Dalam penjelasan Pasal 22 KUHAP dinyatakan, tempat penahanan di kantor kepolisian hanya dibenarkan ketika tidak ada rumah tahanan (rutan). Sesuai dengan standar hak asasi manusia, tempat penahanan harus dibedakan dari institusi yang melakukan penahanan untuk menjamin adanya pengawasan bertingkat.
“ICJR mendorong Pemerintah dan DPR serta lembaga independen lain, seperti Komnas HAM dan Ombudsman untuk melakukan audit kepada kewenangan besar kepolisian yang minim mekanisme pengawasan. KUHAP harus segera diubah untuk memperkuat pengawasan dan kontrol atas kewenangan polisi. Untuk jangka panjang, penting untuk Pemerintah dan DPR menyisir pasal-pasal karet di Rancangan KUHP yang berpotensi memperbesar kewenangan kepolisian,” ujar Maina.
Kemauan Politik dan Urgensi RUU PKS
Alimatul dari Komnas Perempuan mengatakan perlu ada kemauan politik dari pihak terkait untuk menuntaskan kasus ini secara transparan dan seadil-adilnya.
“Harus ada penindakan jelas dari penegak hukum untuk memberikan sanksi kepada pelaku, meski dia aparat. Jangan sampai karena pelaku juga penegak hukum, maka negara memilih untuk pura-pura tidak tahu. Justru karena pelaku aparat penegak hukum, denda dan sanksi harus bertambah,” ujarnya.
Sementara penegakan hukum dibenahi, LPSK bisa ikut andil dalam menjamin keselamatan dari para penyintas, ujar Hasto. Perlindungan itu juga meliputi rehabilitasi karena korban mengalami penderitaan medis atau psikologis hingga benar-benar pulih. Dalam kasus pemerkosaan B, karena penyintas masih di bawah umur, maka LPSK akan proaktif mendatangi orang tua dan meminta izin untuk memberi perlindungan.
“Dia harus bersedia dilindungi LPSK dan ini statusnya anak kita butuh persetujuan orang tua. Korban juga tidak boleh menerima jika ada upaya perdamaian dari pelaku karena ini kasus hukum yang sangat berat dan dilakukan aparat penegak hukum,” ujar Hasto.
Kasus ini semakin menguatkan urgensi untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), yang dinilai dapat mencegah atau mengurangi kekerasan seksual lewat substansi kebijakan yang telah mencakup aspek pidana, pemulihan, dan upaya penghapusan kekerasan seksual.
RUU PKS juga memperluas cakupan kekerasan seksual meliputi sembilan perilaku yang dikelompokkan sebagai kekerasan seksual, sehingga tak lagi ada alasan untuk tak menindak pelaku. Selain itu, RUU PKS juga mengurai hukum acara pidana yang berkelindan dengan sikap penegak hukum terhadap penyintas. Jadi tak ada lagi cerita, penyintas yang melapor justru direndahkan, disalahkan, atau dilekati beban ganda.
Ilustrasi oleh Karina Tungari