Bahagia Selamanya yang Semu: Perkawinan Anak Tingkatkan Depresi Perempuan
Penundaan satu tahun dalam pernikahan mengurangi kemungkinan perempuan mengalami depresi.
Sekitar 640 juta anak perempuan dan perempuan di dunia saat ini, menurut data UNICEF, diperkirakan menikah pada masa kanak-kanak. Prevalensinya sedikit menurun dengan 1 dari 5 perempuan muda berusia 20-24 tahun menikah saat masih anak-anak, dibandingkan 1 dari 4 sekitar 10 tahun lalu.
Namun, perkawinan anak terus menjadi praktik berbahaya di banyak negara berkembang dan sering dipandang sebagai kebutuhan untuk bertahan hidup. Di banyak komunitas, perkawinan anak dipandang sebagai cara untuk melindungi anak perempuan dan memastikan keamanan finansial mereka, sekaligus sejalan dengan peran dan harapan gender tradisional.
Indonesia memiliki tingkat perkawinan anak yang tinggi di kawasan Asia Pasifik, dan tertinggi kedelapan di dunia. Satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun.
Meskipun efek merugikan dari perkawinan anak pada pendidikan anak perempuan, karier peluang, kesehatan dan keselamatan fisik terdokumentasikan dengan baik, dampak mendalam yang ditimbulkannya terhadap kesehatan emosional dan mental wanita sering diabaikan.
Riset kuantitatif saya di Indonesia menunjukkan bahwa perkawinan anak memiliki dampak sangat negatif pada kesehatan mental perempuan.
Baca juga: Mencegah Pernikahan Anak Tak Cukup dengan Kenaikan Batas Usia Pernikahan
Bahagia Selamanya yang Semu
Pada 2019, pemerintah Indonesia merevisi Undang-Undang Perkawinan, meningkatkan usia minimum bagi anak perempuan untuk menikah hingga 19 tahun – usia yang sama dengan anak laki-laki. Sebelumnya, dengan izin orang tua, anak perempuan diperbolehkan menikah sejak usia 16 tahun.
Tapi masih mungkin untuk menikahkan anak perempuan lebih awal dengan mendapatkan persetujuan dari pengadilan agama atau pejabat setempat, dalam hal ini tanpa batasan usia minimum untuk menikah.
Dengan menggunakan data dari lebih dari 5.000 perempuan Indonesia, saya menemukan bahwa menikah dini – terutama pada usia 18 tahun – menyebabkan tingkat depresi yang lebih tinggi. Saya menemukan bahwa penundaan satu tahun dalam pernikahan mengurangi kemungkinan perempuan mengalami depresi.
Penelitian saya juga menunjukkan bahwa mobilitas pasar kerja yang terbatas dan kesehatan fisik yang buruk merupakan faktor potensial yang mendasari hubungan ini.
Temuan ini menyiratkan bahwa ongkos akibat perkawinan anak diremehkan. Sebab, selain dampak buruk perkawinan anak terhadap kesejahteraan fisik, perkawinan anak juga dapat berdampak signifikan terhadap kesejahteraan emosional anak perempuan.
Hal ini menunjukkan bahwa jika kita mempertimbangkan biaya ekonomi yang besar dari gangguan mental di negara-negara berkembang, manfaat kesejahteraan dari penghentian praktik berbahaya ini di seluruh dunia akan jauh lebih besar daripada perkiraan sebelumnya yang sebesar US$22 miliar (sekitar Rp 325 triliun).
Baca juga: Remaja di 7 Daerah Dorong Kampanye Lawan Perkawinan Anak
Efek Kesehatan Mental
Menikah pada usia muda dapat menjadi pengalaman yang traumatis dan menegangkan bagi anak perempuan. Mereka sering terpisah dari keluarga dan teman-temannya, dan terpaksa tinggal bersama suami dan keluarganya, sehingga meningkatkan risiko isolasi sosial.
Tanggung jawab pernikahan, seperti melahirkan anak dan mengasuh anak, dapat memberikan tekanan fisik dan emosional yang signifikan pada gadis muda yang masih dalam masa pertumbuhan. Penelitian internasional menunjukkan bahwa mereka juga lebih mungkin menjadi korban kekerasan pasangan intim dan hubungan seksual yang dipaksakan.
Menurut penelitian psikologi, terus-menerus terpapar pengalaman buruk dan stres seperti itu dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, menyebabkan gangguan seperti depresi, kecemasan, dan serangan panik.
Diskriminasi Gender
Temuan penelitian saya menjelaskan lebih lanjut tentang fenomena “perempuan hilang”. Ini mengacu pada rendahnya rasio perempuan terhadap laki-laki dalam populasi negara berkembang.
Perkawinan anak seringkali merupakan akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan dan memperparah masalah kesehatan mental seperti depresi dan stres berat. Hal ini dapat menyebabkan konsekuensi yang merugikan, karena individu dengan gangguan jiwa lebih rentan untuk terlibat dalam perilaku berisiko, seperti menyakiti diri sendiri.
Ketika mempertimbangkan perkiraan “perempuan hilang”, Indonesia diidentifikasi sebagai salah satu negara Asia dengan jumlah perempuan hilang yang signifikan, terhitung lebih dari satu juta pada 2010.
Karena perkawinan anak terkait dengan kesehatan mental yang buruk, temuan ini memberikan penjelasan yang mungkin atas tingginya angka kematian perempuan di Indonesia.
Melindungi dari Bahaya Abadi Pernikahan Anak
Dengan hampir 640 juta anak perempuan dan perempuan di seluruh dunia menikah saat masih anak-anak, penelitian ini mengidentifikasi kelompok perempuan yang membutuhkan dukungan psikologis dan akses ke perawatan kesehatan mental.
Mengatasi masalah kesehatan mental para perempuan ini tidak hanya akan memastikan kesejahteraan mental mereka tapi juga anak-anak mereka, karena kesehatan mental yang buruk dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
Yang penting, temuan ini memberikan wawasan tentang undang-undang dan kebijakan yang ditargetkan untuk mengakhiri perkawinan anak. Secara khusus, hal ini mendukung alasan di balik kebijakan Indonesia baru-baru ini untuk menaikkan usia minimum bagi anak perempuan untuk menikah dari 16 menjadi 19 tahun – sebuah langkah penting menuju penghapusan perkawinan anak di Indonesia.
Langkah-langkah kebijakan tersebut akan mempromosikan kesetaraan gender, serta dampak yang lebih baik bagi perempuan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.