Issues

Bayangan Pernikahan Disney dan “Cinta Buta” Menjebakku dalam Pernikahan

Pernikahan impian ala Disney dan janji palsu pasangan untuk berubah, mendorongku terperosok dalam relasi toksik selama bertahun-tahun hingga akhirnya aku bercerai.

Avatar
  • October 13, 2021
  • 8 min read
  • 1120 Views
Bayangan Pernikahan Disney dan “Cinta Buta” Menjebakku dalam Pernikahan

Tumbuh dengan tontonan film kartun Disney dan Barbie, “Alika” adalah satu dari banyak perempuan di dunia ini yang secara tidak sadar mengamini sebuah pandangan utopis mengenai citra diri dan pernikahan. Menurutnya, pernikahan adalah tentang bagaimana seorang perempuan menunggu pangeran menyelamatkan dirinya dari nestapa dan membuat hidupnya lebih bahagia. 

“Waktu itu, saya menganggap pernikahan kaya gitu juga (dongeng Disney klasik). Menunggu cowok nyelametin kita dan mungkin bikin hidup kita lebih bahagia” tuturnya.

 

 

Harapannya ini terbentur realitas yang sangat berseberangan. Setelah memutuskan untuk menikah muda dengan laki-laki yang ia pacari, mimpi ini perlahan sirna tepat di depan mata. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya, setelah menikah ia justru harus dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan membuatnya lelah fisik dan mental. 

Pernikahan memaksanya untuk berpikir keras tentang cara bertahan hidup, membesarkan anak, dan mempersiapkan mental pascamelahirkan tanpa kehadiran berarti dari suami. Hal-hal kompleks inilah yang membuatnya bangun dari “mimpi indah” itu dan mendefinisikan ulang arti pernikahan.

 Baca juga:  Beranilah untuk Berpisah

Ketika Cinta Sudah Terlampau “Buta”

Sudah satu tahun setengah Alika berpacaran dengan mantan suaminya sebelum memutuskan untuk menikah. Selama berpacaran, ia sudah menyadari sejumlah tanda-tanda hubungan yang tidak sehat. Saat berstatus pacar, mantan suami sering membatasi ruang geraknya bahkan hanya untuk sekadar mengobrol dengan teman laki-lakinya. Selain itu, ada perbedaan prinsip antara Alika dan mantan suaminya yang membuat mereka sebenarnya tidak cocok sejak pacaran. Contohnya, pandangan terhadap peran seorang istri ideal dan bagaimana mereka akan membesarkan anak kelak. Akan tetapi hal itu masih Alika kesampingkan. Ia memutuskan untuk meneruskan hubungan asmara dengan mantan suaminya dengan dalih cinta.

Setiap habis Alika bertengkar dengan mantan suaminya, laki-laki itu selalu memberikan perhatian kepada Alika. Ini yang juga jadi hambatan lain bagi Alika untuk menyudahi hubungan mereka. Masih ada harapan laki-laki itu akan berubah lebih baik kelak dan dominasi bayangan pernikahan yang indah dalam benak Alika.

“Dia bilang dia enggak akan begitu lagi [berbuat salah]. Dia bilang dia cinta sama saya dengan bertindak posesif. Itu yang bikin saya susah lepasnya [dari hubungan toksik]. Enggak tahu kenapa ya, mungkin ini yang bisa dibilang cinta itu buta,” tutur Alika.

Selama satu tahun ia menikah, ia menyadari bagaimana ia sudah terjebak di dalam sebuah rumah tangga yang telah merampas kebahagiaan dan jati dirinya. Pernikahannya selalu diwarnai oleh pertengkaran yang tidak jarang berujung pada kekerasan. Kata-kata kasar dan merendahkan kerap keluar dari mulut mantan suaminya ketika ia sedang memarahi Alika. Tak pelak, hal ini perlahan mengikis kepercayaan diri Alika. 

“Dia tuh sering kalo marah pake bahasa binatang, bilang ‘Kamu itu bodoh’. Itu kan membuat saya down banget ya, dan kaya meragukan kemampuan saya jadinya,” ucapnya.

Tidak hanya melakukan kekerasan verbal, mantan suaminya juga melakukan kekerasan finansial. Alika dilarang untuk bekerja dan dibatasi secara ekonomi oleh mantan suaminya. Selama menikah, ia hanya diberikan uang untuk kebutuhan sehari-hari tanpa tahu menahu berapa penghasilan mantan suaminya dan pengeluaran apa saja dalam rumah tangga kecilnya. Ia juga tidak pernah diperbolehkan untuk mengelola keuangan keluarga, sehingga Alika pun seakan dianggap hanya sebagai pembantu dalam pernikahannya tersebut.

Baca juga:  Magdalene Primer: ‘Marital Rape’ dan ‘Consent’ dalam Pernikahan

Pemaksaan Kehamilan dan Menjadi Ibu Rumah Tangga Purna-waktu

Kuasa Alika atas tubuh dan nasibnya sendiri kian terkikis seiring berjalannya waktu. Ketika menikah. Ia dipaksa hamil oleh mantan suaminya kendati ia merasa masih belum siap mengemban peran sebagai seorang ibu. Dengan tekanan yang begitu hebat dari suaminya, Alika akhirnya hamil walau pada kenyataannya ia terbebani secara mental. 

Alika juga mengungkapkan, selain dipaksa untuk hamil, hak atas kesehatan reproduksi pun tidak didapatkannya dalam pernikahannya yang lalu. Masalah pengaturan jarak kehamilan melalui alat kontrasepsi saja menjadi perdebatan tanpa ujung. Mantan suaminya memaksanya memakai alat kontrasepsi, hal yang sangat ia benci karena membuat berantakan metabolisme tubuhnya. Sementara, mantan suaminya itu sendiri menolak untuk memakai kondom.

Sebagai orang yang cukup konservatif dan sangat patriarkal, mantan suami Alika percaya bahwa fitrah perempuan yang sudah menikah adalah menjadi ibu rumah tangga purna-waktu, yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk anak dan suaminya saja. Ia juga percaya bahwa letak kebahagiaan seorang perempuan adalah dengan menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga yang “baik” dan laki-laki itu tidak bisa menerima jika pekerjaan domestik bisa dilakukan laki-laki. Mantan suaminya bahkan terus menekankan bagaimana dalam agama ia adalah seorang pemimpin keluarga dan perempuan ada untuk menjadi “pelayan” laki-laki. Alika sangat sudah sangat muak dengan pemikiran ini hingga beberapa kali Alika mengkonfrontasi mantan suaminya yang akhirnya berujung pada sebuah pertengkaran.

Berbekal interpretasi agama yang sangat bias gender, mantan suaminya juga memaksakan kehendaknya terhadap Alika dan semakin melakukan kekerasan emosional terhadapnya. Ia melarang Alika untuk bekerja dan mengenyam pendidikan S2 yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari mimpi perempuan itu. 

“Sebelum  menikah, saya bilang saya tetap ingin bekerja, saya juga ingin S2. Akan tetapi setelah menikah, dia bilang, ‘Apa lagi, sih, yang harus dikejar perempuan? Kamu enggak bahagia apa, cuma ngurus keluarga aja? Enggak usah ribet-ribet S2 deh, gini aja udah cukup’. Waktu itu saya bener-bener jatuh”.

Baca juga: Tak Hanya Fisik: Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Privat

Akhir Pernikahan

Alika memiliki pemikiran yang bisa dibilang cukup moderat. Ia tidak begitu kaku memahami agama dan memahami gender dengan cukup baik. Pemikiran moderatnya ini didapatkan sejak ia belajar feminisme dan kritik agama di bangku kuliah. Ia juga membaca buku-buku dari penulis kenamaan, seperti Ayu Utami, Nawal El Saadawi, Arundhati Roy, hingga Gustave Flaubert semasa kuliah. Pemahamannya mengenai feminisme dan gender lalu semakin kuat ketika ia mulai membaca artikel-artikel Magdalene. Magdalene membuat dirinya dalam memahami feminisme dengan lebih membumi.  

Karena pemikirannya yang moderat ini, ketidakcocokan antara Alika dan mantan suaminya semakin terlihat dari saat mereka kerap bertengkar untuk urusan mendidik anak. Mantan suami Alika kerap membatasi putri semata wayang mereka berkembang  dan hanya mengarahkannya sesuai peran gender tradisional. Misalnya, mantan suami Alika telah mengajarkan putri mereka sedari kecil untuk memainkan “mainan perempuan”, seperti yang masak-masakan dan melarangnya untuk memainkan “mainan laki-laki”. “Kata mantan suami saya, ‘Perempuan enggak boleh kayak gini, enggak boleh gitu’” ujar Alika.

Ia juga pernah membicarakan mengenai pendidikan putrinya mereka bersama mantan suami, di mana ia sangat berharap putri mereka ini dapat meraih pendidikan setinggi-tingginya. Ia bahkan berharap anaknya ini bisa meraih pendidikan di luar negeri agar ia memiliki pandangan yang terbuka mengenai dunia. Namun, perbincangan mengenai pendidikan anaknya ini lagi-lagi harus berakhir dengan benturan di antara keduanya. Ketika Alika menyampaikan harapannya, sang mantan suami justru berkata bahwa tidak seperti laki-laki, anak perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Di tengah bentrokan prinsip dalam mendidik anak, Alika juga mengalami rasanya kewalahan mengurus anak seorang diri tanpa bantuan mantan suaminya. Sampai pada suatu momen, ia akhirnya memutuskan untuk bercerai. Ketika itu, ia tidak bisa menenangkan putrinya ini yang menangis tanpa henti. Tangisan putrinya ini membuat diri Alika stres bukan kepalang. Kendati mantan suaminya hadir dan membantu menenangkan putri mereka, ia masih tetap marah kepada Alika dan berkata “Kalau kamu enggak sabar, pulang aja ke rumah orang tua kamu!”. Ucapan mantan suaminya ini membuat Alika tidak kuasa menahan ledakan emosinya. Alika lantas balik menghardik mantan suaminya soal kontribusi laki-laki tersebut yang nyaris nihil dalam mengurus putri mereka. Alika mengungkit, ia seorang sendirian berjuang mengurus seorang anak ketika sebenarnya ia bahkan belum siap menjadi ibu.

Keberanian Alika menumpahkan unek-uneknya ditanggapi dengan geraman dan cakaran oleh mantan suaminya. Bahkan sesudah mencarak istrinya sendiri, mantan suami Alika masih berusaha memukul Alika di depan orang tuanya sampai akhirnya mertua Alika melerai mereka. Dari kejadian ini, Alika memutuskan untuk mengakhiri pernikahan dengan mantan suaminya, karena ia tidak sanggup jika harus mendapatkan kekerasan fisik yang lebih hebat lagi. 

“Besoknya pas balik lagi ke orang tua saya, saya enggak mau lanjut lagi hubungan sama dia. Saat bilang saya mau cerai, orang tua saya mengiyakan, lalu nemuin orang tua dia, bilang ‘Kayaknya anak-anak sudah enggak cocok, deh’,” terang Alika.  

Tidak ada satu pun keraguan yang dialami Alika ketika ia mengajukan cerai. Ia berpikir jika ia tidak cerai sekarang, putrinya nanti akan memiliki pandangan yang buruk tentang pernikahan. 

“Saya pikir lebih kasihan anak trauma bertahun-tahun lihat pernikahan yang buruk gara-gara orang tuanya sering berantem. Saya lebih takut anak saya memandang pernikahan bukan hal yang bikin bahagia. Padahal, ini sebenarnya lebih tergantung gimana kita bisa dapatin pasangan yang cocok,” kata Alika.

Setelah bercerai, akhirnya Alika menemukan kembali dirinya yang sempat hilang. Ia menjadi lebih bahagia karena ia tidak lagi harus berpura-pura soal keadaan dirinya yang tidak baik-baik. Kebahagiannya ini juga tidak lepas dari bagaimana ia  telah mendapatkan lagi kebebasannya. Ia dapat kembali bekerja sementara putrinya ia titipkan kepada orang tuanya selama ia bekerja di luar kota. 

Dengan mimpi membangun kembali keluarga dengan putrinya, ia bekerja sekuat tenaga agar gaji yang ia kumpulkan mampu membuatnya membeli rumah baru. Ia juga ingin mendidik putrinya menjadi sosok perempuan yang tangguh dan mandiri, yang hidupnya tidak bergantung pada laki-laki. Jauh dari sosok dirinya dahulu yang terjebak dalam pernikahan yang tidak sehat. 

Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *