‘Balada Sepasang Kekasih Gila’, Potret Derita ODGJ di Tengah Stigma
Tak cukup dengan beban akibat masalah kejiwaannya, penderita gangguan jiwa masih harus menghadapi berbagai penghakiman dan kesewenang-wenangan masyarakat sekitar.
[Spoiler alert]
Kehidupan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebetulnya cukup sering ditampilkan lewat film maupun serial televisi, tetapi minim yang menceritakan kehidupan asmara sejoli dengan gangguan mental. Hal inilah yang kemudian diagkat dalam film Balada Sepasang Kekasih Gila (2021).
Film garapan Anggy Umbara ini menceritakan Jarot (Denny Sumargo), yang hidup menggelandang setelah keluar dari rumah sakit jiwa. Ia kemudian menolong Lastri (Sara Fajira) sewaktu perempuan itu disiksa oleh dua orang laki-laki di pinggir jalan. Sebelum keduanya bertemu hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih, banyak lika-liku kehidupan yang mereka lalui.
Berulang kali Jarot diusir setiap ia baru mendapatkan “rumah” di pinggir jalan. Ia kelaparan dan tak ada satu pun yang mau memberikannya makanan. Ia bahkan sempat dipukul oleh orang-orang yang menganggapnya mengganggu. Merasa putus asa, Jarot meminta pertolongan Tuhan yang dianggapnya lebih dapat diandalkan daripada manusia yang selalu menghakimi.
Sementara, kehidupan Lastri tak kalah menyedihkan darinya. Perempuan itu diusir dari kampung karena ketua RT setempat menyerahkan warga mengambil keputusan, bukannya menghubungi Dinas Sosial agar ditangani dengan layak. Selain itu, berkali-kali Lastri dijadikan objek seksual dan harus melakukan tindakan kriminal untuk menyelamatkan diri.
Kekurangan film ini terletak pada pendalaman karakter kedua tokoh utama. Sampai film berakhir, tak diketahui alasan Jarot disebut komunis, dan siapa yang dibunuhnya hingga ia masuk penjara. Sama halnya dengan karakter Lastri yang tidak dijelaskan latar belakangnya hingga mengidap gangguan mental dan mengapa seorang perempuan yang mengaku sebagai teman ibunya mau menyelamatkannya dari penjara.
Selain itu, penggunaan kata “gila” pada judul juga disayangkan, karena pelabelan itu dapat membuat pengidap gangguan mental merasa tertekan dan semakin dikucilkan. Padahal, mereka memiliki harapan untuk sembuh, sebagaimana ditampilkan dalam karakter Jarot.
Di luar kekurangan itu, Balada Sepasang Kekasih Gila menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh para pengidap gangguan jiwa.
Sikap Buruk Masyarakat terhadap Pengidap Gangguan Jiwa
Dari awal film, penonton disuguhkan dengan penderitaan kedua karakter utama. Jarot dikurung dalam sebuah ruangan kecil di rumah sakit jiwa, dimarahi oleh perawat lantaran ia terus menangis, dimandikan dengan tidak layak dengan disemprot hingga ia kesakitan, dan dicap sebagai komunis.
Sementara, Lastri diteriaki “orang gila” berulang kali oleh sekelompok anak kecil di lingkungannya. Di samping itu, warga setempat menolak keberadaannya lantaran kampung mereka dicap orang luar sebagai “kampung orang gila”. Ada juga yang berpikir bahwa gangguan mental merupakan penyakit menular.
Peristiwa yang dialami oleh kedua karakter utama tersebut menggambarkan perilaku masyarakat umum terhadap ODGJ. Mereka dianggap berbahaya, mengancam keselamatan, hingga tak layak hidup, pada saat yang mereka butuhkan adalah pertolongan untuk memulihkan kesehatan mentalnya.
Tak heran, kebahagiaan bagi Jarot dan Lastri hanya ditunjukkan ketika mereka bertemu dan hidup bersama. Itu pun keduanya mesti menetap di sebuah gubuk di area pemakaman karena masyarakat tidak mau menerimanya.
Padahal, baik Jarot dan Lastri masih bisa diajak berbicara dengan baik. Mereka masih mengetahui identitas diri dan masa lalunya. Hal ini menunjukkan realitas masyarakat yang sering kali menghakimi para ODGJ berdasarkan penampilannya.
Ada sebuah adegan yang cukup memilukan, saat Jarot meminta makan di sebuah warung, tetapi si pemilik mengusirnya dan justru memberikan sepiring makanan ke seekor kucing.Hal ini sungguh disayangkan karena jika seseorang bisa berempati pada hewan, mengapa tidak bisa melakukan hal yang sama kepada sesama manusia?
Perempuan yang Diobjektifikasi dan Melawan
Mirisnya, mengidap gangguan mental seperti belum cukup menjadi penderitaan Lastri. Ia dimanfaatkan sebagai objek seksual ketika mencari tempat tinggal setelah diusir dari kampungnya dan diculik oleh tiga orang pemuda. Adegan ini bisa dibilang cukup triggering bagi sebagian penonton karena menggambarkan tindakan pemerkosaan.
Realitasnya, perempuan yang mengalami gangguan mental memang menjadi salah satu pihak yang paling rentan mendapatkan kekerasan seksual. Film ini menekankan betapa minimnya keamanan yang bisa perempuan rasakan ketika ia berjalan sendirian pada malam hari.
Setelah mengalami peristiwa traumatis seperti itu, sebagaimana tokoh utama dalam film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, Lastri melakukan balas dendam hingga menghilangkan nyawa orang. Hal tersebut membuatnya dijebloskan ke penjara. Di tempat itulah keterpurukannya semakin disoroti.
Kita bernapas lega, ketika salah seorang tante Lastri mengeluarkannya dari penjara. Sayangnya, kebebasan yang Lastri rasakan itu tak ubahnya keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Belum sembuh traumanya diperkosa, Lastri kemudian dipekerjakan sang tante sebagai pekerja seks komersial (PSK) tanpa persetujuannya.
Setelah mendapat problem bertubi-tubi, Lastri masih mencoba bangkit dan melawan, contohnya saat tantenya mengatai dia tidak tahu diuntung. Namun, sikap berani yang ditunjukkan perempuan ini tidak jarang memicu reaksi buruk lain. Ketika Lastri memperlihatkan keengganannya pindah dari area pemakaman kepada para kontraktor yang hendak membangun pertokoan di situ, ia justru dikatai pelacur. Panggilan seperti itu sering diutarakan kepada perempuan, hanya karena berani melawan dan berusaha mendapatkan haknya.
Bagi sebagian orang, mungkin amarah Lastri hanya bagian dari gangguan mental yang dideritanya. Namun sejatinya, setiap perempuan, terlepas dari permasalahan hidupnya, punya kebebasan untuk berdiri demi dirinya sendiri.