December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Cinta Kandas karena Judol: Istri Selalu Tanggung Beban Terberat 

Judi ‘online’ yang menjerat suami semakin sering meretakkan rumah tangga. Di banyak kasus, perempuanlah yang menanggung beban ekonomi dan sosial.

  • October 12, 2025
  • 3 min read
  • 750 Views
Cinta Kandas karena Judol: Istri Selalu Tanggung Beban Terberat 

Di banyak desa di Sumatera Utara, cerita tentang rumah tangga yang runtuh karena judi online (judol) kian santer terdengar. Para istri datang ke ruang konseling komunitas membawa kisah yang mirip satu sama lain. Suami mereka diam-diam bermain di ponsel setelah anak-anak tidur, sehingga uang rumah tangga pun bocor sedikit demi sedikit, hingga utang menumpuk tinggi. 

“Motor dijual, ladang digadai, utang ke sana-sini, tapi saya yang harus bayar,” ujar seorang ibu saat sesi pendampingan di salah satu desa dampingan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI). Banyak yang akhirnya menggugat cerai karena tak lagi sanggup memikul beban ekonomi dan kekerasan yang menyusul. 

Fenomena ini tak cuma terjadi di Sumatra Utara. Lima tahun terakhir, sejumlah ruang komunitas perempuan berubah fungsi jadi tempat perlindungan darurat bagi istri korban kecanduan judol. Polanya hampir selalu sama: Amblesnya keuangan rumah tangga diikuti pertengkaran, kekerasan, lalu perceraian. 

Baca juga: Dari Kampung TikTok Sukabumi Kita Belajar, Penanganan Judi ‘Online’ Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah

Sudah Dimiskinkan Judol, Jadi Korban Kekerasan Pula 

Ikut judi online memang tak berasa: Mulanya keluarkan uang seribu, dua ribu, “sekadar iseng,” lalu bertambah. Tak jarang suami berbohong dan melakukan judi sembunyi-sembunyi. Saat uang belanja tak cukup, perempuan menanggung akibatnya. Dapur berhenti ngebul, anak-anak menahan lapar, dan ketegangan relasional jadi hiasan wajib rumah tangga. 

Enggak heran jika banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dimulai dari sini. Piring melayang, anak ketakutan, dan perempuan kembali disalahkan karena dianggap tidak bisa “mengatur uang”. Anak-anak, yang katanya belum paham, justru paling cepat belajar pola. Mereka terbiasa meniru kebiasaan begadang ayahnya, menatap layar aplikasi judol, dan berharap “sekali lagi akan menang”. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara 2024 mencatat 15.752 perceraian, dengan 12.861 di antaranya diajukan oleh istri. Persentase ini—sekitar 82 persen—menggambarkan siapa yang paling sering memikul beban ketika ekonomi keluarga runtuh. Temuan lapangan komunitas kami di HAPSARI menunjukkan, banyak di antara kasus itu dipicu oleh kebocoran keuangan akibat judol. 

Akses permainan ini pun terlalu mudah. Satu ponsel dan dompet digital sudah cukup. Bahkan di daerah terpencil, sinyal yang dulu sulit kini justru membuka jalan bagi iklan dan tautan gim judi terselubung. Pemerintah gonta-ganti kebijakan, tapi celah transaksinya tetap lebar. 

Baca juga: Menelusuri Sejarah Judi ‘Online’ di Indonesia

Menagih Keberpihakan, Bukan Sekadar Razia 

Di tengah situasi ini, komunitas perempuan mengambil peran yang mestinya dijalankan negara: Mendengar, mendampingi, dan melindungi. Kami membuat ruang aman, konseling, bahkan rumah singgah darurat untuk perempuan yang diserang suami atau ditagih rentenir karena utang perjudian. Namun batas kemampuan kami jelas, kami tentu tak bisa menghentikan sumbernya sendirian. 

Negara seharusnya menutup jalur uang ke situs-situs perjudian, bukan hanya memblokir tampilannya. Hentikan kemudahan top-up, tetapkan batas transaksi, dan putuskan jaringan rekening yang terhubung ke platform judi. Penagihan dengan ancaman dan intimidasi harus diperlakukan sebagai tindak pidana. 

Langkah berikutnya adalah pemulihan. Setiap perempuan dan anak yang terdampak butuh ruang pemulihan yang trauma-informed. Ini perlu dibarengi dengan rencana aman, akses psikolog, serta jalur hukum yang cepat dan tidak menyalahkan korban. Pemerintah desa, puskesmas, dan sekolah bisa menjadi simpul pelaporan awal yang aman. 

Baca juga: Yang Tak Dibicarakan dari Darurat Judi ‘Online’: Kekerasan hingga Nihilnya Perlindungan Korban

Ukuran keberhasilan penanganan judol bukan berapa ribu situs judi yang diblokir, melainkan apakah perempuan berhenti membayar utang yang bukan keputusan mereka. Apakah anak-anak bisa tidur tanpa takut mendengar bentakan. Apakah rumah kembali jadi tempat pulang, bukan ladang pertengkaran. 

Rasa aman perempuan harus menjadi tolok ukur keberhasilan kebijakan. Sebab, di ujung semua ini, bukan sekadar uang yang hilang melainkan martabat, rasa percaya, dan masa depan keluarga. Itu semua tak boleh terus dibayar oleh perempuan sendiri. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.