Jelang Pemilu 2024, kita menyaksikan bagaimana masyarakat terpecah menjadi beberapa kubu. Ada yang mendukung masing-masing pasangan calon (paslon), tergabung dalam gerakan “Salam 4 Jari”, dan golongan putih (golput). Keributan di media sosial (medsos) pun tak terhindarkan di kalangan netizen, karena perbedaan pilihan politik.
Namun, ketegangan bukan hanya terjadi di dunia maya, melainkan dalam hubungan romantis. Misalnya Nisa, 24, yang cekcok dengan suami usai mencoblos pada (14/2) lalu.
Selama masa kampanye, secara terang-terangan suami Nisa menunjukkan keberpihakan pada paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Sementara Nisa enggan mengutarakan, karena menganut asas penyelenggaraan Pemilu luber jurdil—langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ia baru memberi tahu suami setelah menggunakan hak pilih.
“Awalnya hubungan adem ayem. Setelah kuberitahu paslon pilihanku, suami jadi sering diem, cuek, dan main handphone,” cerita Nisa.
Suaminya kecewa dengan perbedaan pilihan itu. Menurutnya, paslon pilihan Nisa—Anies Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar—hanya pintar ngomong dan memaparkan data, tanpa hasil kerja nyata.
Berbeda dengan Prabowo dan Gibran, yang akan melanjutkan proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Kebetulan, Nisa dan suami berdomisili di provinsi tersebut. Suami Nisa berharap, proyek IKN akan menyejahterakan warga Kalimantan Timur.
Pengalaman Nisa menggambarkan perbedaan pilihan politik, yang notabene dapat menjadi salah satu tantangan dalam hubungan. Lalu, apakah ini dapat merusak relasi romantis?
Baca Juga: Menyelami Isi Kepala Gen Z yang Ogah Buru-buru Nikah
Perbedaan Pilihan Politik pada Relasi Romantis, Perlukah Ditoleransi?
Dalam tulisannya di Psychology Today, terapis pasangan Tasha Seiter menjelaskan, perbedaan pilihan politik menjadi masalah ketika salah satu pihak berupaya mengubah pandangan pasangannya—yang akan berakhir sia-sia. Sebab, kedua pihak akan berselisih mempertahankan argumen.
Realitas itu yang dialami Nisa. Meski enggak begitu mempermasalahkan perbedaan pilihan politik, Nisa berharap suaminya mengubah pilihan. Contohnya dengan memberikan informasi mengenai paslon lain, terkait visi misi dan track record sewaktu memegang jabatan.
“Aku kasih tahu (suami) biar enggak milih paslon karena trending FYP (For Your Page di TikTok),” ujar Nisa. “Tapi suamiku terhipnotis dengan gimik gemoy dan joget-jogetnya itu, nggak lihat visi misinya dulu.”
Menurut Seiter, perbedaan pilihan politik hanya membedakan cara berpikir, tentang gagasan dan prioritas untuk memperbaiki negara. Padahal, di sisi lain menunjukkan perbedaan nilai dan prinsip, yang dipercaya dan dijalankan setiap orang. Karenanya, kesamaan pandangan politik menjadi penting.
Rani, penulis dan jurnalis, adalah salah satu yang menilai pandangan politik merupakan hal mendasar dalam hubungan. Pada 2017, relasinya dengan mantan pacar berakhir. Salah satu alasannya, adalah mantan pacar Rani yang memilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
“Itu bukan masalah perbedaan pilihan politik aja. Ada nilai-nilai yang tercederai oleh permainan politik tim Pak Anies, bisa-bisanya mantan pacarku malah dukung,” tutur Rani.
Waktu itu, Anies dan Sandi menggunakan strategi politik identitas Islam untuk kampanye. Pendukung pun terbelah dua berdasarkan identitas: warga Jakarta yang muslim memilih Anies, sedangkan yang beragama Kristen serta beretnis Tionghoa memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat.
Bagi Rani, strategi kampanye itu tak hanya merugikan masyarakat Indonesia dalam jangka panjang, dengan merusak kerukunan umat beragama. Tapi juga urusan agama seharusnya menjadi persoalan individu, yang tak perlu dibawa ke ranah publik.
Baca Juga: Bagaimana Jadinya Jika Si Introver Pacaran dengan Ekstrover?
Saat membahas lebih lanjut terkait pilihannya, mantan pacar Rani mengatakan, politik identitas adalah hal wajar dalam panggung politik—cara yang dilakukan Ahok dan Djarot pun untuk enggak sepenuhnya bersih. Keduanya berusaha mengubah pandangan satu sama lain, hingga Rani menarik diri dan mempertimbangkan sosok tersebut sebagai partnernya, dikarenakan perbedaan nilai individual.
“Apa pun pilihan orang yang kelihatan di permukaan, enggak lahir begitu aja. Dan pilihan itu enggak pernah sederhana, ada cara pandang dunia dan ideologi (di baliknya),” jelas Rani.
Saat terdapat perbedaan pandangan maupun pilihan politik, sebenarnya belum tentu relasi romantis harus berakhir. Lalu, bagaimana mengatasinya?
Mengatasi Perbedaan Pilihan Politik dalam Relasi Romantis
Dalam wawancara bersama TODAY, terapis pernikahan Danielle Moye dan Dana McNeil menyarankan pasangan yang memiliki perbedaan pilihan politik, untuk melakukan beberapa hal.
Pertama, menentukan nilai-nilai yang dipegang bersama. Saat membicarakan pilihan politik, idealnya adalah berdiskusi dengan pasangan, untuk membahas tujuan dan impian yang ingin dicapai bersama. Dengan demikian, kamu akan mengatasi masalah tanpa melukai, sekaligus menemukan persamaan nilai-nilai sebagai individu.
Kedua, tunjukkan rasa penasaran. Alih-alih marah dengan pasangan karena pilihan politiknya, tanyakan pandangan pasanganmu terhadap paslon pilihan dan alasannya memilih paslon tersebut.
Ketiga, menjaga reaktivitas dengan meluangkan waktu, untuk memperhatikan kapan kamu reaktif terhadap suatu topik—seperti saat pasangan membahas program salah satu paslon. Lalu, komunikasikan dengan pasangan, apa yang kamu butuhkan untuk merasa aman, ketika membicarakan hal itu.
Melalui langkah ini, kamu perlu aktif mendengarkan untuk memahami—bukan segera merespons, dan membangun pemahaman bersama pasangan.
Baca Juga: Cerita Tiga Perempuan Lajang di Usia 40-an: Kami Tak Menikah tapi Bahagia
Keempat, menyatakan dengan kata “saya” untuk menekankan pentingnya pandangan politik bagi salah satu pihak. Misalnya mengatakan: “Aku enggak memilih paslon itu karena enggak paham hak-hak perempuan dan minoritas seksual.” Harapannya, pasangan memahami bahwa kamu punya pengalaman personal, dan pilihan tersebut bisa berdampak pada hidupmu.
Kelima, menyadari bahwa kamu enggak bisa mengubah pikiran pasangan. Menurut Neil, sia-sia jika kamu mencoba mengubah sudut pandang pasangan. Terlebih kalau kamu belum menyadari, mengapa nilai-nilai yang diyakini pasangan begitu penting.
Keenam, ketahui hal-hal yang menurutmu enggak bisa diterima dan merusak hubungan. Setelah berdiskusi dan mengetahui perspektif pasangan, sebaiknya kamu mempertimbangkan, apakah bisa menjalin relasi dengan perbedaan itu. Jika ingin melanjutkan, ketahui bahwa pasangan enggak akan berubah dan kamu akan kesulitan menghadapi situasi dalam hubungan.
Artikel ini diperbarui pada 28 Februari 2024, atas permintaan narasumber untuk menganonimkan identitas.