Lifestyle

Benarkah Membayangkan Skenario Terburuk Bikin Hidup Bahagia?

Berada di era yang serba tidak tentu mengharuskan kita tahan banting. Psikolog bilang, ‘negative visualization’ bisa jadi kunci agar hidup jadi lebih baik.

Avatar
  • February 23, 2022
  • 6 min read
  • 1461 Views
Benarkah Membayangkan Skenario Terburuk Bikin Hidup Bahagia?

Pada 1989, Deborah J. Mitchell dari Wharton School, Jay Russo dari Universitas Cornell, dan Nancy Pennington dari University of Colorado melakukan penelitian relatif penting. Mereka menemukan, cara kita berefleksi atau membayangkan peristiwa di masa lalu dapat membantu mengidentifikasi dengan benar masa depan sebesar 30 persen.

Melihat hasil yang menjanjikan ini, Gary Klein, psikologi dan peneliti asal Amerika Serikat kemudian mengembangkan metode bernama pre-mortem. Belakangan, metode itu membuatnya dikenal sebagai pionir di bidang pengambilan keputusan naturalistik. Terkait ini, ia menjelaskan dalam artikelnya di Psychology Today dan Harvard Business Review. Dalam hematnya, metode pre-mortem diciptakan untuk membantu perusahaannya sendiri dalam mengurangi masalah atau risiko ketika mereka sedang terlibat proyek.

 

 

Ia sendiri mengaku tidak ambis untuk memperkenalkan lebih luas metode pre-mortem-nya ini. Namun, nyatanya metode tersebut menarik banyak perusahaan dan institusi untuk mempelajari dan mengimplementasikannya di tempat mereka. Pasalnya, metode pre-mortem ternyata memang berguna dalam meminimalisasi kegagalan dalam proyek.

Sebut saja ruang rapat perusahaan, operasi pemadam kebakaran hutan belantara, program Angkatan Darat Amerika Serikat, Wall Street, hingga peraih Nobel Danny Kahneman dan Richard Thaler yang rupanya telah mengaplikasikan metode ini.

Metode ini kian populer lantaran mudah dilakukan dan tidak banyak memakan waktu. Klein misalnya mencontohkan, bagaimana dalam sebuah rapat perusahaan, hanya dibutuhkan waktu tidak lebih dari satu jam untuk mempraktikkan metode pre-mortem. Dengan membayangkan bahwa proyek yang belum diluncurkan mengalami kegagalan total, kita diminta untuk menuliskan beberapa alasan mengapa proyek ini gagal. Alasan-alasan inilah yang ditinjau ulang dalam aspek dampak, reversibilitas, dan kemungkinan lainnya.

Baca Juga: Apa itu ‘Emotional Blackmail’ dan Bagaimana Cara Mengatasinya

Negative Visualization

Kendati Klein mempunyai jasa yang besar dalam menciptakan dan mengembangkan metode pre-mortem, perlu diketahui, secara esensi metode ini praktiknya sudah diterapkan sejak ribuan tahun lalu dalam stoikisme, filosofi yang berkaitan dengan cara hidup internal manusia.

Dalam buku A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (2008), profesor filsafat William Braxton Irvine dari Universitas Negeri Wright menjelaskan, bagaimana manusia sebagian besar tidak bahagia karena tidak pernah merasa puas dan bersyukur atas apa yang diperoleh. Kita hidup demi mengejar mimpi hingga jungkir balik, bekerja keras karenanya. Sayangnya dalam proses mengejar dan menjalani mimpi itu, kita tidak pernah memproyeksikan segala sesuatunya secara utuh.

Kita tidak terbiasa memikirkan dalam mencapai sesuatu, ada kemungkinan kegagalan yang bakal mengadang. Pun, ketika kita mampu mewujudkannya, kita mulai menerima kehidupan itu begitu saja. Alih-alih menghabiskan hari atau menikmati nasib baik, kita justru asyik mengejar impian baru yang lebih agung untuk diri sendiri. Begitu terus.

Psikolog Shane Frederick dan George Loewenstein telah mempelajari fenomena ini dan menamakannya sebagai hedonist adaptation. Ini adalah kecenderungan manusia untuk terbiasa dengan hal-hal baik dalam hidup yang membuat manusia menjadi individu yang kurang bersyukur dan sulit menavigasi diri saat menghadapi masalah atau kegagalan.

Agar manusia tidak terjebak dalam lingkaran hedonist adaptation, para filsuf Stoa besar, seperti Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca kemudian menawarkan solusi yang disebut sebagai premeditatio malorum yang dalam dunia modern lebih dikenal sebagai negative visualization. Teknik yang kemudian digunakan oleh kaum Stoa setidaknya sejak Chrysippus dan dipopulerkan dengan publikasi Seneca, Epistulae Morales ad Lucilium.

Dilansir dari Daily Stoic, berbeda dengan fokus umum visualisasi kreatif untuk menginduksi respon psikologis dan fisiologis imajiner positif, negative visualization berfokus pada teknik pelatihan diri yang menekankan pada hasil negatif dari skenario kehidupan realistis. Teknik ini nantinya akan menciptakan kebugaran psikologis agar kita dapat lebih bisa menerima atau menghadapi kerugian di kehidupan nyata. Itu juga mendorong kita untuk lebih bersyukur atas hal-hal kecil dalam hidup.

Seneca menggambarkan teknik premeditatio malorum dalam surat yang ia tulis kepada Marcia, perempuan yang tiga tahun setelah kematian putranya masih merasakan kesedihan yang sama seperti hari kala ia menguburkan sang putra. Dalam surat ini, selain memberi tahu Marcia cara mengatasi kesedihannya saat ini, Seneca menawarkan saran tentang bagaimana cara menghindarkan diri jadi korban kesedihan serupa di masa depan.

Ia menyarankan Marcia mengidentifikasi hal-hal apa saja yang perlu dilakukannya dalam mengantisipasi kejadian yang dapat menyebabkan dia berduka. Lalu, menekankan pada ketidakabadian dunia dan seisinya serta manusia yang tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan segala sesuatu dalam genggamannya.

Baca Juga: ‘Silent Treatment’ Orang Tua ke Anak: Kekerasan Emosional yang Tak Terlihat

Cara Mempraktikkan Negative Visualization

Dengan merenungkan dan memvisualisasikan hal-hal negatif yang mungkin akan menghampiri kita, kita dipaksa untuk menyadari bahwa setiap kali kita melakukan atau mengejar sesuatu bisa jadi inilah momen terakhir kali kita melakukannya. Premeditatio malorum atau negative visualization, dengan kata lain, mengajarkan kita untuk merangkul kehidupan apa pun yang kita jalani dan untuk mengekstrak setiap kesenangan yang kita bisa darinya.

Secara bersamaan, itu mengajarkan kita bersiap menghadapi perubahan. Dalam hal ini, negative visualization mengajarkan kita untuk menikmati apa yang kita miliki tanpa melekat padanya yang pada gilirannya membantu kita meningkatkan peluang kebahagiaan diri, kendati ada perubahan di kemudian hari.

Dalam buku A Handbook for New Stoics: How to Thrive in a World Out of Your Control (2019) dijelaskan, sebenarnya kaum Stoik tidak secara eksplisit menjelaskan cara atau tahap-tahapan yang mereka lakukan dalam mempraktikkan premeditatio malorum atau negative visualization. Namun, Massimo Pigliucci dan Gregory Lopez dalam bukunya ini menawarkan empat cara sederhana yang bisa kita lakukan untuk mempraktikkan negative visualization dan membuatnya menjadi sebuah suatu kebiasaan.

Baca Juga: Berdampak Fatal, Setop Bandingkan Diri dengan Orang Lain

Pertama, mulai membuat daftar tulisan tentang hal-hal berharga di dalam hidupmu. Contohnya, pekerjaan, rumah, binatang peliharaan, anggota keluarga. Lalu, coba bangun asumsi tentang hal-hal anomali atau kesalahan apa yang akan terjadi.

Setelah menuliskan hal-hal itu, alih-alih berniat melakukan sesuatu, katakan pada diri sendiri, dalam keadaan yang berbeda kamu akan tetap bisa bangkit lagi. Misalnya, daripada mengatakan, “Saya akan mengingat apa yang berada di bawah kendali saya sepenuhnya,” kamu dapat mengatakan, “Jika rencana saya berjalan tidak sesuai dengan yang saya harapkan, saya akan mengatakan pada diri sendiri, pikiran saya, bukan hasilnya, berada di bawah kendali saya.”

Kedua, Setiap kali kamu menemukan sesuatu yang tidak menguntungkan terjadi pada orang lain, apakah itu secara langsung, di berita, atau di media sosial, luangkan waktu sejenak untuk mengingatkan diri sendiri bahwa itu bisa terjadi pada padamu juga.

Ketiga, bayangkan situasi yang tidak kamu inginkan terjadi seolah-olah itu benar-benar terjadi. Pendekatan ini mirip dengan imaginal exposure, sejenis terapi pemaparan yang digunakan untuk membantu orang mengatasi kecemasan mereka. Untuk memulai, buatlah daftar lima situasi yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendalimu. Pada skala 1 sampai 10, beri nilai seberapa sulit masing-masing untuk kamu kelola jika itu terjadi padamu. Pastikan untuk menyertakan setidaknya satu situasi mudah dan satu situasi sulit, meskipun sebagian besar harus berada dalam kisaran 2 hingga 5.

Keempat, luangkan waktu 5-10 menit untuk memikirkan semua hal dalam skala penting yang membuat kamu memiliki keterikatan. Renungkan bagaimana perasaanmu jika hal itu diambil darimu atau tidak mungkin lagi kamu dapatkan. Terakhir, pertimbangkan bagaimana kamu dapat meminimalkan dampak kehilangan. Setelah memikirkannya, kamu bisa mengulang cara-cara ini setiap kali ingin melakukan sesuatu.

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *