Election 2024 Issues Opini

Prabowo, Kampanye ‘Gemoy’, dan Masalah LGBT di Indonesia

Dalam salah satu poster kampanye, Prabowo-Gibran digambarkan mengenakan dasi pelangi. Orang-orang mengaitkannya dengan komunitas LGBT. Benarkah?

Avatar
  • May 18, 2024
  • 6 min read
  • 1382 Views
Prabowo, Kampanye ‘Gemoy’, dan Masalah LGBT di Indonesia

Kata “kamp” (camp) bisa berarti banyak hal, misalnya tempat tinggal sementara, berkemah di tenda, atau menghuni bangunan secara liar (squatting). Sebagai kata sifat dalam Bahasa Inggris, bisa berarti mencolok, berlebihan, dibikin-bikin, teatrikal, atau melambai, sering kali menyiratkan kecenderungan homoseksual. Kalau dalam politik, artinya sekelompok orang yang mendukung partai, doktrin, atau individu tertentu. 

Kampanye kepresidenan Prabowo Subianto dan apa yang akan dihasilkannya adalah semua hal ini. Meski sudah dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, namun tetap saja ia sekadar “berkemah”. Sebab, tidak ada satu pun dalam hidup yang abadi, termasuk dalam politik. Setelah lima tahun dia akan keluar, kecuali dia mencalonkan diri kembali dan menang lagi. Mengerikan! 

 

 

Baca juga: Setelah Kemenangan Prabowo, Apa yang Bisa Kita Lakukan? 

Berada di kubu politik manakah sebenarnya Prabowo, sang presiden baru? 

Menurut Ihsan Yilmaz dkk. (European Center for Populism Studies, 9 Maret 2024): “Selama satu dekade terakhir saja, Prabowo telah mengalami perubahan signifikan dalam pendirian ideologi, daya tarik retoris, dan strategi Pemilu. Dia bertransformasi dari ultra-nasionalis, chauvinis, dan populis Islam menjadi teknokrat yang lebih mudah didekati, secara strategis membentuk dan mengubah aliansi dalam upayanya untuk menjamin keberhasilan Pemilu.” 

Apakah ini merupakan cara akademis dan berkepanjangan untuk mengatakan, ia oportunis dan tidak berprinsip? 

Adapun kampanye Prabowo, jelas bersifat campy! Semua aksi gemoy – bahasa gaul untuk gemas – dan tarian di atas panggung itu sampai menjadi viral. 

Dan apakah Anda melihat poster kampanyenya? Beberapa di antaranya menampilkan, ia dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, dibuat mirip karakter anime Jepang, bermata besar dan berhidung imut, mengenakan kemeja serasi, dan membuat simbol jari berbentuk hati. 

Dalam salah satu poster yang diunggah pada akun Instagram DPC Gerindra Jepara pada 3 Desember 2023, keduanya mengenakan dasi pelangi. Poster ini tidak lama kemudian dihapus, namun sudah menjadi viral, dan banyak yang mengaitkannya dengan komunitas LGBT. Ups! 

Apakah ini berarti duo presiden gemoy itu pro-LGBT? 

Ketua Kampanye Pemilu Jakarta Ahmed Zaki Iskandar bergurau tentang atribut kampanye Prabowo-Gibran, yang dihasilkan kecerdasan buatan (AI). Bahwa pelangi mendahului gerakan LGBT, jadi tidak perlu menghubungkan poster tersebut dengan sikap pro-LGBT. Yoi….! 

Tanggal 31 Maret adalah Hari Visibilitas Transgender Internasional, yang diciptakan pada 2009 oleh Rachel Crandall-Crocker, ketua kelompok nirlaba Transgender Michigan. Tahun ini bertepatan dengan Minggu Paskah, yang menyebabkan Partai Republik menuduh Presiden Amerika Serikat Joe Biden, seorang Katolik Roma, “tidak peka terhadap agama”. 

Oalah! Ini dia, lagi-lagi, politisasi seksualitas murahan yang biasa dilakukan demi mendapatkan suara di momen Pemilu. Bisa-bisa saja terjadi kan, dua hari perayaan jatuh pada hari yang sama? Memang pada Minggu Paskah, Biden menyebut 31 Maret sebagai Hari Visibilitas Transgender untuk “menghormati keberanian dan kontribusi luar biasa dari para transgender Amerika”, seperti yang akan ia lakukan untuk kelompok minoritas lainnya, misalnya, untuk para veteran pada Hari Veteran.  

Pada (12/2), saya menghadiri peluncuran dan diskusi buku Seeing Through My Eyes (Melihat Melalui Mataku), yang diproduksi Transmen Indonesia, di Goethe-Institut Jakarta. Saya sangat antusias menerima undangan tersebut, karena saya pernah menyaksikan diskusi daring mereka pada 29 November tahun lalu. 

Pada pagi harinya, di tanggal yang sama, saya menghadiri diskusi daring tentang LGBT yang diadakan Kongres Perempuan Indonesia (Kowani), LSM pemerintah yang pernah menjadi organisasi korporatis di bawah rezim Orde Baru. 

Baca juga: Skenario Terburuk Jika Prabowo Menang Jadi Presiden RI 

Betapa kontrasnya kedua webinar tersebut. Pembicara webinar Kowani adalah perempuan-perempuan konservatif berjilbab. Pendekatan mereka negatif dan menakut-nakuti, menunjukkan foto-foto alat kelamin membusuk, yang mereka klaim sebagai akibat hubungan sesama jenis. 

Webinar Transmen Indonesia yang menghadirkan generasi muda berdiskusi secara rasional dan tenang mengenai tantangan yang mereka hadapi sebagai warga negara Indonesia dan sebagai umat beragama. 

Sebagaimana ditulis komunitas dalam Kerangka Acuan diskusi (12/2): “Transmen Indonesia adalah organisasi trans-laki-laki di Indonesia yang didirikan secara kolektif oleh 21 transmen pada tanggal 28 Juni 2022 (sebelumnya berbentuk kelompok kerja, didirikan pada tahun 2015). Transmen Indonesia bercita-cita menjadi forum yang aman dan inklusif bagi para transmen di Indonesia untuk memperjuangkan hak asasi mereka. Saat ini Transmen Indonesia terhubung dengan lebih dari 100 individu trans maskulin di 15 provinsi di Indonesia.” 

Keingintahuan dan keinginan saya untuk menghadiri webinar kelompok tersebut, sebagai sekutu lama kelompok LGBT, bersumber dari kenyataan bahwa saya tidak mengetahui adanya organisasi lokal yang khusus menangani transpria. Sebaliknya, para transpuan yang awalnya dipanggil wadam (gabungan kata “Hawa” dan “Adam”) telah memiliki HIWAD sejak 1969, didukung oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta saat itu. 

Sejak 1978, mereka disebut waria, singkatan dari wanita dan pria, dan sejak 2010, transpuan. Sebuah artikel bagus ditulis oleh Benjamin Hegarty dan Amalia Puri Handayani (The Conversation, 17 Mei 2023). Mereka menjelaskan evolusi sebutan ini dengan jelas dan alasannya. 

Seeing Through My Eyes berasal dari kolaborasi Transmen Indonesia dan Taufan Wijaya, dosen, fotografer, dan pendongeng yang menulis artikel tentang transmen di The Jakarta Post pada 18 April 2022. 

Selama diskusi buku, mereka menjelaskan, mereka menggunakan penelitian feminis partisipatif, yang selaras dengan saya karena saya juga menggunakan metode tersebut dalam penelitian untuk Ibuisme Negara, tesis saya pada 1988 yang diterbitkan sebagai buku dwibahasa pada 2011. 

Penelitian feminis partisipatif “didasarkan pada pengalaman pengetahuan dan pemberdayaan anak perempuan dan perempuan dan ditandai dengan penggunaan penyelidikan kolektif dengan sasaran anak perempuan dan perempuan untuk menghasilkan pengetahuan dan mengambil tindakan yang mendorong perubahan pada kondisi individu dan kolektif mereka”. 

Baca juga: Hasil ‘Quick Count’ Pemilu 2024: Suara Prabowo-Gibran Unggul, Apa Akan Menang Satu Putaran? 

Jadi metode feminis ini diadopsi untuk meneliti transmen. Keren! 

Mereka juga menggunakan photovoice, yaitu metode penelitian yang menggunakan foto-foto yang disertai narasi fotografer untuk menceritakan kisah hidup sebelas transpria. Hasilnya kemudian dikembangkan menjadi photobook sekaligus pameran sebagai bentuk kampanye publik. 

Sampai saat ini, saya hanya mengenal Amar Alfikar, transpria yang pertama kali saya temui di konferensi queer yang diadakan Sekolah Tinggi Filsafat Teologia Jakarta pada tahun 2019. Saya sudah sangat terkesan olehnya saat itu, terlebih lagi seiring dengan berkembangnya dia menjadi seorang advokasi transmen yang kuat. Saya menulis tentangnya dan buku itu berisi interpretasi queer tentang keragaman tubuh dari perspektif teologis Islam, setelah dia lulus dengan gelar Magister Teologi di Inggris (The Jakarta Post, 29 Maret 2023). 

Di acara Goethe-Institut tanggal 12 Februari, saya merasa senang akhirnya bisa bertemu dengan Raiz Rizky, koordinator nasional Transmen Indonesia, serta para transpria muda berprestasi lainnya. 

Mereka perlu didukung lebih dari sebelumnya dalam menghadapi situasi yang mungkin semakin tidak toleran di Indonesia setelah Pilpres 2024. Seperti di Amerika, gender dan seksualitas akan semakin dipolitisasi di Indonesia. 

Terlepas dari kampanye gemoy Prabowo, kemungkinan besar kaum trans di Indonesia dan komunitas LGBT secara umum akan menghadapi intoleransi yang lebih besar di masa depan. Di AS, setidaknya ada Presiden Biden yang membela mereka dan hak-hak mereka. 

Apakah Prabowo yang sering disamakan dengan mantan Presiden AS Donald Trump akan seperti Biden jika menyangkut isu LGBT? Semoga saja demikian! 

Artikel ini telah terbit sebelumnya di The Jakarta Post dengan judul “Prabowo’s ‘campy’ campaign and Transmen Indonesia” dan diterjemahkan oleh penulis aslinya. 


Avatar
About Author

Julia Suryakusuma

Julia Suryakusuma adalah penulis buku “Agama, Seks, dan Kekuasaan”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *