December 17, 2025
Environment Issues Opini Politics & Society

Banjir Sumatera adalah Pengingat untuk Bertobat (Ekologis)

Banjir dan longsor di Sumatra adalah peringatan ekologis dari alam yang terus diabaikan negara. Sudah saatnya Prabowo-Gibran, perusahaan ekstraktif, dan pejabat terkait melakukan pertobatan.

  • December 3, 2025
  • 4 min read
  • 747 Views
Banjir Sumatera adalah Pengingat untuk Bertobat (Ekologis)

*Catatan: Tulisan dapat memantik trauma dan amarah. 

Bencana yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 mengingatkan kita, alam takkan diam ketika diusik. Apa yang terjadi bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem, tetapi hasil dari kebijakan “ugal-ugalan” yang membiarkan hulu rusak, hutan digunduli, dan daerah aliran sungai kehilangan daya tampungnya. Ini adalah rentetan panjang keputusan atau pembiaran yang dibuat oleh manusia, terutama mereka yang berada di puncak kekuasaan. 

Jujur saja, hampir setahun pemerintahan Prabowo–Gibran berjalan, saya tidak melihat kebijakan yang benar-benar berpihak pada perlindungan lingkungan. Deregulasi yang melonggarkan perlindungan ekologis justru terus berlangsung tanpa malu-malu. Contohnya, dihapusnya bab penyelesaian sengketa lingkungan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 melalui PP Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Ketika mekanisme keberpihakan dilemahkan, tentu kita tidak bisa berharap alam tetap sabar. 

Di mata saya, isu lingkungan akhirnya hanya menjadi pemanis pidato Prabowo dan pejabat publik lain. Sebab tanpa aksi nyata, ia hanyalah jargon kosong yang tenggelam dalam banjir dan longsor yang kita lihat hari ini. 

Baca Juga: Bencana Ekologis Sumatera, Mungkinkah Korban Gugat Perusahaan dan Pejabat?

Hukum Alam yang Terus Diabaikan 

Sejak kecil, almarhum Papa menanamkan prinsip yang ia sebut “Hukum Alam”. Maksudnya, apa yang ditanam manusia, itulah yang akan dituai. Prinsip itu sederhana, tetapi menjadi fondasi pemahaman saya tentang krisis ekologis hari ini. 

Dalam praktiknya, Papa mengajari saya untuk selalu menghabiskan makanan sesuai porsi agar enggak jadi food wasteLalu menghormati hak hidup tanaman dan hewan, juga tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Ajaran-ajaran sederhana dan terkesan receh ini, tanpa disadari membentuk kesadaran ekologis saya sebagai seorang anak. 

Pelajaran itu betul-betul menjadi jalan masuk saya untuk memahami penyebab sebenarnya di balik so-called bencana alam atau tragedi akibat krisis iklim. Salah satunya adalah kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Bandung Barat pada Agustus 2023. Kebakaran masif itu nyatanya disebabkan penumpukan sampah rumah tangga hingga limbah B3. 

Negara sesuai dugaan, tentu saja datang terlambat seperti polisi-polisi kesiangan di film Bollywood. Tidak ada evaluasi signifikan, kebijakan baru, apalagi penyadaran publik yang memadai. 

Bagi saya, ketika kita semakin sering mendengar kabar bencana, ini justru jadi rambu darurat dari alam. Sebuah peringatan bahwa kerusakan yang kita abaikan akan kembali pada kita dalam bentuk yang lebih besar. 

Indonesia berada di jalur cincin api (Ring of Fire), sehingga gempa, tsunami, dan erupsi gunung adalah bagian dari hidup sehari-hari. Namun kedekatan itu tidak membuat kita lebih siap. Saya ingat jelas gempa Tasikmalaya 2009 ketika masih kanak-kanak. Dalam ketakutan, saya hanya mampu berkata, “Ternyata, kita nggak ada apa-apanya ya kalau alam sudah marah.” 

Belasan tahun kemudian, kalimat itu terasa lebih benar dari sebelumnya. Kita semakin kecil di hadapan alam karena kita sendiri yang memperbesar lukanya. 

Baca Juga: Di Balik Tarik Ulur Negara Tetapkan Status Bencana Nasional Sumatera 

Merawat Alam adalah Tugas Kolektif 

Dalam kajian ekofeminisme, perempuan sering dihubungkan dengan alam bukan untuk mengromantisasi, tetapi karena keduanya sama-sama menjadi korban dari struktur kekuasaan patriarkal dan ekonomi ekstraktif. Perempuan paling terdampak ketika bencana datang, tetapi paling jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan lingkungan. Jabatan publik yang didominasi laki-laki memperlihatkan ketimpangan perspektif dalam merumuskan kebijakan ekologis. 

Hal serupa terjadi pada masyarakat adat yang menjadi penjaga hutan. Keberadaan mereka justru sering diperlakukan seperti ancaman. Kasus Sorbatua Siallagan di Sumatera Utara menjadi contoh nyata kriminalisasi terhadap upaya melindungi ruang hidup. Meski akhirnya vonis dibatalkan Mahkamah Agung pada Juni 2025, fakta bahwa ia harus berjuang melawan sistem adalah gambaran betapa jauhnya negara dari keberpihakan ekologis. 

Dari sinilah saya memahami, merawat alam tidak bisa diserahkan kepada satu kelompok saja. Tidak kepada masyarakat adat, aktivis, atau pemerintah daerah saja. Ini tugas kolektif yang menuntut perubahan cara hidup, cara memproduksi, dan cara membuat kebijakan. 

Pada titik ini, gagasan pertobatan ekologis menjadi ajakan yang tidak bisa lagi ditunda. Dalam ensiklik Laudato Si’, yang dibahas dalam artikel Mongabay Indonesia berjudul “Laudato Si’ dan Pertobatan Ekologis: Spirit Profetik Paus Fransiskus untuk Bumi yang Satu”, 23 April 2025, Paus Fransiskus bilang, Bumi adalah “rumah bersama” yang tidak boleh diperlakukan sebagai objek eksploitasi. Ia mengingatkan, krisis ekologis dan krisis sosial adalah satu krisis yang sama, lahir dari pola hidup dan pola kebijakan yang serakah.   

Baca Juga: Bantuan ‘Antek Asing’, Penjarahan, hingga Pejabat Performatif: 8 Fakta Penting Banjir Sumatera 

Pertobatan ekologis, menurut Laudato Si’, bukan hanya perubahan perilaku, tetapi perubahan batin, cara melihat dunia, dan cara negara membangun kebijakan publik. Misalnya dengan mengembalikan fungsi ruang hidup, memperbaiki regulasi yang pro-perlindungan lingkungan, menghentikan logika pembangunan yang mengorbankan alam, 
serta mengakui bahwa manusia tidak mungkin selamat bila alam tidak selamat. 

Seruan ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat tapi juga negara. Sebab, selama negara menempatkan alam sebagai korban sampingan dari kepentingan ekonomi, bencana akan terus datang lebih sering, besar, dan mematikan. 

About Author

Divya Sanjay

Seorang anak tunggal perempuan juga yatim tertarik dengan isu gender walaupun tidak menjadikan sebagai konsentrasi bidang ketika kuliah, sering mendengar radio. Silakan kontak ke ig @divyasanjayb ya:)