Beramal Itu Banyak Caranya, Termasuk Jadi Dosen Honorer
Mengingat gaji minim yang diterima dosen honorer, pekerjaan ini lebih cocok disebut kegiatan amal dan pengabdian alih-alih sumber nafkah.
Dulu saat saya masih duduk di bangku kuliah S1, sempat terbersit keinginan tetap jadi bagian dari kampus. Bukan hanya sebagai mahasiswa, tetapi berada di depan kelas dan membagikan pengetahuan saya. Keinginan ini terinspirasi dari keberadaan dosen-dosen asyik yang saya temui. Mereka tidak cuma mengajar di kelas, tetapi juga ikut nongkrong di kantin, membaur dengan mahasiswa.
Saya pikir, keinginan untuk lama-lama di kampus cuma angan-angan saja. Sampai akhirnya, saya berkesempatan lanjut studi magister di kampus yang sama. Saat saya hampir lulus S2, semesta mempertemukan saya dengan dosen saya semasa S1, yang rupanya sudah jadi kepala program studi. Usai mengobrol dengannya termasuk soal jurusan yang saya ambil dan tesis saya, dia bilang, “Kamu mau enggak ngajar di S1?”
Mak… Saya waktu itu baru kelar prasidang tesis, belum dinyatakan lulus apalagi memegang ijazah. Namun, keinginan sesumbar saya sudah mewujud di depan mata. Jadilah saya, sampai saat ini kalau dihitung-hitung, sudah sepuluh tahun menghabiskan waktu di kampus, sebagai yang diajar dan yang mengajar.
Baca juga: Kuliah Online di Masa Pandemi Ternyata Lebih Menguras Energi
Besar Pasak daripada Tiang
Seperti halnya cerita-cerita pengajar honorer lainnya, baik guru maupun dosen, pendapatan yang saya terima tidak seberapa. Di sebuah kampus negeri tempat saya mengajar, dosen honorer dibatasi mengajar hanya enam SKS (biasanya satu mata kuliah 3 SKS) dengan durasi mengajar per SKS selama 50 menit. Untuk kuliah 3 SKS, dosen honorer diganjar sekitar Rp225 ribu. Itu sudah termasuk ongkos waktu kuliah masih tatap muka.
Saya beruntung, rumah saya enggak begitu jauh dari kampus, sehingga enggak perlu keluar duit banyak untuk mobilisasi. Namun saya tahu, banyak dosen honorer lain yang tinggalnya jauh dari tempat kami bekerja, bahkan mungkin lebih dari seperempat gajinya bisa habis buat transportasi saja. Belum ditambah dosen juga butuh makan.
Di Quora, beberapa orang yang mengungkapkan gaji mereka selama jadi dosen honorer. Ada yang mengajar di sebuah politeknik negeri, 32 jam per bulan dan mengantongi Rp500 ribu. Di institusi pemerintah di daerah Bali, ada yang digaji Rp63 ribu per tatap muka/2 SKS. Tiap dosen honorer di sana dibatasi mengajar empat mata kuliah, kecuali yang mengajar mata kuliah umum, hanya bisa satu atau dua mata kuliah.
Waktu saya tanya-tanya ke “Dirga”, teman seangkatan di S2 yang juga jadi dosen di kampus swasta di pinggiran kota, dia bilang gajinya lebih tinggi dari saya. Memang, dia mesti menempuh perjalanan sejam lebih buat sampai ke kampusnya, tetapi gajinya yang sudah dipotong ongkos transportasi masih saja sisa jauh lebih banyak dari total gaji saya.
Enggak heran ketika saya dengar ada rekan dosen honorer lain yang memilih cabut dari kampus kami karena perkara besar pasak daripada tiang ini. Bagaimana tidak, pekerjaan mengajar itu tidak pernah sepele.
Dosen perlu mempersiapkan materi kuliah, yang tentunya menuntut buat banyak baca dan cari referensi ter-update untuk meng-upgrade pengetahuannya (sementara, enggak semua dosen honorer punya akses internet cepat dan unlimited, buku-buku pribadi juga terbatas). Dosen juga mesti menyediakan waktu dan tenaga untuk mengoreksi tugas-tugas mahasiswa, serta menghadapi mereka yang mau berkonsultasi soal tugas (termasuk di luar jam kerja) atau skripsi. Belum lagi kalau ada mahasiswa “bermasalah” yang butuh perhatian khusus. Ditambah lagi menghadiri rapat-rapat koordinasi waktu ada perubahan kurikulum.
Lagi, ini yang sering luput dipahami, dosen mana pun juga butuh mempersiapkan mentalnya untuk berhadapan dengan mahasiswa beraneka macam di kelas. Terlebih pada saat pandemi, ketika proses kuliah dialihkan secara daring, sadar atau tidak energi lebih cepat terkuras berjam-jam mantengin layar dan dosen juga mesti pintar-pintar mengemas kuliah supaya tidak menjemukan dan berakhir dengan mahasiswa kelihatan online di Zoom tapi realitasnya dia lagi asyik ngerjain hal lain. Situasi jadi tambah pelik kalau ada kendala teknis selama mengajar. Enggak semua dosen honorer itu orang-orang yang digital savvy, lho. Plus, kami juga mesti belajar lagi menyesuaikan diri dengan sistem yang dibikin kampus untuk mengajar dan waktu serta energi yang kami habiskan untuk semua tadi diganjar secara cuma-cuma.
Jangan sedih, masih ada hal nyebelin lain dari jadi dosen di tempat saya. Sekali dua kali, bayaran saya telat masuk. Alasannya karena beda bank. Padahal mah, sekarang transfer dari mana pun bisa-bisa aja kan real time. Kali lain karena ada masalah administratif. Jadi, saya yang sempat cuma punya pekerjaan sebagai dosen honorer saja selama beberapa semester, jadi megap-megap mandangin kotak listrik yang sudah kedap-kedip. Meski enggak setiap bulan dan sebenarnya saya enggak suka melakukan ini, saya jadi bolak-balik meneror bagian keuangan menanyakan kejelasan gaji saya.
Baca juga: Kuliah ‘Online’ Setahun Kemudian: Pelajaran Mengenal Diri Sendiri
Waktu saya curhat ke Dirga soal ini, seraya mengoreksi tugas-tugas mahasiswa (waktu itu saya mengajar dua kelas yang masing-masing diisi sekitar 30-35 orang), dia nyeletuk sambil cengengesan, “Udah, lu sebar aja itu kertas-kertas. Yang kebuka bagian depannya yang dapet 90.” Saya teringat beberapa waktu sebelumnya, Dirga juga main lagi ke kampus membawa tugas-tugas mahasiswanya, dan karena kami sedang nongkrong ramai-ramai, dia mulai membagi beberapa tugas mahasiswanya ke teman-teman kami, meminta mereka yang menilai.
“Yang ini kayaknya ngarangnya niat, nih, kasi berapa enaknya, ya?”
“70 aja, Dir. Nah, yang ini bagus, nih kayaknya. Banyak kutipannya,” sahut teman kami.
Begitulah Dirga menilai tugas mahasiswanya, macam main cap cip cup kembang kuncup.
Memang, barangkali di luar sana pemikiran macam Dirga tidak langka ditemukan. Buat apa susah payah kalau imbalan yang didapat juga enggak seberapa? Dirga bilang, dia saja yang gajinya lebih besar dari saya “enggak mesti serius-serius amat” dalam mengajar, buat apa saya yang bergaji seiprit masih idealis? Kalau dalam konteks kampus Dirga, penting mahasiswa mendapat nilai bagus karena itu mempengaruhi akreditasi jurusan dan kampus tempat Dirga bergabung.
Mungkin di luar sana, sebagian guru honorer SD sampai SMA juga bersikap serupa Dirga. Alhasil, horor yang kita temukan dalam pendidikan di sini mulai dari level bawah sampai atas. Para pengajar banyak yang tak optimal dalam kerjanya lantaran yang diterima enggak akan berubah sekali pun mereka sudah berusaha sebaik mungkin mengajar.
Sungguh dilematis, kalau hanya mengandalkan gaji sebagai guru honorer, kebutuhan primer susah terpenuhi, apalagi buat yang sudah punya anak. Tapi kalau kita punya pekerjaan lain di luar ini, artinya waktu dan perhatian kita akan terbagi, dan bukan mustahil pengajaran yang optimal terabaikan. Berharap dapat gaji lebih besar juga mesti diangkat jadi pegawai tetap dulu, dan itu prosesnya tentu enggak gampang dan cepat. Sementara, walau enggak sebanyak dosen tetap yang menduduki jabatan struktural, dosen honorer tetap mengemban berjubel tanggung jawab yang beratnya sama dengan pengajar tetap.
Kegiatan Beramal Itu Bernama Mengajar
Bagi saya, berangkat dari pengalaman tadi, susah untuk enggak bilang pilihan mengajar itu adalah beramal. Meski bukan pro bono juga, orang-orang yang mau lanjut mengajar tidak tetap dalam keadaan kampus seperti tempat saya ini bisa dikatakan berdonasi ilmu dan sharing pengalaman saja ke mahasiswa mengingat bayaran kami ya ngepas banget buat makan dan transport saja.
Tidak dimungkiri, ada juga yang bertahan karena prestise bisa mengajar di kampus negeri. Ada yang melihat itu sebagai batu loncatan pengisi CV sebelum nantinya mengajar tetap di kampus yang membayarnya lebih tinggi. Saya sendiri sedang enggak mengejar amat hal-hal kayak begitu sementara saya juga punya pekerjaan lain.
Kalau enggak doyan-doyan amat mengajar dan belajar, saya enggak bakal tahan jadi dosen honorer. Di samping itu, dari segala kekurangan yang saya punya, saya “cuma” bisa berbagi apa yang pernah saya dapatkan ke junior-junior saya di kampus, yang saya sebut sebagai bentuk pengabdian. Ini hal yang setidaknya bisa saya lakukan ke kampus yang bagaimanapun sudah membentuk saya jadi seperti sekarang ini.
Namun masa iya saya hanya memberi tak harap kembali?
Sejak dulu, meski saya bukan anak yang punya banyak teman, saya tetap betah berada di lingkungan kampus. Bukan, bukan karena saya gila belajar. Entah kenapa, saya merasa senang bisa nongkrong di perpustakaan, datang ke acara-acara buatan mahasiswa, dengar penjelasan dosen yang asyik, atau sekadar leyeh-leyeh di bangku kantin sampai matahari tenggelam.
Barangkali karena kampus adalah tempat saya pelan-pelan membuka mata dan telinga lebih lebar untuk mengenal dunia. Pikiran saya yang semula saklek mulai melunak dan terbuka seiring dengan pertemuan saya dengan orang-orang baru dari berbagai daerah, mendengar cerita-cerita seru dosen saat mereka meneliti, atau kini, menghadapi mahasiswa yang unik-unik.
Jadi, boleh saja rekening saya tetap kering setelah jadi dosen, tapi baterai mental saya cukup terisi setelah bisa memberi dan “pulang” ke tempat saya bertumbuh. Dan meski bukan rupiah, rasanya respons mahasiswa yang mengapresiasi usaha kita mengajar dan bilang kuliah kita bermanfaat juga bisa jadi pelipur lara tersendiri.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.