Guru Honorer: Jasanya Dibutuhkan tapi Haknya Diabaikan
Guru honorer punya peran penting dalam pendidikan Indonesia, namun tidak mendapatkan gaji layak.
Sudah hampir 13 tahun Ayisgi menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar di Kabupaten Garut, Jawa Barat, namun gajinya tidak beranjak dari Rp500 ribu sebulan. Meski menetap di daerah dengan biaya hidup tidak semahal di kota besar, namun gaji sebesar itu jelas tidak cukup untuk membiayai dirinya sendiri, apalagi untuk ketiga putrinya.
“Uang segitu ya boro-boro buat manjain diri ya. Buat beli popok aja paling. Untung pekerjaan suami bisa menghidupi kami. Cukupan saja tapi,” ujar perempuan berusia 34 tahun itu pada Magdalene.
Di SD tempatnya mengajar, setidaknya ada lima guru honorer lain yang bernasib sama, dibayar ala kadarnya tanpa ada kejelasan status kepegawaian. Ketika ditanya alasannya bertahan menjadi guru honorer dengan gaji tidak layak, ia mengatakan bahwa mengajar adalah panggilan hatinya. Ditambah lagi, bagi mereka yang menetap di daerah, tidak banyak profesi yang bisa dipilih perempuan. Kurangnya tenaga pendidik di sekolah-sekolah pun menjadi alasan lain sarjana S1 pendidikan itu memilih profesi guru.
“Ya kalau sudah umur segini, kerja enggak cuman mikirin materi, lebih ke amal ibadah ya ngajar itu,” tambahnya.
Mimpinya untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah tidak membara seperti dulu, waktu awal-awal ia mengajar. Ayisgi hanya punya satu kali kesempatan lagi untuk mengikuti seleksi CPNS tahun depan karena batas umur 35 tahun bagi pendaftar calon PNS.
Baca juga: Guru BK Berperan Penting dalam Mendeteksi Depresi Siswa
Kini, ia hanya berharap akan ada keajaiban dari pemerintah untuk mengangkat guru honorer yang sudah lama mengajar. Ayisgi dan kawan-kawannya sudah cukup kenyang memakan janji-janji politik setiap pergantian pemerintahan yang katanya akan membantu memperbaiki nasib mereka, namun hanya berakhir dengan angin lalu saja.
“Lima tahun ke belakang itu seleksi CPNS untuk guru enggak ada, mungkin harus lebih memperhatikan guru yang sudah puluhan tahun mengajar gimana sih solusinya. Kadang yang tua-tua itu suka kelindes sama yang masih muda waktu ujian,” ujarnya.
Terhalang aturan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat ada sekitar 847.973 guru honorer di Indonesia atau 60 persen total keseluruhan guru di Indonesia sebanyak 2.920.672 orang. Dosen sekaligus pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan, masalah guru honorer sudah hampir lima dekade jadi perdebatan. Hal ini diperparah moratorium penerimaan CPNS yang ditutup sejak 2015 lalu, sehingga banyak sekolah yang merekrut guru honorer ketika kekurangan tenaga pendidik karena guru tetap berstatus PNS yang sudah pensiun.
“Dana dari guru honorer ini kan berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang alokasinya sudah termasuk kebutuhan fasilitas sekolah, operasional, dan sebagainya. Jadi kesejahteraan guru honorer ini cukup sulit untuk naik (jika hanya bergantung pada BOS),” ujar Doni, yang merupakan anggota Badan Standar Nasional Pendidikan kepada Magdalene.
Baca juga: Mengapa Kualitas Guru di Indonesia Masih Rendah?
Isu mengenai guru honorer ini juga terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, yang melarang para pejabat maupun instansi pemerintah melakukan pengangkatan secara sepihak pegawai honorer. Pada 2012, PP ini diperbarui dan mengatur soal pegawai honorer kategori satu, honorer kategori dua, dan jabatan mendesak untuk diangkat menjadi CPNS.
Namun setelah dikeluarkannya PP tersebut, tidak ada lagi pengangkatan guru honorer menjadi PNS. Pada 2018, akhirnya mulai dicanangkan solusi lain lewat pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) lewat penerbitan PP No. 49/2018. Namun kebijakan PPPK tersebut baru diaktifkan November ini oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Tahun ini, Nadiem telah mengeluarkan dua kebijakan besar untuk guru honorer yaitu Bantuan Subsidi Upah sebesar Rp1,3 juta untuk dua juta guru honorer negeri dan swasta, serta PPPK.
Nadiem mengatakan, ia berharap PPPK ini bisa memberi kesempatan yang adil untuk para guru honorer untuk membuktikan kompetensi mereka sebagai tenaga pendidik. Pembukaan seleksi PPPK ini regulasinya tak lagi bergantung pada anggaran pemerintah daerah namun diambil alih oleh pusat, ujarnya.
“Saya sadar kalau guru honorer itu punya kebesaran hati. Saya ingin mereka yang masih digaji Rp100-300 ribu mempunyai kesempatan yang sama. Ini merupakan bagian dari filsafat merdeka belajar. Jadi ini kan jatuhnya seleksi ya. Bedanya kebijakan dulu itu terbatas sekarang enggak, siapa saja bisa mendaftar dan bisa berulang-ulang sampai tiga kali,” ujar Nadiem dalam webinar Pengumuman Rencana Seleksi Guru PPPK tahun 2021 (23/11).
Masalah guru honorer dapat diwujudkan dengan melakukan sinergi regulasi dan pedoman praktis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga tidak ada lagi kecenderungan saling lempar tanggung jawab.
Menurut Doni, sebetulnya pemerintah daerah bisa saja mengambil gaji guru honorer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun jarang ada yang mau, sehingga gaji guru honorer hanya mengandalkan dana BOS dari pemerintah pusat saja.
“Jadinya ya saling tuding saja, yang daerah nyalahin pusat, yang pusat katanya itu dikembalikan ke kebijakan daerah. Cuman masalahnya pemerintah daerah mau enggak menempatkan guru honorer ini secara serius?” ujar Doni.
Ia menambahkan, guru honorer rentan dijadikan komoditas politik. Iming-iming akan otomatis diangkat menjadi PNS setelah 10 tahun mengajar masih jadi isu seksi untuk dijadikan janji kampanye, sehingga kekesalan Ayisgi dan kawan-kawannya cukup beralasan, ujar Doni.
Guru honorer permasalahan HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan Rabu (25/11), masalah kesejahteraan guru honorer sangat erat kaitannya dengan regulasi sebagai payung hukum yang melindungi mereka dan hak asasi manusia sebagai pemenuhan hak hidup layak yang patut mereka terima.
Secara umum, Komnas HAM menilai jika permasalahan guru honorer ini melingkupi dua aspek. Pertama, aspek normatif akan berbagai aturan perundangan dan surat edaran yang dikeluarkan pemerintah yang mempersulit guru honorer yang sudah puluhan tahun mengajar untuk mengikuti seleksi menjadi PNS. Kedua, aspek praktis yaitu kebutuhan hidup (remunerasi); otonomi daerah; kualifikasi dan kapasitas: syarat umur, syarat minimal pendidikan, dan tidak lulus tes; dan distribusi guru honorer tidak merata.
Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia
Komnas HAM percaya jika penanganan masalah guru honorer dapat diwujudkan dengan melakukan sinergi regulasi dan pedoman praktis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga tidak ada lagi kecenderungan saling lempar tanggung jawab.
“Kami melihat contoh yang bagus di pemerintah Kota Bekasi, di mana mereka memiliki Peraturan Walikota tentang Pengangkatan Tenaga Honorer baik guru maupun non-guru menjadi Tenaga Kerja Kontrak (TKK) yang nantinya dapat dijadikan modalitas dalam penanganan guru honorer maupun pegawai honorer (nonguru),” tulis Komnas HAM.
Doni menambahkan, selain fokus untuk memperbaiki regulasi dan birokrasi serta kebijakan terhadap guru honorer, pemerintah juga harus memperhatikan masalah kualitas tenaga pengajar yang punya peran penting untuk menentukan masa depan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Menurutnya, penting agar berbagai upaya menyejahterakan guru honorer tersebut beriringan dengan kualitas pengajar yang mumpuni.
“Bagus memang kalau masalah guru honorer ini mulai dilirik sebagai hal yang serius, tapi ya kita juga harus memikirkan ekosistem pendidikan kita. Karena kalau enggak ada kualifikasi yang menilai kualitas guru tentu itu bukan kabar baik bagi masa depan pendidikan kita,” kata Doni.