‘Kapan Lulus’, Pertanyaan Basi Mahasiswa Tingkat Akhir yang Tak Simpatik
Sudah stres mengerjakan skripsi, mahasiswa tingkat akhir masih harus mendengar pertanyaan “kapan lulus kuliah?” yang semakin membebani.
Pertanyaan tersebut kerap diutarakan oleh orang tua, keluarga besar, dan teman-teman. Tujuannya kadang untuk menunjukkan perhatian atau sekadar basa-basi. Ya saya tahu, biaya kuliah memang mahal, dan keuangan menjadi salah satu faktor orang tua “menuntut” anaknya segera merampungkan studi. Buat mereka, kuliah lama-lama juga dinilai membuang waktu, karena bisa digunakan untuk segera mengejar karier atau melanjutkan pendidikan.
Namun, mereka kerap lupa, ada banyak faktor yang membuat seseorang tak bisa menuntaskan pendidikan tepat waktu. Alih-alih malas atau bodoh, bisa jadi ia harus nyambi bekerja demi menghidupi diri dan keluarga. Ada pula yang memilih memperkaya pengalaman organisasi untuk berjejaring demi kesiapan karier. Alasan yang lebih nyesek, ada yang mati-matian berusaha menyelesaikan kuliah di bidang yang tak ia inginkan, sampai alasan teknis soal sulitnya mengakses dosen pembimbing skripsi, beban kredit per semester, atau alasan pagebluk yang rentan bikin stres.
Assistant Vice President for Academic Affairs di Indiana University, Rebecca Torstrick menjelaskan kepada The New York Times, “Banyak mahasiswa tidak mengerti apa yang perlu dilakukan agar lulus tepat waktu.”
Apa yang dikatakan Torstrick mencerminkan perilaku mahasiswa, seperti memilih mengambil sedikit mata kuliah per semesternya, dan tidak mengetahui jika semakin besar indeks prestasi kumulatif (IPK), semakin banyak mata kuliah yang bisa diambil.
Padahal jika disadari, kedua hal tersebut merupakan salah satu strategi lulus tepat waktu. Namun faktanya, tidak semua mahasiswa mempertimbangkan secara matang kehidupan akademisnya di bangku kuliah, bahkan sebagian menjalani seperti air mengalir.
Baca Juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?
Stres Mengintai
Di luar faktor-faktor itu, menyaksikan teman-teman seangkatan lulus “tepat waktu” bukan perkara mudah bagi mahasiswa yang harus berjuang lebih lama, karena membuat seseorang merasa tertekan dan dapat membuatnya merasa gagal.
Hal ini dialami oleh Vania (23), mahasiswi Jurnalistik tingkat akhir sekaligus penulis lepas.
“Sewaktu tahu harus extend kuliah, ada pikiran kalau timeline hidup akan tertunda ketinggalan dibandingkan teman-teman, dianggap kurang pintar, dan merasa seperti gagal,” ceritanya kepada Magdalene, (31/8).
Ia terpaksa memperpanjang waktu kuliah lantaran ketentuan kerja magang dan kesalahan sistem kuliah asinkron. Dari situ, tanpa sadar Vania merasa ada tuntutan melakukan lebih banyak hal dibandingkan teman-temannya, sebagai kompensasi waktu ekstra yang harus dilalui di bangku kuliah.
“Mungkin itu bentuk pembuktian ke diri sendiri, keluarga, dan teman-teman, kalau saya extend karena mishap, bukan tidak mampu,” jelasnya.
Merujuk laporan Grand Challenges in Student Mental Health (2014) oleh Student Minds, sebuah lembaga nasional asal Inggris yang membantu kesehatan mental siswa, stres termasuk dalam permasalahan kedua yang dialami mahasiswa.
Berawal dari stres, mahasiswa berpotensi mengalami masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan, depresi, perfeksionis, dan obsessive compulsive disorder (OCD). Terlebih jika kewajiban yang ditanggung sampai membebani bukan hanya mengerjakan skripsi, melainkan bekerja sehingga harus mampu membagi waktu.
Tantangan itu dihadapi oleh Jericho (22), mahasiswa Teknologi Informasi tingkat akhir, yang menekuni profesi videografer paruh waktu. Ia memutuskan tetap bekerja walaupun harus mengurangi durasinya, lantaran tetap membutuhkan penghasilan untuk hidup dan membayar biaya kuliah.
“Sekarang lebih tahu diri dan membatasi kerja, karena waktunya lebih banyak digunakan untuk skripsian. Mau sedikit atau banyak, setiap hari skripsinya harus ada progress,” tuturnya yang berusaha menyelesaikan kuliah di dua semester terakhir.
Baca Juga: Pendidikan Perempuan untuk Siapa?
Selain faktor internal, melihat kesuksesan orang lain sering kali membuat diri tergugah untuk mengalami hal yang sama. Terlebih di era media sosial ini, ketika prestasi dipublikasikan lewat unggahan.
Kondisi ini terdengar sepele, dan setiap orang memiliki hak untuk membagikan momen apapun dalam hidupnya. Namun, mereka yang merasa tertinggal justru menerima tekanan dan membandingkan diri, seperti dialami Vania.
“Sempat merasa ingin ada di kebahagiaan itu juga, tapi coba menyadarkan diri untuk ikut bahagia atas pencapaian mereka. Lagipula, someone’s success is not a question mark to us,” ucapnya.
Dukungan yang Diperlukan Mahasiswa
Jika merujuk penelitian oleh akademisi asal Mesir, Mohamed Fawzy dan Sherifa Hamed, dalam “Prevalence of psychological stress, depression and anxiety among medical students in Egypt” (2017), mengurangi kepuasan dan kualitas hidup, kehilangan kepercayaan diri, dan gangguan kejiwaan adalah dampak lain dari stres.
Maka itu, kita sering mendengar berita, mahasiswa memutuskan mengakhiri hidup karena mengalami kesulitan dalam mengerjakan skripsinya. Catatan Jatim Times misalnya menyebutkan, setidaknya 10 mahasiswa memutuskan bunuh diri sejak 2014 hingga 2020. Alasannya seragam: Stres skripsi. Catatan ini semestinya jadi refleksi kita, untuk memperhatikan orang-orang di sekitar yang berjuang menyelesaikan pendidikan, dan tidak menghakimi seenaknya.
Bagi Jericho, perhatian kecil dari orang lain, seperti menanyakan progress skripsinya, membantunya untuk tekun mengerjakan. Sementara Vania berpendapat, dukungan itu datangnya dari dalam diri.
“Penting bagi kita memaknai kejadian ini. Kalau sudah berdamai dengan diri sendiri, mau orang lain mengatakan apapun enggak akan berpengaruh,” katanya.
Selain itu, ia pun mengobrol dengan teman-teman yang pernah melalui hal serupa. Secara tidak langsung, ada perasaan tenang dalam benak Vania setelah mendengar penghiburan dari mereka.
Baca Juga: Kembali Bersekolah di Usia ‘Tepat’ 40 Tahun
Orang tua pun perlu memahami kondisi anaknya, bukan menuntut terus-menerus agar segera lulus, terutama dalam masa pandemi yang membuat beban bertambah, lantaran sistem belajar online dan berkurangnya interaksi langsung dengan support system.
“Untungnya orang tua menerima dan mengerti alasan saya extend kuliah. Mereka pun mengingatkan untuk lulus tahun ini, cuma lebih concern supaya enggak buang-buang waktu,” ujarnya.
Tak hanya lingkungan pribadi, partisipasi pihak universitas diperlukan dalam kesejahteraan psikologis mahasiswa. Mereka dapat membentuk sebuah lembaga yang menangani masalah kesehatan mental mahasiswa, agar mereka dapat memahami kondisi dan kebutuhannya.
Begitu pun dengan para dosen pembimbing skripsi dan akademis, tidak seharusnya mempersulit proses pengerjaan dan kelulusan mahasiswa, sesederhana menunjukkan kehadiran di setiap bimbingan agar bisa berkonsultasi.
Dari situ, mahasiswa merasa tidak hanya “tuntutan” yang diberikan oleh kampus untuk diselesaikan, tetapi ada bentuk kepedulian dengan diberikan wadah untuk menanggung keluh kesahnya, sehingga tergerak untuk tetap memprioritaskan pendidikan.