Politics & Society

Berhijab atau Tidak Tetap Hadapi Stigma

Banyak perempuan mengalami stigma dan kekerasan verbal secara langsung karena menggunakan, melepaskan, atau tidak menggunakan hijab.

Avatar
  • February 8, 2018
  • 5 min read
  • 879 Views
Berhijab atau Tidak Tetap Hadapi Stigma

Waktu kuliah, saya aktif di organisasi Islam kampus, sebuah organisasi yang dikenal moderat dengan alumni-alumni yang menghasilkan karya-karya intelektual yang mendukung kebinekaan, keindonesiaan, pluralisme, dan sekularisme.

Ada berbagai tingkatan kader dalam organisasi tersebut. Tingkat paling mikro adalah komisariat yang terdiri dari kader-kader baru dan para pengurus yang menjalankan organisasi tingkat fakultas dalam jenjang strata satu. Dalam komisariat saya, hampir seluruh anggota perempuan menggunakan hijab, termasuk saya. Saya pribadi menggunakan hijab sejak kelas 5 sekolah dasar.

 

 

Suatu kali, seorang kakak tingkat perempuan di organisasi tempat kami bergabung tersebut bercerita bahwa ia mendapat tekanan dari para pengurus untuk mengenakan hijab karena dia seorang pengurus organisasi. Akhirnya dia pun menggunakannya saat perekrutan anggota baru organisasi.

Saya merasa ada hal baru dari senior saya tersebut, lalu saya bertanya, “Sudah nyaman, Kak?”. Kami memang sangat dekat sehingga tidak canggung mengutarakan pikiran.

“Karena tekanan lingkungan, Fatimah,” ujarnya.

“Kak, Kakak punya hak atas diri Kakak sendiri,” kata saya.

Kisah yang hampir serupa terjadi pada pertengahan 2016 lalu, saat saya mengikuti sebuah pelatihan selama dua minggu tentang hak asasi manusia di Jakarta. Pada akhir sesi pelatihan, salah satu teman dalam pelatihan tersebut bercerita bahwa selama dia berkuliah yakni di salah satu universitas negeri di Jakarta, dia mendapat tekanan dari teman-teman satu kelasnya di jurusan Sosiologi lantaran hanya dia yang tidak mengenakan hijab. Teman saya mengatakan, hal yang paling menyakitkan baginya adalah ketika teman-temannya melakukan stigma bahwa ia merupakan perempuan yang belum mendapatkan hidayah ke jalan yang benar. Bahkan ia sempat dijauhi dari pergaulan teman-teman sekelasnya lantaran dia tidak mengenakan hijab.

Pengalaman saya sendiri adalah pada 2016, ketika saya pergi bertamasya dengan seorang teman, yang juga berhijab, di sebuah danau. Dua orang ibu yang tengah berbincang-bincang di dekat kami, tiba-tiba menunjuk-nunjuk ke arah kami. Dua ibu tersebut mengatakan bahwa perempuan-perempuan muslim adalah perempuan-perempuan lemah yang posisinya rendah dibanding pria dalam segala praktik terkait agama. Poligami dan hak waris, menurut mereka, adalah hal-hal menindas namun perempuan Muslim tidak kuasa menolak akibat doktrin agama yang memosisikan diri mereka sebagai lemah dan rendah.

Saya sebetulnya ingin mendengarkan argumentasi ibu-ibu tersebut hingga mereka selesai berbicara. Saya ingin mendengarnya dengan seksama agar saya tidak terbawa prasangka. Namun, teman saya menarik tangan saya untuk segera pergi dari tempat tersebut sambil mengusap air matanya. Kami pun pergi meninggalkan tempat wisata tersebut.

Kali lain pada Oktober 2017 lalu, saat saya mengikuti salah satu lokakarya internasional bagi para pegiat sosial yang diselenggarakan di Yogyakarta. Di sana, saya bertemu dengan berbagai aktivis gerakan sosial yang berkonsentrasi pada peningkatan akuntabilitas, tata kelola yang baik, feminisme, keterbukaan informasi publik, dan hak asasi manusia, hingga para wartawan dari wilayah Asia.

Para peserta yang bukan hanya berasal dari Indonesia mencoba untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi sosial setempat. Panitia, yang juga berasal dari luar negeri, meminta para peserta yang bertato untuk menutup tatonya. Celana yang dipakai minimal panjangnya sampai lutut, bahkan dianjurkan menggunakan celana panjang saja. Bagi perempuan diharapkan menggunakan kaos yang panjangnya minimal sampai bahu dan menutupi pusar.

Fasilitator acara mengutarakan tentang kondisi sosial-politik di Indonesia yang masih rentan dengan kekeruhan politik identitas, serta organisasi-organisasi massa yang mudah melakukan aksi kekerasan atas nama agama. Saya setuju dengan argumentasi tersebut. Namun, seketika itu pula muncul lelucon sarkastis dari para peserta, meliputi poligami dan aksi terorisme.
 

Memaksa atau menghakimi seorang perempuan atas pilihannya mengenakan, melepaskan, atau tidak menggunakan hijab adalah masalah yang perlu diperhatikan. Setiap perempuan memiliki hak atau otonomi atas tubuhnya.

Dalam acara tersebut, peserta yang menggunakan hijab hanya saya. Ketika sarkasme itu muncul, para peserta memandang lekat-lekat ke arah saya sehingga muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah saya dan identitas keagamaan, yakni hijab saya, mewakili pendukung poligami atau teror kekerasan atas nama agama tersebut? Atau apakah saya perlu dikasihani lantaran saya dan identitas saya adalah bentuk ketertindasan jenis kelamin perempuan dalam agama saya yang pada akhirnya mempengaruhi posisi gender saya di lingkungan saya?

Sebagai seorang Muslimah, saya pribadi sangat tidak setuju dan sangat tidak mendukung praktik-praktik menindas yang dilakukan atas nama agama, misalnya poligami yang bagi saya merupakan kekerasan psikologis bagi seorang istri, aksi-aksi kekerasan atas nama agama, serta politik identitas keagamaan yang mengorbankan hak-hak kelompok minoritas yang menjadi sasaran. Bahkan memaksa atau menghakimi seorang perempuan atas pilihannya mengenakan, melepaskan, atau tidak menggunakan hijab adalah masalah yang perlu diperhatikan. Karena setiap perempuan memiliki hak atau otonomi atas tubuhnya.

Mengenai persoalan identitas, perempuan sebagai kelompok rentan kerap mengalami kekerasan berlapis. Pertama, kekerasan muncul akibat perempuan tidak dilibatkan dalam perumusan definisi, pembentukan nilai dan distribusi norma-norma, baik yang berkaitan dengan identitas keagamaan atau identitas kebudayaan. Perempuan tidak memperoleh hak dan akses langsung terhadap pembentukan norma dan nilai padahal sangat berhubungan erat dengan kebutuhannya, mengakibatkan posisi perempuan terombang-ambing oleh tekanan-tekanan identitas sosial dan kontrol atas tubuhnya.

Kedua, karena akses pembentukan nilai-nilai yang sedari awal tidak melibatkan perempuan, ditambah dengan nilai-nilai dan aturan keagamaan yang misoginis, kentalnya budaya patriarki, dan keputusan-keputusan politik yang maskulin, hak-hak perempuan untuk menentukan identitas individual serta otonomi atas pengaturan terhadap tubuhnya kerap diintervensi oleh individu hingga masyarakat yang merasa memiliki otoritas dalam menentukan dan mengontrol tubuh perempuan.

Ketiga, perempuan yang mengenakan atribut keagamaannya rentan mengalami stigma akibat perilaku oknum kelompok atau individu yang melakukan kekerasan atas nama agama. Perempuan yang mengenakan atribut keagamaan tersebut meski tidak terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan, namun dianggap mewakili kelompok keagamaan tersebut.

Perempuan masih menjadi obyek dari interpretasi dan implementasi nilai-nilai serta keputusan-keputusan yang dibuat oleh pihak-pihak yang merasa otoritatif dalam mengendalikan dan mengontrol kehidupan perempuan. Otoritas tersebut eksis dalam pengendalian atas identitas dan tubuh perempuan. 

Fatimah Suganda adalah penikmat diskusi dan pencinta dunia literasi. Menjadi seorang blogger sejak 2013. Fatimah dapat dijumpai di http://fatimahsuganda.web.id/ 



#waveforequality


Avatar
About Author

Fatimah Suganda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *