Berpakaian Tertutup atau Terbuka, Perempuan Bukan Obyek
Bisakah kita menghargai perempuan bagaimana pun mereka, apa pun yang mereka kenakan?
Obrolan-obrolan warung kopi bersama teman lama selalu membuat saya nyaman. Begitu hangat dan lekat, hingga tidak menyadarkan saya waktu untuk pulang. Tapi kenyamanan itu hilang saat salah satu dari mereka memperhatikan baju saya yang tembus pandang dan langsung melihat ke arah dada saya. Beha yang saya kenakan samar-samar tertangkap matanya.
Salah satu lainnya menyuruh saya mengenakan jaketnya, untuk menutupi bias beha saya.
Saya berusaha tenang namun hati saya tidak bisa menerima perlakuan teman-teman saya. Akhirnya saya tanya, “Memang kenapa kalau gue pakai kaos begini? Bukannya hak gue mau pakai baju macam apa pun?”
Mereka diam untuk beberapa saat.
Lalu seseorang membuka suara dan mengatakan tentang perbedaan penampilan seorang perempuan; perempuan mana yang lebih membuat mereka penasaran, yang menggunakan pakaian tertutup atau terbuka. Teman-teman yang lainnya, kebetulan semuanya laki-laki dan saya perempuan sendiri saat itu, mengamini apa yang ia katakan.
Lalu saya bertanya, “Kalau begitu, berarti perempuan cuma obyek dong?”
“Lho, memang iya. Saat perempuan sudah berpenampilan terbuka, dan apalagi ia sudah kehilangan keperawanannya, ia memang menjadi sebuah obyek pemuas nafsu laki-laki saja,” kata teman saya.
Saya kaget sekaligus marah. Ingin rasanya berteriak dan mencaci tapi ia adalah sahabat saya. Saya sedih sekaligus kecewa, ternyata sahabat saya pun, bahkan sama sekali belum bisa menghargai perempuan.
Saya menarik napas panjang dan membuka suara untuk menjelaskan betapa menyakitkannya kata-kata itu.
Saya tekankan saya tersinggung. Keriuhan obrolan mereka sejenak mereda.
“Gue tersinggung dengan apa yang lo bilang, kata-kata yang lo bilang langsung menyentuh privasi guG. Gue sudah enggak perawan sejak SMA, dan gua pake baju terbuka karena memang itu kemauan gue. Kalau semua orang menganggap perempuan serendah itu, buat apa gue melanjutkan hidup? Bahkan di lingkungan gue sendiri, bahkan kalian masih menganggap perempuan serendah itu”.
Hati saya meringis, kata-kata teman saya itu terus terngiang di kepala. Membuat hari-hari saya tidak semangat, memengaruhi segala sudut pandang yang sudah saya bangun tentang mereka. Membuat saya hancur.
Obyek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sebuah hal, benda, atau seseorang yang menjadi topik pembicaraan.
Pernyataan “obyek pemuas nafsu laki-laki” menjelaskan bahwa laki-laki menganggap perempuan sebagai benda. Benda, alat, yang bisa digunakan kapan saja saat mereka butuh, dan disia-siakan atau dibuang setelah mereka tidak butuh atau mendapat yang baru. Mereka lupa bahwa si benda ini berbeda dengan benda lainnya. Si benda ini memiliki perasaan.
Si benda ini punya rasa ingin dihargai, si benda ini ingin dianggap ada, sebagai manusia, bukan sebagai benda.
Saya kemudian mengutuk siapa pun yang mencela perempuan, bahkan si perempuan itu sendiri.
Bisakah kita menghargai perempuan bagaimana pun mereka, apa pun yang mereka kenakan? Bisakah kita mengesampingkan persoalan selangkangan atau selaput dara? Hanya dengan menganggap mereka ada, dan memiliki perasaan, sama dengan laki-laki menganggap laki-laki lainnya, menganggapnya manusia. Sebab kami, perempuan, juga manusia. Kami bukan obyek.
Fauziah F. Nur Baharuddin adalah mahasiswi semester akhir yang sedang berjuang untuk lulus, dan bekerja memenuhi tuntutan tinggal di ibukota.