Mengenal Judith Butler, Si Pencipta Teori Perfomativitas Gender
Lewat Judith Butler, kita belajar gender tak pernah biologis tapi ditampilkan lewat cara berpakaian, bersikap, dan berbahasa.
Nama Judith Butler cukup terkenal di Amerika Serikat (AS) bahkan dunia. Di antaranya karena ia punya peran penting untuk para intelektual dan komunitas queer (istilah payung untuk minoritas seksual yang mengidentifikasi dirinya bukan heteroseksual, heteronormatif, atau biner gender). Banyak juga buku ilmiah, mata kuliah di universitas, klub penggemar, laman media sosial dan komik yang didedikasikan untuk pemikiran Butler.
“Mereka” (panggilan pilihan Butler) tidak sendirian menciptakan teori queer dan perluasan identitas gender saat ini, tetapi karya mereka sering dikreditkan dalam membantu membuat perkembangan ini menjadi mungkin.
Banyak juga gerakan politik yang mengilhami karya Butler. Butler pernah bekerja untuk Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional, berbicara pada protes Occupy Wall Street (gerakan protes sosial yang di Zuccotti Park, distrik keuangan Wall Street New York, pada September 2011), membela kampanye Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) (aksi mendukung boikot, divestasi dan sanksi terhadap Israel atas apa yang dilakukannya di Palestina). Tindakan Butler yang paling terkenal adalah menolak menerima penghargaan keberanian sipil (Civil Courage Award) di Berlin karena penyelenggaranya melontarkan komentar-komentar rasis.
Hal-hal yang dilakukannya kerap menimbulkan kontroversi. Beberapa gerakan sayap kanan dan tokoh agama yang meyakini peran gender konservatif melihat Butler sebagai ancaman bagi masyarakat. Ini ironis, mengingat karya-karya Butler selalu mempertahankan komitmen terhadap keadilan, kesetaraan, dan antikekerasan.
Baca juga: Queer Love: Kapan Seseorang Disebut Queer?
Teori Performativitas Gender
Peninggalan paling berpengaruh dalam karya Butler adalah teori performativitas gender. Dalam seluruh karya Butler selama beberapa dekade, teori ini telah melalui proses penyempurnaan, tetapi paling banyak dibahas secara langsung dalam buku “Gender Trouble” (1990), “Bodies That Matter” (1993), dan “Undoing Gender” (2004).
Dalam karya-karya tersebut, Butler menantang pemahaman esensialis tentang gender: Termasuk asumsi maskulinitas dan feminitas adalah sesuatu yang diberikan secara alamiah atau biologis, maskulinitas harus dilakukan oleh tubuh laki-laki dan feminitas oleh tubuh perempuan, dan tubuh-tubuh tersebut secara alamiah menginginkan “lawannya”.
Hidup dalam komunitas gay dan lesbian, Butler telah melihat bagaimana bahkan di kalangan feminis, asumsi-asumsi ini sering kali mengakibatkan kehidupan yang tidak layak bagi mereka yang tidak mengikuti ekspektasi gender.
Karena itu, Butler mulai menantang cara-cara yang selama ini digunakan untuk menampilkan maskulinitas dan feminitas –– yang biasanya juga dianggap sebagai cara yang benar untuk “melakukan” gender. Butler menggunakan konsep “norma” gender untuk menggambarkan kebingungan tentang apa yang “ada” dengan apa yang “seharusnya”, kebingungan yang menghalangi kita untuk melihat kemungkinan cara hidup yang lain sebagai sesuatu yang sah atau bahkan membayangkan adanya kemungkinan seperti itu.
Sebaliknya, Butler mengusung konsep gender tidak bersifat biologis, tetapi performatif. Istilah performativitas tidak hanya berarti kinerja. Kita dapat memahaminya jika menggunakan istilah ahli bahasa konsep, J.L. Austin, tentang ujaran performatif yang mengacu pada pernyataan yang menghasilkan apa yang dinyatakannya. Contohnya adalah pernyataan, “Saya sekarang menyatakan kamu sebagai suami dan istri”. Jika diucapkan oleh seseorang yang secara sosial punya wewenang untuk mengucapkannya, pernyataan itu bisa menciptakan pasangan suami istri.
Butler berpendapat gender bekerja dengan cara ini: Ketika kita menamai seorang anak sebagai “perempuan” atau “laki-laki”, kita secara tidak langsung berkontribusi dalam menciptakan mereka sebagai sesuatu yang seperti itu. Dengan menyebut orang lain (atau diri kita sendiri) sebagai laki-laki atau perempuan, kita sedang dalam proses menciptakan dan mendefinisikan kategori-kategori tersebut.
Beberapa teori gender membedakan antara jenis kelamin biologis dan gender sosial, tetapi Butler menganggap hal ini kontraproduktif. Bagi Butler, membicarakan jenis kelamin biologis yang ada di luar makna sosialnya adalah hal yang tidak masuk akal. Jika memang ada, kita tidak dapat menemukannya, karena kita terlahir ke dalam dunia yang sudah memiliki pemahaman tertentu mengenai gender, dan dunia tersebut kemudian secara retrospektif memberi tahu kita makna anatomi kita. Kita tidak dapat mengenal diri kita sendiri di luar makna sosial tersebut. Faktanya, sebagian besar karya Butler memang mengingatkan, kita tidak dapat sepenuhnya mengenal diri kita sendiri.
Baca juga: Queer Love: Benarkah Pria Gay Anti-Komitmen?
Pada titik ini, Butler sering dituduh berpikir gender sepenuhnya disebabkan oleh bahasa dan tidak ada hubungannya dengan tubuh. Atau kita dapat dengan mudah memutuskan jenis kelamin kita saat kita bangun di pagi hari.
Padahal maksudnya bukan itu. Maksud Butler adalah kita mereproduksi gender tidak hanya melalui cara berbicara yang diulang-ulang, tapi juga melalui perbuatan. Kita berpakaian dengan cara tertentu, melakukan latihan tertentu di tempat olahraga, menggunakan bahasa tubuh tertentu, mengunjungi dokter spesialis tertentu, dan seterusnya. Melalui pengulangan seperti itu, gender diperkuat, lapis demi lapis, hingga tampak tak terhindarkan.
Namun, pekerjaan menciptakan dan mendefinisikan ulang gender ini tidak pernah selesai – agar norma-norma gender dapat bertahan, norma-norma tersebut harus terus diulang. Ini berarti dalam jangka panjang, norma-norma gender pada dasarnya terbuka untuk berubah. Kita tidak akan pernah bisa membuat norma-norma tersebut benar-benar “benar”, dan jika kita berhenti melakukannya, atau melakukannya dengan cara yang berbeda, kita berpartisipasi dalam mengubah maknanya. Hal ini membuka kemungkinan bagi gender untuk berubah.
Ini bukanlah cara yang mudah untuk dipikirkan, karena mereka menantang beberapa asumsi yang paling kita kenal tentang apa itu manusia, apa itu gender, dan bagaimana bahasa bekerja. Inilah salah satu alasan mengapa tulisan Butler terkenal sebagai tulisan yang “sulit”. Namun, popularitas karya mereka menunjukkan ada banyak orang yang merasa kehidupan mereka tidak cukup dijelaskan dengan cara berpikir “akal sehat”.
Kehidupan yang Menyedihkan, Rentan, dan Nonkekerasan
Selama 20 tahun terakhir, tulisan Butler telah meluas melampaui gender ke bidang-bidang lain, seperti pengucilan dan penindasan politik. Tema yang mendasari sebagian besar karyanya yang terbaru ini adalah keprihatinan tentang bagaimana beberapa individu tidak dianggap sebagai manusia.
Butler merangkum tema-tema tersebut dalam konsep grievable life (kehidupan yang menyedihkan), yang menarik perhatian pada cara-cara di mana beberapa kehidupan tidak diratapi secara terbuka. Mereka tidak pernah diakui secara terbuka sebagai orang yang benar-benar hidup sejak awal.
Butler memberikan contoh orang dengan HIV/AIDS yang meninggal dunia namanya jarang masuk kolom berita kematian di koran-koran besar AS, demikian juga dengan para tahanan di Teluk Guantanamo, warga Palestina yang dibunuh oleh militer Israel, warga kulit hitam yang dibunuh oleh polisi AS, dan para pengungsi serta orang-orang tanpa kewarganegaraan yang meninggal saat melintasi perbatasan.
Mereka dibiarkan saja menjalani kehidupan yang tidak layak dan berbahaya, serta menghadapi ancaman kematian tanpa akuntabilitas publik yang serius. Dalam dunia neoliberal yang mengglobal pada saat ini, semakin banyak orang yang hidup dalam situasi seperti itu, tanpa dukungan sosial yang memadai, layanan kesehatan, lingkungan yang berkelanjutan, maupun akses ke ruang publik. Butler menyebut situasi ini sebagai kerawanan.
Sering kali pengucilan terhadap kelompok tertentu ini dijustifikasi melalui bingkai yang memosisikan mereka sebagai ancaman terhadap keamanan, dan demi mempertahankan keamanan ini, dibenarkan untuk memberlakukan kerawanan pada orang lain. Contohnya seperti yang dilakukan oleh pemerintah AS setelah peristiwa 9/11 dalam war on terror (perang melawan teroris – strategi perang AS yang menyasar segala aspek yang, menurut AS, bertujuan memberantas terorisme).
Baca juga: Queer Love: Antara Melela atau Tidak
Untuk melawan pandangan semacam itu, Butler memunculkan konsep etika nirkekerasan. Konsep ini didasarkan pada pemahaman, kita menjadi diri kita sendiri hanya melalui hubungan dengan orang lain. Ini artinya tidak ada kehidupan yang sepenuhnya aman dan independen. Kita tidak dapat memilih dengan siapa kita berbagi planet ini dan semua orang selalu dapat menyakiti kita. Pada akhirnya, jika kita ingin bertahan hidup bersama, kita harus belajar untuk mengakui dan hidup dengan kerentanan bersama, sesulit apa pun itu.
Hal ini mungkin terdengar idealis, namun ini bukanlah etika yang mengasumsikan manusia itu “baik”. Etika ini dimulai dari anggapan mereka tidak baik. Melakukan tindakan tanpa kekerasan akan selalu ambivalen dan sulit, terutama di dunia yang penuh dengan kekerasan. Namun, kita perlu menyadari kapasitas kita untuk menjalani kehidupan yang layak bergantung pada kondisi-kondisi yang mendukung kehidupan yang juga memungkinkan orang lain (manusia dan non-manusia) untuk hidup.
Butler menemukan penerapan performatif dari pendekatan ini dalam beberapa aksi protes bersama, seperti gerakan Occupy Wall Street_ di New York dan protes Gezi Park di Turki tahun 2013, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul untuk menyerukan dunia yang lebih adil dan setara.
Butler mengingatkan kita, kerentanan tidak selalu buruk; kerentanan adalah sesuatu yang memungkinkan kita untuk hidup. Semua tubuh harus terbuka terhadap dunia dan orang lain. Mereka harus bisa menerima dan memberi: makan, bernapas, berbicara, dan menjalin relasi yang intim. Tubuh yang tidak mampu melakukan hal ini tidak akan bisa hidup. Pada akhirnya, Butler mengingatkan kita, sering kali secara puitis, bahwa untuk menjadi diri kita sendiri sepenuhnya, kita saling membutuhkan satu sama lain.
Anna Szorenyi, Dosen Gender Studies, University of Adelaide. Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.