Bisnis Baju ‘Preloved’ Stabil Selama Pandemi
Bisnis baju bekas atau ‘preloved’ ternyata stabil selama pandemi, meski pertumbuhan tidak tinggi.
Pandemi COVID-19 tidak membuat Agnesia Vera Wijaya berhenti berbelanja pakaian bekas atau vintage. Konsultan mode asal Indonesia berusia 27 tahun yang berdomisili di Bonn, Jerman, ini tetap membelinya 4-5 kali sebulan di toko fisik.
“Di Indonesia, aku sering pergi ke Pasar Senen di Jakarta atau Gedebage di Bandung. Di sini, banyak sekali toko yang menjual baju bekas, dari butik, outlet sampai event preloved yang diadakan sebulan sekali bernama Vino Kilo,” ujar Agnesia kepada Magdalene melalui WhatsApp.
“Aku suka banget dress 1970-an dan 1980an untuk musim panas, tapi karena sekarang akan memasuki winter, aku lebih sering beli pullover, trench coat, dan flared pants,” tambahnya.
Harga pakaian yang dibelinya di Indonesia berkisar antara Rp5000 hingga Rp35.000. Di Jerman, produk-produk tersebut dijual mulai 5-22 euro. Alasan utama Agnesia mengutamakan produk preloved adalah turut berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan.
“Dengan membeli produk preloved, kita sudah mengurangi sampah dari pembuatan produk baru,” katanya.
Sementara itu, mengikuti tren dan harga yang murah adalah alasan utama Rossy Kusumawati membeli produk secondhand streetwear. Namun, sejak pandemi, dia menghemat penggunaan uang.
“Terakhir kali gue beli (produk streetwear) tahun lalu, yaitu kaos bermerek Chrome Hearts. Kaos baru dijual Rp2 jutaan. Gue beli (produk bekas) seharga Rp200 ribu-an,” kata karyawan berusia 35 tahun ini melalui telepon.
Baca juga: Bagaimana Merek Kecantikan Lokal Bertahan di Masa Pandemi
Rossy lebih sering membeli produk streetwear di Instagram. Namun, membeli dari toko daring memiliki risiko mendapatkan barang palsu.
“Gue pernah beli jaket Bathing Ape motif kepala hiu yang harganya Rp350.000 dan ternyata palsu. Pernah juga beli (produk yang sama) seharga Rp500.000 dan itu asli,” kata Rossy.
Bisnis preloved tak terlalu terimbas pandemi
Lima tahun lalu, tak banyak toko daring yang menjual produk pakaian bekas. Sekarang, konsumen disuguhi banyak pilihan marketplace yang mengakomodasi hal itu, salah satunya Tinkerlust, yang didirikan pada 2015 oleh Aliya Amitra (Chief Operating Officer) dan Samira Shihab (Chief Executive Officer).
“Aku merapikan isi lemari baju setahun dua kali. Produk yang enggak terpakai aku jual di bazar. Tapi bazar itu ribet karena aku harus bayar tempat, mencari orang untuk menjaga stan selama 2-3 hari, dan negosiasi harga,” ujar Aliya.
Aliya mengatakan, ketika Samira baru saja pulang dari Amerika Serikat pada tahun 2014, rekan bisnisnya itu mengaku kesulitan mencari produk vintage. Tidak seperti di AS yang sudah banyak memiliki toko daring yang menjual pakaian bekas.
“Saat itu sudah ada yang jualan barang-barang preloved di Indonesia, tetapi tidak dalam satu platform, melainkan di media sosial atau offline,” kata Aliya.
Baca juga: 5 Merek Make Up Lokal yang Wajib Kamu Coba
“Kami melahirkan Tinkerlust dengan visi ingin memudahkan perempuan untuk menjual barang-barang fashion yang udah enggak terpakai. Dan pastinya, banyak banget perempuan yang ingin beli barang branded dengan harga miring,” tambahnya.
Tinkerlust menerima barang dari seluruh Indonesia, tetapi mayoritas pembeli adalah perempuan berusia 25-35 tahun di Jabodetabek. Ketika baru dirintis, para pendiri hanya memiliki sedikit modal untuk mengembangkan usahanya.
“Ketika baru didirikan, kami pakai duit sendiri. Kami enggak ada uang untuk pemasaran, berbeda dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Pertumbuhan kami pelan banget. Tentu saja ada naik turunnya juga,” ujar Aliya.
Juni lalu, situs jual beli fashion bekas Threadup mengeluarkan 2020 Resale Report, yang mengutip beberapa hasil survei Global Data, sebuah perusahaan penyedia analisis data, terhadap 2.000 perempuan mengenai konsumsi produk fashion di masa pandemi.
Sebanyak 70 persen responden dalam survei tersebut mengatakan akan memotong anggaran pembelian pakaian untuk setahun ke depan. Namun, empat dari lima orang yang disurvei menuturkan, di saat kondisi ekonomi tidak menentu, mereka telah beralih atau mempertimbangkan untuk berpindah ke produk-produk bekas.
Aliya mengatakan, selama pandemi, pendapatan perusahaannya cenderung stabil dibandingkan tahun lalu. Namun, dia mengakui sulit untuk mencapai target tinggi.
“Pendapatan kami stabil. Dalam artian, biasanya kenaikan year on year atau month on month tinggi banget. Namun, karena pandemi, target kami, misalnya kenaikan (penjualan) dobel, tidak tercapai,” katanya.
Kegiatan yang telah direncanakan seperti bazar dan talk show tatap muka juga batal akibat pandemi. Namun, Tinkerlust tak mengurangi karyawan maupun melakukan pemotongan gaji.
“I really appreciate our employees, they work hard. Di masa sulit ini, sebisa mungkin kami mempertahankan mereka. Enam puluh persen dari anggota tim kami bekerja di rumah. Dengan demikian, kami dapat mengurangi biaya listrik, uang makan, dan transpor,” tambahnya.
Situs jual beli barang bekas yang berbasis di Singapura, Carousell, juga menyatakan tak terlalu terdampak pandemi.
“Pada awal pandemi, kami sempat mengalami sedikit penurunan penjualan fashion ketika konsumen beralih ke barang-barang yang lebih penting,” kata Marita Galvez, Fashion Lead Carousell melalui e-mail.
Marita menambahkan, di Asia Tenggara, ada perubahan pola pembelian produk fashion akibat imbauan atau kewajiban beraktivitas di rumah.
“Kami melihat bahwa pembeli lebih sering mencari pakaian santai seperti sweaters, hoodies, dan cardigans. Mereka bahkan juga lebih banyak mencari pakaian olahraga seperti celana yoga dan lain-lain,” ujarnya.
Carousell masuk ke Indonesia pada tahun 2014. Indonesia menjadi salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat bagi perusahaan ini. Sebanyak 66 persen konsumen produk fashion preloved adalah perempuan berusia 18-25 yang berdomisili di Jakarta.
Selain menghubungi perwakilan Carousell dan Tinkerlust, reporter Magdalene telah mengontak CEO dan pendiri Prelo Fransiska Hadiwidjana melalui e-mail. Pesan sempat dijawab, tetapi kemudian yang bersangkutan meminta untuk menunda pemuatan pernyataannya karena ada persoalan teknis dengan laman mereka.
Baca juga: Lewat ‘Lingerie’ dan Nipplets, Ida Swasti Dobrak Ketabuan Seks
Tren sustainable fashion diprediksi meningkat
Dalam laporan yang dikutip Threadup dari Global Data juga diungkap bahwa penjualan fashion daring diperkirakan meningkat 69 persen antara tahun 2019-2021. Sebaliknya, penjualan toko pakaian retail diramalkan turun sebesar 15 persen.
Marita dari Carousell memprediksi adanya tren serupa di Asia Tenggara.
“Kami melihat ada potensi besar dalam penjualan produk fashion bekas di Asia Tenggara. Dalam lima tahun mendatang, 30 persen dari koleksi pakaian para konsumen akan diisi oleh produk secondhand,” kata Marita.
Tren tersebut tak lepas dari cara pandang generasi muda, yang lebih peduli dengan kualitas, desain, nama brand, uang yang dihemat, dan bahkan dampak lingkungan, ujar Marita.
Adanya tren mode berkelanjutan ini membuat Tinkerlust berkolaborasi dengan 14 merek sustainable fashion, termasuk Sejauh Mata Memandang, sebagai strategi baru perusahaan ini.
“Selain menjual produk preloved dan meluncurkan jasa sewa barang, kami berpikir hal apa lagi yang dapat dilakukan untuk mendukung sustainable fashion. Dengan memberikan sarana terhadap merek yang sudah aware ini, saya kira ini langkah baik karena belum ada e-commerce khusus produk sustainable,” kata Aliya.
Dia juga menepis anggapan mahalnya harga produk-produk sustainable.
“Harga barangnya bervariasi. Ada produk yang harganya sama dengan fast fashion. Ada juga produk yang harganya mahal banget karena berkualitas dan proses pembuatannya berbeda,” ujar Aliya.
Agnesia, konsultan mode di Jerman, menyambut baik merek-merek berkelanjutan, namun ia mengkritik strategi merek-merek terkenal yang menggunakan klaim ramah lingkungan hanya sebagai gimmick.
“Sekarang banyak merek ternama yang membuat kampanye bahwa produknya hasil daur ulang, tetapi menurutku itu hanya teknik marketing saja,” ujarnya.