December 5, 2025
Environment Issues Opini

Aku Tahu Bogor ‘Kota Hujan’ tapi Sekarang Hujannya Kelewatan 

Ada tanggung jawab negara di balik keanehan iklim yang bikin Bogor terus diguyur hujan.

  • July 18, 2025
  • 6 min read
  • 1360 Views
Aku Tahu Bogor ‘Kota Hujan’ tapi Sekarang Hujannya Kelewatan 

Kami sudah terbiasa dengan hujan karena tinggal di Bogor, yang memang dijuluki “Kota Hujan”. Akan tetapi tahun ini terasa berbeda. Hujan turun hampir setiap hari, bahkan saat kalender sudah masuk musim kemarau di Juli. 

“Tanaman ayah banyak yang layu, Neng, karena hujan turun terus. Beberapa juga patah karena angin kencang, bahkan ada yang sampai mati.” 

“Cucian ibu susah kering, padahal sudah dijemur seharian. Jadi bau apek dan menumpuk.”  

Keluhan kedua orang tuaku muncul setiap hari. Ayah memang suka berkebun sejak dulu. Tanaman hias, cabai, pandan, sampai jahe merah tumbuh di pekarangan. Ibu senang karena bisa ambil bahan dapur gratis dari kebun itu. Bahkan, dulu hasil panen cabai kami bisa dibagi rata ke tetangga. Namun sekarang? Tanaman membusuk, enggak berbunga, dan beberapa mati terendam air. 

Aku pun ikut merasakan dampaknya. Tiap akhir pekan pulang dari kuliah di Jakarta, aku disambut hujan dan petir di Stasiun Bogor. Kadang aku lupa bawa payung, hingga harus basah kuyup sampai rumah. Lama-lama rasanya bikin malas keluar rumah.  

Yang paling terasa adalah saat libur semester lalu. Adikku, yang biasanya berenang setiap liburan, akhirnya urung ke kolam renang. Padahal berenang di musim kemarau sudah jadi tradisi wajib keluarga. Musim seolah kehilangan bentuknya. Kemarau tidak benar-benar datang. Libur sekolah tak lagi identik dengan panas dan kolam renang. Semua terasa aneh. 

Baca juga: Krisis Air Bersih Marak, Orang Kota Serasa Minum Air Sungai

Bukan Perubahan tapi Kenehan Iklim 

Keanehan ini nyatanya bukan sekadar keresahan pribadi. Kepala Stasiun Meteorologi Citeko, Asep Firman, menyebut fenomena hujan melulu sebagai kemarau basah. Menurutnya, ini adalah anomali cuaca, ketika hujan deras tetap turun di musim yang seharusnya kering. 

“Curah hujan di Bogor selama musim kemarau jauh melebihi rata-rata historis,” katanya dalam wawancara dengan Antara. 

Sebagai perbandingan, biasanya curah hujan di Juni hanya sekitar 150 mm. Namun pada 2025, intensitas hujan mencapai lebih dari 100 mm setiap 10 hari. Dalam sebulan, akumulasinya bisa lebih dari 400 mm, hampir tiga kali lipat dari angka normal. 

Dampaknya riil enggak kaleng-kaleng. Pada 5–6 Juli 2025, wilayah Bogor dan kawasan Puncak diguyur hujan ekstrem lebih dari 150 mm per hari. Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut kategori ini sebagai hujan ekstrem. Akibatnya, terjadi banjir, pohon tumbang, dan tanah longsor, bahkan merambat hingga Jakarta. 

Namun ini bukan hanya masalah lokal. Laporan The Guardian (2025) menyebut kawasan Asia kini tidak lagi hanya mengalami climate change, tapi climate weirding alias keanehan iklim. Maksudnya, musim dan cuaca jadi tak dapat diprediksi, berubah dalam hitungan jam, dan menciptakan pola cuaca yang tak pernah ada sebelumnya. 

Dalam laporan itu disebutkan pula, Jakarta dan Bogor termasuk dalam daftar megacities paling terdampak cuaca ekstrem. Di berbagai belahan dunia lain pun kondisi serupa terjadi: Spanyol, Pakistan, Jepang, dan Amerika Serikat mengalami gelombang panas, hujan di tengah musim kemarau, dan pergeseran musim yang sangat cepat. 

Tentu, semua ini bukan tiba-tiba. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) AR6 (2021) menyatakan aktivitas manusia adalah penyebab utama pemanasan atmosfer, lautan, dan daratan. Konsekuensinya adalah perubahan pola lingkungan secara drastis dan sistemik, termasuk di Bogor. 

Baca juga: Pawang Hujan: Sebuah Takhayul yang Dibutuhkan Kita

Siapa Bertanggung Jawab? 

Keanehan iklim yang terasa hari ini erat kaitannya dengan cara kita memperlakukan alam. Di Bogor, beberapa faktor utama memicu krisis, di antaranya deforestasi, urbanisasi tak terkendali, pertumbuhan industri ekstraktif, serta pariwisata yang tak ramah lingkungan. 

Riset Bandung Conference Series (2022) mencatat, 7.435,77 hektare hutan primer hilang di Bogor hanya dalam waktu dua tahun. Pembangunan vila, hotel, dan perumahan mendesak kawasan hutan alami. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menunjukkan, 45–65 persen kerusakan lahan di wilayah Puncak, Cisarua, dan Megamendung disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi kawasan wisata dan hunian. 

Urbanisasi pun memperburuk situasi. Sebagai kota penyangga Jakarta, Bogor menghadapi ledakan penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk naik dari 5,49 juta (2021) ke 5,63 juta (2023), dengan kepadatan mencapai 1.884 jiwa/km². Banyak daerah yang dulunya lahan hijau kini berubah jadi kompleks perumahan, seperti Cibinong, Gunung Putri, dan Cileungsi. 

Citra satelit Sentinel 2 periode 2017–2023 pun mencatat peningkatan area terbangun di Kabupaten Bogor dari 748,02 km² menjadi 953,89 km². Kenaikannya sekitar 27 persen, dan semua terjadi hanya dalam enam tahun. 

Tak hanya permukiman, industri ekstraktif juga menyumbang kerusakan. Bogor memiliki banyak wilayah yang masuk konsesi tambang batuan dan galian C, terutama di bagian barat dan selatan. Forest Watch Indonesia (2023) mencatat sekitar 2,4 juta hektare hutan Indonesia ada di bawah kendali industri, termasuk di Bogor. 

Sementara itu, kawasan Puncak dan Sentul tumbuh jadi destinasi wisata massal yang tak terkendali. Vila-vila ilegal, glamping, dan resort tumbuh di lereng-lereng curam tanpa regulasi ketat. Semua ini memperparah kerentanan bencana dan mempercepat keanehan iklim. 

Namun pemerintah daerah tampak belum serius menyikapi semua ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor 2025–2029, yang baru saja disahkan Juli ini, ada visi “ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan”. Namun faktanya, narasi keberlanjutan hanya jadi pelengkap dokumen. Fokus pembangunan tetap pada pertumbuhan ekonomi, industri, dan pariwisata. 

Isu lingkungan cuma disebut sekilas, tanpa target, peta jalan, dan rencana aksi konkret. Tidak ada kebijakan restorasi hutan atau komitmen pengurangan emisi. Bahkan istilah “perubahan iklim” hanya muncul beberapa kali tanpa strategi penyikapan yang jelas. 

Sementara kawasan hutan terus tergerus dan banjir datang tiap musim, kebijakan pemerintah justru memperluas sektor ekonomi yang mempercepat krisis. 

Baca juga: Kemacetan Jalur Puncak Bogor: Masalah Menahun yang Tak Punya Solusi?

Yang Bisa Kita Lakukan 

Di tengah situasi ini, aku sadar gaya hidup ramah lingkungan saja tidak cukup. Betapapun aku memilah sampah, menanam pohon, atau menghemat air, semua itu tak bisa melawan kehendak industri yang merusak dalam skala besar. 

Namun, menyerah juga bukan pilihan. Aku percaya bahwa langkah-langkah kecil tetap penting. Menulis pengalaman ini, bersuara di media sosial, dan ikut mendorong kesadaran publik bisa menciptakan tekanan yang bermakna. 

Francis Weller dalam The Wild Edge of Sorrow (2015) menulis, duka atas lingkungan adalah bagian penting dari mencintai dunia ini. “Kesedihan memperluas kapasitas kita untuk mencintai,” tulisnya. Duka atas musim yang hilang, atas sungai yang mengering, atau atas kota yang tak lagi kukenal—semuanya pantas dirasakan, dan diproses bersama. 

Begitu pula dengan gagasan Bell Hooks dalam All About Love (2000): Cinta bukan sekadar perasaan manis, tapi keberanian, komitmen aktif, dan tanggung jawab. 

Aku ingin percaya, jika lebih banyak orang merawat duka ini, dan menerjemahkannya ke dalam tindakan nyata, maka perubahan bisa terjadi. Mungkin tidak hari ini. Tapi barangkali, suatu hari nanti, Bumi akan pulih perlahan. Lalu aku bisa kembali mengenali Bogor, kota hujan yang dulu kurindukan. 

Tapi beneran deh, emang boleh ya Kota Hujan sehujan ini? 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.