Beauty Lifestyle

Buccal fat removal dan Heroin chic : Sosial Media dan Obsesinya Terhadap Kurus

Buccal fat removal dan Heroin chic, merupakan kata kunci standar kecantikan yang dikabarkan sedang naik daun pada akhir pekan 2022 hingga saat ini.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 4 min read
  • 1731 Views
Buccal fat removal dan Heroin chic : Sosial Media dan Obsesinya Terhadap Kurus

Buccal fat removal dan Heroin chic, merupakan kata kunci standar kecantikan yang dikabarkan sedang naik daun pada akhir pekan 2022 hingga saat ini. Berbagai media internasional mengabarkannya seperti Dazed, The Cut, dan The New York Times.

Sebenarnya apa makna kedua kata tersebut?

 

 

Buccal fat removal merujuk pada pengangkatan lemak pada wajah melalui operasi, untuk mendapatkan wajah tirus sehingga menampilkan tulang pipi secara tegas.

Dilansir dari Guardian, heroin chic awalnya merujuk pada kampanye pengingatan kematian fotografer fashion, Davide Sorrenti yang diakibatkan oleh overdosis heroin. Tetapi, pada akhir 1990an hingga 2000 awal, kata ini dipoles oleh industri fashion untuk menampilkan perempuan dengan badan yang sangat kurus, sehingga terlihat seperti sedang sakit.

Kedua kata kunci itu sama-sama mengacu pada satu jenis bentuk tubuh yakni kurus, dan bentuk tubuh itu terus menerus dipromosikan dalam TikTok. Hal ini ditunjukan dalam berbagai artikel tersebut, menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di TikTok.

Beberapa sumber seperti The Guardian dan The Cut, berspekulasi tren kurus ini kembali terjadi akibat beberapa fenomena di industri fashion. Pertama adalah perilisan rok mini low-rise oleh Miu-Miu pada koleksi Spring/Summer 2022, yang secara serentak menjadi tren. Kedua, kembalinya tren y2k atau obsesi generasi Z pada tren awal 2000an. Ketiga bergesernya beauty icon, dari Kim Kardashian menjadi Bella Hadid, yang mengusung pipi tirus ala model.

Lantas apakah hanya TikTok yang menjadi sosial media yang bertanggung jawab akan tren ini? Lalu apakah industri fashion secara mutlak adalah dalang dibalik semua ini?

Ternyata obsesi terhadap kurus sudah terjadi dalam berbagai macam sosial media populer, dua sosial media lainnya adalah Tumblr, dan Instagram. Dan juga industri fashion bukan satu-satunya alasan dibalik semua ini. Terdapat juga tren Thatgirl di TikTok, yang mengusung ide improvisasi diri dengan makan makanan sehat, olahraga, rutinitas skincare, dan bangun pagi. Hanya saja sebagian besar pengguna yang menerapkan tren ini adalah wanita kurus dan berkulit putih, yang dikabarkan merupakan wujud kembalinya tren kurus di Tumblr. Tren tersebut berakar pada diet-culture. Menurut Jovanovski dan Jaeger (2022) diet-culture merupakan dengan pergabungan konsep berat badan adalah cermin kesehatan tubuh.

Akibatnya, munculah dua dampak utama terkait berat tubuh. Pertama lahirnya obsesi dalam mengontrol tubuh agar tetap kurus, jika dalam tingkat ekstrim akan menjadi disorder disebut dengan anoreksia nervosa. Kedua, munculnya stigma terhadap  tubuh gemuk atau fatphobia.

Terdapat istilah body checking, merujuk pada konten yang memerkan kekurusan pengguna. Konten ini tersebar dalam berbagai sosial media populer dalam berbagai bentuk, tapi umumnya disematkan pada tagar thinspo. Salah satu yang populer adalah memamerkan thigh gap (ruang antar paha atas jika kaki sedang dirapatkan) yang terjadi pada 2013.

Konten body checking tidak terlepas dari peran subkultur, pro-ana dan pro-mia. Mereka adalah sekelompok individu yang menilai bahwa anoreksia bukanlah disorder, melainkan gaya hidup yang dipilih olehnya. Meski begitu perlu dipertegas, tidak semua penderita anoreksia adalah pro-ana. Pro-ana adalah individu yang tetap mempertahankan anoreksianya walau ia tahu segala dampaknya.

Anoreksia sendiri memiliki dampak pada fisik dan mental. Seperti melemahnya metabolisme, anemia, masalah ginjal, osteoporosis hingga depresi, anxiety disorder dan personality disorder.

Akibat berbagai dampak tersebut, sosial media populer melakukan tindakan tegas dalam memfiltrasi konten yang ada. Seperti Leaver (2020) Instagram memberikan peringatan, menciptakan instagram help center bernamakan “About Eating Disoder”, menghapus akun yang mempromosikan dan memblokir hashtag #Thinspo dan #thinsporation. TikTok juga melakukan hal yang sama, dan juga memblokir #bodychecking dan #thinspo (bazaar), dan Tumblr juga sudah melakukan moderasi konten ini sejak 2012 silam.

Walaupun begitu, mereka tetap berusaha mengelabuhi kebijakan yang ada. Seperti pada konten TikTok ini dibalut dengan humor dan inside jokes. Sedangkan pada Instagram, menggunakan tagar #thinspooo, #thynspiration, #gym, dan #healthy. Kemudian pada Tumblr jenis konten ini lebih mudah dicari, masih terdapat beberapa blog dengan username menggunakan kata kunci pro-ana, skinny, dan thinspo.

Jika ditelaah dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa obsesi terhadap kurus tiada habisnya. Obsesi tersebut akan selalu ada selama masih ada yang mempromosikan, dan mengamini bahwa kurus adalah cermin badan yang sehat. Walau begitu bukan berarti kita harus setuju dan mengkonsumsi semua konten tersebut.

Pada penelitian yang dilakukan Parcell Lindsay, Jeon Shelley, dan Rodgers (2022) Menyebutkan bahwa perempuan yang mengkonsumsi konten body positive memiliki mood dan body image yang lebih baik daripada yang konten diet culture. Penelitian itu juga menemukan bahwa, dengan adanya literasi terhadap sosial media dapat memberikan efek positif dalam mengkonsumsi konten terkait body image.

Referensi:

Jovanovski, N. and Jaeger, T. 2022. Demystifying ‘diet culture’: Exploring the meaning of diet culture in online ‘anti-diet’ feminist, fat activist, and health professional communities. Women’s Studies International Forum. 90, p.102558.

Leaver, T., Highfield, T. and Abidin, C. 2020. Communities, Boundaries and Multiple Accounts In: Instagram: Visual Social Media Cultures. Cambridge: Polity Press, pp.32–27.

Parcell Lindsay, Jeon Shelley, Rodgers, F.R. 2022. Effects of COVID-19 spesific body positive and diet culture related social media content on body image and mood among young women. Body Image. 44(January), pp.1–8.


Avatar
About Author

Angel Lawas

Fashion designer tapi lebih suka menulis daripada menjahit. Suka menghabiskan waktunya membaca buku, dan melamun. Lulusan Magister desain dari Institut Teknologi Bandung, tertarik membahas isu di ranah desain, fashion, dan internet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *