Culture Screen Raves

Film ‘Agak Laen’ Dicap Ableis dan Misoginis, Sineas Jangan Anti-Kritik

'Agak Laen' punya penggemar militan yang tak terima film kesukaan mereka dikritik. Padahal kritik penting buat kemajuan ekosistem perfilman Indonesia.

Avatar
  • February 29, 2024
  • 7 min read
  • 2076 Views
Film ‘Agak Laen’ Dicap Ableis dan Misoginis, Sineas Jangan Anti-Kritik

Agak Laen berhasil jadi film kedua terlaris di Indonesia sepanjang masa, menggeser posisi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1. Film produksi Imajinari tersebut sudah ditonton 7 juta orang sejak rilis perdananya pada 1 Februari lalu. Capaian Agak Laen ini dirayakan banyak masyarakat Indonesia. Dengan menggabungkan unsur horor dan komedi, film ini bak angin segar bagi dunia perfilman Indonesia yang cukup monoton.

Namun, di balik larisnya Agak Laen, ternyata film ini tak luput dari suara sumbang. Belakangan, di X muncul kritik penonton bahwa film besutan Muhadkly Acho masih ableist dan misoginis. Ableist karena salah satu karakternya, Obet digambarkan sebagai orang dengan disabilitas wicara, tapi ia jadi bahan olok-olok atau objek yang menderita. Sebagai informasi, Sadana Agung yang memainkan karakter Obet, juga bukan orang dengan disabilitas wicara.

 

 

Perlakuan karakter Obet tak ayal hanya melanggengkan stigma pada orang dengan disabilitas. Mereka tidak dipandang setara. Eksistensi mereka cuma dianggap bahan ejekan bahkan baru dianggap “berharga” kalau mampu menghibur banyak orang.

Selain itu, Agak Laen juga dinilai misoginis karena menggunakan istilah pelakor pada salah satu karakter perempuannya yang lekat dengan stereotip negatif masyarakat patriarkal. Karakter ini pun selalu diolok bodoh. Sehingga, kembali menegaskan pihak perempuan selalu disalahkan dan dihujat dalam kasus perselingkuhan. Kasus yang kehadiran laki-laki sebagai pelaku perselingkuhan justru “diputihkan” oleh masyarakat.

Baca Juga: Review ‘Monster’: Bukan yang Terbaik dari Kore-eda

Budaya Anti-Kritik yang Mendarah Daging

Kritik terhadap Agak Laen sudah tepat sasaran. Akar permasalahannya teridentifikasi dengan jelas. Apalagi menurut peneliti Geger Riyanto dalam tulisannya Humor dan Kebejatan disebutkan, humor yang betulan lucu adalah yang bermain dengan penyimpangan ekspektasi—ada set up dan punchline. Sementara, humor dalam film ini terutama yang menyasar pada orang dengan disabilitas dan perempuan hanya untuk mengolok saja, tak lebih.

Sayang, kritikan ini tak serta merta diterima masyarakat Indonesia. Warganet yang lantang mengkritisi film ini terkait dua unsur tersebut justru jadi bahan rundungan para penggemar militannya. Mereka yang tidak rela film kesukaan mereka dapat kritik, melakukan mobbing di akun-akun para pengkritik film ini.

Sebagian melontarkan berbagai cacian, ungkapan SJW dengan konotasi merendahkan, hingga menyuruh untuk bungkam dengan kata kasar. Sebagian lagi ada yang mengatakan film tak seharusnya dikritisi habis-habisan. Cukup ditonton saja. Jadi kalau penonton merasa ada yang “salah” dengan film tersebut, berati mereka bukan target pasarnya.

Respons anti-kritik ini tak cuma terjadi sekali saja. Jauh sebelum Agak Laen, Intan Paramaditha, penulis dan dosen kajian Media dan Film di Macquarie University, Sydney sempat kena serang warganet karena kritikannya terhadap Tilik (2018) yang dinilai nihil perspektif feminis dalam metode berkarya, juga dalam medan produksi kebudayaan.

Ada pula, Aulia Adam yang pernah dapat kritik balik saat menuliskan kritik film Pretty Boys (2019), yang tidak sensitif terhadap transgender sebagai kelompok minoritas. Pemainnya sendiri, Desta Mahendra menganggap Aulia mengkritik “di luar konteks dan esensi” film. “Kami harus bertanya apakah Aulia Adam sudah melakukan riset lebih dalam tentang film ini sebelum menulis?” katanya di X. Lebih dari itu, Aulia beberapa kali mendapatkan reaksi keras yang tak hanya datang dari pembuat tetapi juga penggemar film.

“Pernah beberapa kali di-mention produser, aktor, atau sutradaranya, terus diserbu fans mereka. Fans biasanya lebih ekstrem: Memaki-maki lewat email atau dm [direct message], bahkan saya pernah dapat death threat,” kata Aulia dalam wawancaranya bersama Asumsi 2021 lalu.

Setahun sebelumnya, kritikus film lokal Cine Crib bernama Razak Syarif sempat dapat ancaman bakal dilaporkan secara hukum oleh pengacara senior. Ini cuma lantaran ia memberikan ulasan tidak bagus pada beberapa film Indonesia.

Melihat gelombang anti-kritik yang tak kunjung surut, jadi bahan refleksi tersendiri. Buat Intan dalam wawancaranya bersama Buku Akik dalam acara Girls Day Out Mei 2023, membaca secara mendalam suatu karya merupakan keahlian.

“Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak dibekali pendidikan dasar yang cukup untuk mengonsumsi atau mengapresiasi karya secara kritis,” jelas Intan.

Apalagi menurutnya penolakan atas pembacaan ideologis di Indonesia turut dibentuk paradigma dominan pasca-1965 yang menjauh dari gagasan sastra atau karya adalah alat politik. Akibatnya pun jelas terlihat. Kita semakin sering melihat penonton mati-matian membela karya (dalam hal ini film) yang mereka suka. Padahal kritik menurut Intan menunjukkan apa yang luput dari cara pandang kita.

Di sisi lain, Adrian Jonathan Pasaribu, kritikus film dan pendiri Cinema Poetica lewat wawancaranya bersama Asumsi mengatakan, pemaknaan kritik juga sering kali mengalami penyempitan. Kritik terhadap karya apalagi dalam negeri masih memakai pola pikir kritik-bikin-film-nggak-laku. Hal ini menyederhanakan kompleksitas relasi sosial-politik-ekonomi di perfilman. Seolah masyarakat tidak berdaya dalam memilih tontonan dan hanya mengekor pendapat orang.

Pemaknaan sempit kritik, kata Adrian pada akhirnya melahirkan generasi yang gagap berargumentasi yang kesulitan menerima kritikan. Tak ubahnya, kritik yang berlandaskan keilmuan tertentu sekali pun bakal dengan mudah mental oleh sentimen semata.

Baca Juga: Review ‘The Boy and The Heron’: Tentang Hidup dan Mati yang Jadi Satu

Pentingnya Kritik Film

Tak ada karya yang sempurna sama seperti pembuatnya, yaitu manusia. Manusia tak pernah lepas dari bias. Ia lahir dan tumbuh menua di tengah masyarakat yang punya serangkaian norma sosial, budaya, serta agama. Di dalamnya ada stigma terhadap individu dan kelompok tertentu. Ini membentuk perspektif atau ideologi dalam tiap manusia, hal yang secara sadar atau tidak sadar ia bawa dalam karya-karyanya.

Tak heran, mendiang aktor, penulis, dan sutradara kenamaan Amerika Serikat Corey Fischer dalam tulisannya The Importance of Film Criticism bahkan mengatakan, film adalah bagian dari karya manusia tentang bagaimana kita melihat dunia kita sendiri dan memberi kita wawasan tentang siapa kita sebenarnya. Film benar-benar merupakan seni massa, karena itu kritik diperlukan untuk menanggapinya.

Hakikat kritik film sendiri menurut Fischer adalah untuk mencerahkan dan memperkaya pengalaman seseorang dengan seni film. Sama seperti kritik bentuk seni apa pun, kritik film dimaksudkan untuk menempatkan elemen film tertentu ke dalam konteks budaya dan memberikan latar belakang keputusan yang diambil sutradara, aktor, produser, dan komposer dalam membuat film tersebut.

Kritik film tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengalaman dan perasaan individu yang diperoleh dari menonton sebuah film, namun lebih untuk mengembangkannya. Maka dari itu kritik film tidak hanya dimaksudkan untuk membantu membentuk cara kita memandang film, namun juga dimaksudkan untuk membantu membentuk ekosistem industri film secara keseluruhan.

Dalam ekosistem perfilman yang sehat, hubungan dua arah antara pembuat dan penonton film terjalin dengan baik dan tak terputus layaknya sebuah siklus. Ruang diskusi sehat terbangun di sini. Penonton bisa menyampaikan pandangannya terhadap film yang sudah ditonton, baik hal-hal yang bersifat evaluatif maupun temuan menarik dalam film tersebut yang bahkan tak disadari oleh si pembuatnya.

Harapannya, hal ini bisa menjadi masukan sekaligus motivasi bagi para pembuat film bertumbuh. Mereka bisa menciptakan karya yang lebih bagus lagi. Lebih sensitif, lebih progresif, tanpa harus terjebak dalam berbagai jenis diskriminasi yang selama ini dilanggengkan di masyarakat.  

Mengutip mendiang kritikus film besar Amerika Roger Ebert, “kritik film itu penting karena film itu penting”, maka kita bisa menarik kesimpulan. Bahwa tanpa kritik, film akan terdevaluasi dan pentingnya film secara budaya akan berkurang.

Baca Juga: ‘Bottoms’: Tontonan yang Mungkin Terlalu Buas, Terlalu Vulgar Buatmu

“Kita akan kehilangan pandangan akan makna sebenarnya dari seni apa pun jika tidak dikritik sepenuhnya. Film pun tidak terkecuali dalam hal ini. Kritik film membentuk kita, dan ini bukanlah sesuatu yang harus kita abaikan atau tinggalkan,” tegas Fischer.

Lebih dari itu, menurut Intan dalam wawancara yang sama, budaya kritik atas karya sangat penting untuk memerdekakan pembaca dan penonton. Budaya kritik bukan hanya perihal hadirnya kritikus-kritikus sebagai penjaga mutu seni, melainkan suatu lingkungan yang di dalamnya diisi oleh orang-orang biasa yang berkomitmen mengasah keahlian membaca agar lebih kritis. 

Artinya, kalau seseorang bilang suatu karya baik, dia tahu letak di mana baiknya karya tersebut secara formal dari segi narasi, penokohan, gaya bahasa, hingga piranti karya lainnya. Ia juga bisa mencermati posisi ideologis karya itu, baik secara tersurat maupun tersirat.

“Budaya kritik harus jadi milik kita semua. Saya ingin lihat lebih banyak ruang dibangun untuk mengasah keahlian membaca kritis, bukan untuk tujuan-tujuan elitis, tapi demokratisasi pengetahuan,” tambah Intan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *