Issues

Buku Pelajaran di 4 Negara Mayoritas Muslim Masih Bias Gender

Walaupun tokoh laki-laki dan perempuan di buku pelajaran relatif seimbang, peran gender yang ditampilkan masih mendukung nilai tradisional.

Avatar
  • April 2, 2020
  • 5 min read
  • 631 Views
Buku Pelajaran di 4 Negara Mayoritas Muslim Masih Bias Gender

Dibandingkan dengan beberapa negara mayoritas Muslim lainnya, Indonesia sudah cukup berhasil dalam memberikan akses sekolah yang setara pada anak perempuan. Statistik menunjukkan angka partisipasi sekolah mereka di level pendidikan dasar dan menengah masing-masing sekitar 80 dan 90 persen, sementara proporsi siswa laki-laki dan perempuan di sekolah bisa dikatakan setara.

Namun, Indonesia menduduki peringkat 85 dari 153 negara dalam Indeks Kesenjangan Gender pada tahun 2020 yang dikeluarkan oleh organisasi nirlaba internasional World Economic Forum. Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan tertinggal dibanding laki-laki. Angka pernikahan anak di Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, dan juga sepertiga perempuan Indonesia dilaporkan telah mengalami kekerasan fisik atau seksual.

 

 

Mengapa Indonesia begitu buruk dalam pembangunan perempuan meskipun angka sekolah perempuan sangat tinggi?

Salah satu alasan yang dapat menjelaskannya adalah sistem pendidikan di Indonesia yang—walaupun mudah diakses untuk semua—masih menerapkan kurikulum dan materi pembelajaran dengan pemikiran tradisional. Sistem pendidikan di Indonesia belum berhasil menentang pembagian peran gender yang tradisional di masyarakat dan belum mampu menciptakan perubahan perilaku sosial terhadap perempuan.

Riset kami yang belum lama ini dipublikasikan di jurnal PLOS ONE menemukan bahwa bias gender tersebut ada pada buku pelajaran di sekolah Indonesia. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian serupa terkait analisis gender dalam buku sekolah yang terdapat di empat negara mayoritas Muslim: Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Bangladesh.

Meskipun buku pelajaran di Indonesia yang kami teliti menampilkan kedua gender secara lebih setara dibandingkan ketiga negara lainnya, terutama Pakistan dan Bangladesh, analisis kami menunjukkan masih terdapat banyak bias terkait peran gender yang ditampilkan.

Baca juga: Warga Miskin Cenderung Sekolahkan Anak Perempuan Mereka di Madrasah: Riset

Perempuan dalam buku sekolah: seimbang tapi bias

Di antara empat negara yang diamati, kami berfokus pada buku paket bahasa Inggris yang disetujui pemerintah untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk Indonesia, kami menganalisis konten dari buku Kelas 9, English in Focus.

Kami mengamati stereotip gender dengan melihat kehadiran figur perempuan dan bagaimana dia direpresentasikan dengan menggunakan 21 indikator pada teks dan gambar di dalam buku.

Dari seluruh indikator, kami menemukan bahwa buku pelajaran Indonesia yang kami amati relatif seimbang dalam menampilkan kedua gender. Proporsi tokoh perempuan dalam konten tekstual cukup seimbang (40,5 persen), dibandingkan dengan hanya 24,4 persen pada buku yang digunakan di Pakistan.

Grafik: The Conversation Indonesia (Asadullah & Islam, 2018)

 

Untuk kategori konten gambar, buku di Indonesia juga menunjukkan lebih banyak tokoh perempuan, yaitu 58,1 persen, dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Buku di Malaysia dan Bangladesh misalnya, hanya memiliki proporsi 35,2 persen.

Masalahnya, indikator kualitatif yang digunakan pada studi kami menunjukkan bahwa meskipun karakter perempuan punya proporsi yang sama dengan laki-laki di buku pelajaran di Indonesia, penggambarannya masih jauh dari harapan.

Karakter laki-laki masih mendominasi di berbagai indikator mulai dari “Kata Benda” hingga “Pekerjaan” dalam buku yang dipakai di Indonesia. Misalnya, terdapat banyak penekanan pada identitas perkawinan yang ditunjukkan oleh seringnya penggunaan istilah “Mrs.” dalam memanggil perempuan. Hal ini mengindikasikan adanya seksisme dalam pemilihan kata. Sebaliknya, mayoritas tokoh perempuan pada buku Malaysia dan Bangladesh disebutkan dengan panggilan “Miss”.

Terkait pekerjaan, penggambaran untuk laki-laki jauh lebih beragam dan melibatkan pekerjaan yang secara tradisional menunjukkan kekuatan dan maskulinitas seperti raja atau pemadam kebakaran. Pekerjaan-pekerjaan tersebut disebutkan setidaknya empat kali dalam buku.

Sementara, pekerjaan yang diasosiasikan dengan tokoh perempuan kebanyakan adalah yang selama ini didominasi perempuan dan biasanya memiliki prestasi atau pendapatan yang lebih rendah. Dua pekerjaan yang paling sering disebut untuk perempuan adalah penari dan penyanyi, masing-masing disebutkan setidaknya tiga kali.

Secara umum, dari empat negara, kami menemukan penggambaran perempuan dalam peran rumah tangga berjumlah empat kali lebih banyak dibanding laki-laki. Angkanya paling tinggi di Pakistan, yang menunjukkan bahwa semua (100 persen) pekerjaan domestik diperankan oleh perempuan.

Bahkan di buku Indonesia dan Malaysia, yang memiliki proporsi yang lebih seimbang antara laki-laki dan perempuan, kami menemukan bahwa peran domestik ini didominasi oleh perempuan dengan angka masing-masing 63 dan 85 persen.

Grafik: The Conversation Indonesia. Sumber: (Asadullah & Islam, 2018)

 

Apa artinya untuk pendidikan di Indonesia?

Studi yang kami lakukan mendukung  penelitian sebelumnya terkait bias gender pada buku sekolah di Indonesia. Misalnya, penelitian atas buku sekolah Bahasa Inggris pada jenjang Kelas 12 Sekolah Menengah Atas menemukan 1.098 (77 persen) tokoh laki-laki dibandingkan hanya 321 (23 persen) tokoh perempuan.

Studi lain tentang gambar yang digunakan pada delapan buku elektronik Bahasa Inggris untuk jenjang Kelas 10, 11 dan 12 menunjukkan bahwa masalah ini cukup sistemis. Beberapa profesi seperti dokter, politikus, dan tentara hanya direpresentasikan oleh laki-laki.

Penggambaran peran profesional tersebut sebagai ranah yang “hanya untuk laki-laki” merendahkan kontribusi profesional perempuan dan menghambat berbagai upaya dan kampanye untuk meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang stagnan di Indonesia.

Artinya, sekadar memperbaiki akses pada pendidikan sekunder tidak cukup untuk memberdayakan anak perempuan di Indonesia apabila buku yang digunakan masih akan terus menggambarkan perempuan dalam peran-peran tradisional.

Karakter laki-laki masih mendominasi di berbagai indikator, dan penggambaran pekerjaan untuk laki-laki jauh lebih beragam dan melibatkan pekerjaan yang secara tradisional menunjukkan kekuatan dan maskulinitas.

Dalam aspek ini, satu perkembangan positif adalah koleksi buku Mighty Girl (Perempuan Hebat) yang melibatkan ratusan perempuan di Indonesia berpartisipasi sebagai “duta membaca”. Hal ini bertujuan mengenalkan tokoh-tokoh perempuan yang hebat untuk pelajar perempuan di Indonesia.

Sebuah perpustakaan digital gratis untuk anak-anak bernama Let’s Read (Ayo Membaca) dari organisasi nirlaba, The Asia Foundation, juga tersedia untuk anak perempuan baik yang sekolah maupun tidak. Indonesia memerlukan lebih banyak inisiatif-inisiatif seperti ini.

Selain itu, orang tua juga harus berperan dalam menghilangkan ketimpangan gender. Menerapkan kesetaraan gender di lingkungan rumah sangatlah penting. Reformasi terhadap buku sekolah tidak cukup untuk mengubah pola pikir masyarakat apabila orang tua sendiri melanggengkan stereotip gender.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

M. Niaz Asadullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *