Warga Miskin Cenderung Sekolahkan Anak Perempuan Mereka di Madrasah: Riset
Keluarga miskin cenderung menyekolahkan anak perempuannya ke madrasah karena melanggengkan norma gender tradisional.
Indonesia memiliki salah satu sistem pendidikan yang paling besar dan beragam di dunia. Di antaranya terdapat puluhan ribu sekolah Islam atau madrasah yang secara khusus memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dari keluarga muslim.
Institusi madrasah ini berdiri beriringan dengan beberapa jenis sekolah lain, termasuk sekolah negeri dan swasta non-agama, beserta sekolah swasta keagamaan yang semuanya berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta menjalankan kurikulum nasional. Pengelolaan madrasah di Indonesia sendiri berada di bawah Kementerian Agama.
Ada dua jenis madrasah. Jenis pertama adalah madrasah yang mengadopsi sistem modern. Di sekolah tersebut, murid diajarkan materi agama Islam dengan beberapa mata pelajaran umum. Lulusannya mirip dengan sekolah modern tapi biasanya memiliki pemahaman keagamaan Islam yang lebih mendalam.
Yang kedua adalah jenis madrasah yang mengajarkan pendidikan Islam dengan penekanan pada kitab Arab klasik—pondok pesantren adalah salah satu contohnya. Lulusannya sering kali menjadi pendakwah atau pimpinan masjid.
Meski demikian, jenis madrasah yang memiliki jumlah terbesar di Indonesia adalah madrasah informal yang tidak terdaftar di kementerian. Mereka pada umumnya hanya mengajarkan materi keagamaan Islam secara eksklusif.
Di Indonesia, jumlah madrasah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari sekitar 63.000 antara tahun 2002 dan 2003 menjadi sekitar 145.000 di antara 2011 dan 2012. Penyumbang terbesar kenaikannya adalah jumlah madrasah informal.
Pada periode 2011-2012, madrasah yang tidak terdaftar ini berjumlah lebih dari 17 persen dari semua sekolah di Indonesia. Madrasah yang terdaftar juga memiliki persentase tinggi di level SMP dan SMA, masing-masing 31 persen dan 36 persen.
Walaupun demikian, penelitian kami yang diterbitkan di International Journal of Educational Development menemukan banyak keluarga miskin tidak hanya menyukai madrasah, tapi mereka juga cenderung mengirimkan anak perempuannya ketimbang anak laki-lakinya ke madrasah.
Baca juga: Pendidikan Perempuan untuk Siapa?
Peningkatan konservatisme
Riset kami melibatkan hampir 200.000 anak Indonesia berusia 5-18 tahun. Datanya sendiri diambil dari Survei Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS), sementara data tentang sekolah di desa diambil dari Pendataan Potensi Desa (PODES), keduanya terbit tahun 2005.
Dengan menganalisis gabungan dari kedua data ini, kami menemukan bahwa anak-anak Indonesia dari rumah tangga miskin, daerah pedesaan, dan keluarga yang berpendidikan rendah lebih mungkin untuk dikirim ke madrasah. Hasil ini kebalikan dari anak-anak di sekolah swasta. Ini membuktikan anggapan bahwa madrasah memang menawarkan alternatif pendidikan yang lebih murah ketimbang sekolah swasta yang biasanya mahal.
Kami juga menemukan bahwa pilihan sekolah orang tua untuk anak perempuan dan laki-laki juga berbeda dan ini menarik. Meskipun ribuan sekolah—madrasah ataupun bukan—memberikan akses untuk kedua gender, masih ada suatu fenomena unik bahwa anak perempuan jauh lebih mungkin untuk bersekolah di madrasah. Sementara itu, anak laki-laki memiliki kemungkinannya lebih tinggi untuk menikmati pendidikan di sekolah non-madrasah.
Rata-rata, kemungkinan anak perempuan untuk mendaftar di sekolah swasta non-madrasah adalah negatif, dan 8 poin persentase lebih rendah ketimbang untuk laki-laki dari latar belakang keluarga yang serupa. Tanpa memperhitungkan lokasi tempat tinggal mereka (Jawa versus luar Jawa, atau daerah urban versus pedesaan), orang tua lebih memilih madrasah untuk anak perempuan.
Dengan hanya menekankan bagaimana menjadi “istri yang baik”, pendidikan madrasah bisa jadi ikut melanggengkan norma gender yang konservatif di masyarakat Indonesia, sekaligus menghambat upaya untuk meningkatkan peluang ekonomi perempuan melalui pendidikan.
Batasan penelitian kami tidak memungkinkan kami untuk menjelaskan fenomena ini. Tapi, kami memiliki beberapa hipotesis di luar alasan ekonomi yang mungkin menjelaskan bias gender dalam pilihan sekolah keluarga miskin.
Pertama, keberadaan perempuan yang lumayan tinggi di madrasah bisa jadi mencerminkan meningkatnya pengaruh konservatisme pada daerah perdesaan di Indonesia. Misalnya, jaringan madrasah Salafi makin banyak muncul. Mereka banyak mendorong pengajaran nilai-nilai yang memarginalkan perempuan pada peran-peran tradisional, yang justru banyak diminati oleh orang tua di pedesaan.
Kedua, peluang ekonomi untuk perempuan di luar rumah seperti menjadi buruh cukup terbatas di daerah pedesaan. Banyak perempuan di daerah tersebut akhirnya terpaksa menjalankan pernikahan dini sebagai suatu realitas yang harus dihadapi. Pendidikan di madrasah dianggap sesuai untuk perempuan karena memenuhi peran tradisional mereka sebagai “istri yang baik”.
Baca juga: Ruang (Ny)aman: Pilih Sekolah yang Menjadikan Anak Subjek
Melanggengkan norma gender
Bagaimana ini berdampak pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia?
Riset dari dunia internasional menunjukkan konservatisme yang signifikan di antara pelajar madrasah secara umum dan lulusan perempuannya secara khusus, utamanya terkait pemahaman mengenai norma gender.
Serupa dengan tren tersebut, tradisi patriarkal juga mempengaruhi sebagian besar madrasah di Indonesia. Misalnya, beberapa studi menemukan bahwa kitab keagamaan yang digunakan pada sekolah Islam di Indonesia melanggengkan narasi tradisional terkait peran perempuan di rumah tangga. Laporan lain menunjukkan bahwa beberapa guru madrasah melanggengkan anggapan bahwa perempuan memiliki kualifikasi yang lebih rendah ketimbang laki-laki untuk jabatan kepemimpinan.
Hal ini cukup mengkhawatirkan mengingat perempuan di Indonesia sudah sangat rendah representasinya di pasar tenaga kerja, dengan sekitar 46.3 juta pekerja, atau sekitar 38 persen tenaga kerja pada tahun 2017. Walaupun begitu, untuk sebagian besar perempuan di daerah pedesaan, mencari pekerjaan tidak sepenting mencari suami.
Pria dari negara dengan ekonomi yang kurang berkembang dengan nilai-nilai patriarkal yang kuat, lebih menginginkan calon istri yang patuh dan siap berkorban. Nilai-nilai kepatuhan seperti itu diajarkan di madrasah. Namun ajaran-ajaran ini memiliki risiko besar menguatkan stereotip tentang perempuan dan membatasi luasnya peran sosial yang semestinya tersedia untuk perempuan.
Kebijakan yang menghambat pertumbuhan madrasah berbiaya rendah juga bukan opsi yang baik. Ada indikasi bahwa kesenjangan gender pada pilihan sekolah bisa jadi hanya efek samping dari meningkatnya jumlah sekolah swasta yang mahal.
Dengan hanya menekankan bagaimana menjadi “istri yang baik”, pendidikan madrasah bisa jadi ikut melanggengkan norma gender yang konservatif di masyarakat Indonesia, sekaligus menghambat upaya untuk meningkatkan peluang ekonomi perempuan melalui pendidikan.
Upaya memperluas kesempatan pendidikan pada perempuan dengan mengirim mereka ke sekolah madrasah tentunya memiliki efek samping. Salah satunya adalah meredam partisipasi ekonomi dan politik perempuan.
Hal ini bukanlah pilihan yang ideal mengingat pemerintah ingin mendorong lebih banyak perempuan masuk sektor ekonomi formal. Pada dua dekade belakangan, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan mengalami stagnasi, yaitu di sekitar 51 persen.
Namun, kebijakan yang menghambat pertumbuhan madrasah berbiaya rendah juga bukan opsi yang baik. Ada indikasi bahwa kesenjangan gender pada pilihan sekolah bisa jadi hanya efek samping dari meningkatnya jumlah sekolah swasta yang mahal.
Oleh karena itu, mendirikan sekolah bagus yang terjangkau untuk murid dari berbagai macam agama dan latar belakang ekonomi harus menjadi kebijakan prioritas.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.